Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Mengadopsi Anak

Mengadopsi Anak

Tradisi pengangkatan anak (adopsi) sebenarnya sudah dikenal jauh sebelum islam datang, seperti yang dilakukan oleh bangsa yunani, romawi, india, dll. Begitu pula di kalangan bangsa arab zaman jahiliyah. Pada saat itu, anak adopsi diafiliasikan kepada ayah angkatnya secara total, laiknya anak kandung, dalam arti anak angkat bisa menerima waris, mahram dengan anak serta istri ayah angkatnya, begitu juga sebaliknya.

Sebelum periode kenabian, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam juga pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil al-Kalbi, sehingga Zaid masyhur dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Hingga akhirnya turunlah surah al-Ahzab[33]: 4-5, yang salah satu intinya melarang pengangkatan anak yang mengakibatkan hukum seperti di atas.

Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam juga melarang menyandangkan predikat ayah bukan kepada ayah yang hakiki. Beliau bersabda: Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan” (HR. Abu Dawud). Karena itu, dengan berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits di atas, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukum Islam tidak mengakui anak angkat dengan konsekwensi hukum seperti pernah dipraktikkan masyarakat jahiliyah.

Mahmud Syaltut, ahli fikih kontemporer, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian dalam adopsi. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik, tanpa label atau status “anak kandung”. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya, dan saling mewarisi harta peninggalan, dll.

Anak angkat dalam pengertian yang pertama lebih didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari anak angkatnya, agar anak angkat itu bisa dididik dan disekolahkan, sehingga nantinya anak itu diharapkan bisa mandiri serta meningkatkan taraf kehidupannya di masa mendatang. Sedangkan anak angkat dalam pengertian yang kedua terkait secara hukum, seperti statusnya, akibat hukumnya, dan lain sebagainya.

Ada dua status hukum yang terkait dengan permasalahan anak angkat.

1) Dalam warisan. Antara anak angkat dan orang tua angkat tidak ada hubungan warisan atau tidak berhak saling mewarisi antara satu dengan yang lain. Sebab hak waris dalam Islam hanya disebabkan tiga faktor, yakni al-qarâbah (kekerabatan atau seketurunan), al-mushâharah (hasil perkawinan), al-walâ’ (hubungan perwalian antara budak dengan orang yang memerdekakannya).

Namun mengingat hubungan sudah akrab antara anak angkat dan orang tua angkat, serta memperhatikan jasa baik terhadap rumah tangga orang tua angkatnya, maka Islam tidak menutup peluang anak angkat untuk mendapat bagian dari harta orang tua angkatnya, akan tetapi bukan atas nama warisan, melainkan dengan cara hibah dan wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh orang tua angkatnya.

2) Dalam perkawinan. Dalam Islam telah diatur siapa saja yang dilarang kawin satu sama lain (QS. 4:23). Larangan ini hanya berlaku bagi yang berhubungan darah atau satu keluarga dari garis lurus ke atas dan ke bawah, serta garis menyamping, termasuk mertua, menantu dan anak tiri yang ibunya telah digauli oleh ayah tirinya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu larangan di atas, sebab ia berada di luar kekerabatan orang tua angkatnya. Oleh karena itu orang tua angkatnya boleh saling kawin, begitu juga orang tua angkatnya tidak berhak menjadi wali nikahnya.

Dengan demikian, adopsi atau pengangkatan anak tidak mempengaruhi kemahraman anatara anak angkat dan orang tua angkatnya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu unsur kemahraman itu, sehingga antara kedua belah pihak tidak ada larangan saling mengawini dan tetap tidak boleh saling mewarisi.

Ada beberapa hikmah dibalik adopsi yang dilarang dalam Islam, di antaranya adalah:

1. Untuk menghindarkan terjadinya kesalahfahaman antara yang halal dan yang haram. Dengan masuknya anak angkat ke dalam salah satu keluarga tertentu, bahkan dijadikan sebagai anak kandung, maka ia bisa dianggap mahram yang sebenarnya bukan mahram, dalam arti ia tidak boleh kawin dengan perempuan yang sebenarnya masih halal dinikahi. Bahkan sampai merasa halal melihat aurat orang lain yang seharusnya haram dilihatnya.

2. Untuk menghindari terganggunya hubungan keluarga berikut hak-haknya. Dengan adopsi berarti kedua belah pihak (anak angkat dan orang tua angkat) telah membentuk keluarga baru yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban baru pula. Hak dan kewajiban baru ini mungkin akan mengganggu hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Islam.

3. Masuknya anak angkat ke dalam keluarga orang tua angkatnya bisa menimbulkan permusuhan antarketurunan dalam keluarga itu. Yang semestinya anak angkat tidak berhak menerima warisan tetapi kemudian menjadi ahli waris, sehingga menutup bagian yang seharusnya dibagikan kepada ahli waris yang sesungguhnya.

4. Islam merupakan agama yang sangat adil dalam menegakkan kebenaran. Di antaranya adalah keharusan mengafiliasikan anak kepada ayah yang sebenarnya sebagaimana telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan Hadits.

Adopsi yang diperbolehkan dalam Islam adalah adopsi dalam rangka saling tolong menolong atas dasar rasa kemanusiaan. Seperti adopsi karena ada keinginan untuk mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar seorang anak bisa mandiri di masa depan. Dalam adopsi ini tidak terjadi perpindahan nasab dari dari ayah kandung ke ayah angkat.

Islam sangat menganjurkan untuk tolong-menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan, serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak dapat tidur” (HR. Muslim dan Ahmad).

Beliau juga bersabda: “Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan: sebagiannya menopang sebagian yang lain” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i).

Termasuk dalam hal tersebut adalah mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar.



Penulis berasal dari Pondok Pesantren Sidogiri
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger