Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » , » Di Balik Meja Hijau (Tanggapan Atas Kasus Mafia Hukum di Indonesia)

Di Balik Meja Hijau (Tanggapan Atas Kasus Mafia Hukum di Indonesia)

“Apakah engkau akan memberi pertolongan dalam (menggugurkan) hukuman yang ditetapkan Allah!?”, Sangat tampak raut tidak suka pada wajah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam ketika beliau melontarkan sabda itu kepada Usamah bin Zaid. Lalu, beliau berdiri dan berpidato di hadapan orang-orang Islam, “Yang membuat umat sebelum kalian binasa adalah (karena) bila orang terpandang mencuri maka mereka membiarkannya, bila orang jelata mencuri maka mereka melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri niscaya aku potong tangannya.” (HR al-Bukhari).

Dalam peristiwa itu, Usamah bin Zaid didaulat oleh orang-orang Quraisy untuk melobi Rasulullah agar membatalkan hukuman potong tangan untuk Fathimah binti al-Aswad al-Makhzumiyah, perempuan Quraisy yang telah terbukti mencuri sebuah perhiasan. Usamah memang dikenal dekat dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Ia bahkan mendapat gelar Hibbu Rasûlillâh (orang yang dicintai Rasulullah). Ayahnya, Zaid bin Haritsah, pernah menjadi putra angkat beliau sebelum turunnya syariat penghapusan putra angkat.

Di hadapan pengadilan semua orang sama. Tak boleh ada perlakuan berbeda terhadap siapapun. Itu prinsip pengadilan yang sangat mendasar, dan disepakati oleh hampir seluruh ajaran moral dan kode etik hukum yang ada di dunia ini. Dalam ajaran Islam prinsip ini ditanamkan dengan sangat jelas dan tegas.


Dalam pengadilan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam di Madinah, orang Yahudi bernama Zaid bin as-Samin menang atas orang-orang Islam dari Bani Zhafar. Umar bin al-Khatthab menghukum cambuk Qudamah bin Madz’un, iparnya sendiri, karena terbukti meminum khamr. Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, Syuraih al-Qadhi, hakim Kufah, memenangkan seorang penganut Kristen dalam persengketaannya melawan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Pengadilan adalah tempat yang harus menerapkan persamaan perlakuan sampai ke persoalan yang paling teknis sekalipun. Imam asy-Syafii menyatakan, “Seharusnya hakim menerapkan perlakuan sama terhadap dua pihak yang bersengketa dalam lima hal: dalam menemuinya, cara duduk mereka di hadapannya, dalam menghadapkan wajah kepada mereka, dalam mendengarkan penjelasan mereka, dan dalam membuat keputusan untuk mereka.”

Umar bin al-Khatthab mengecam keras Zaid bin Tsabit, yang menjadi hakim dalam persengketaannya dengan Ubay bin Kaab. Hal itu, karena Zaid mempersilakan Amirul Mukminin duduk di alas tikar, sedangkan Ubay dibiarkan duduk di lantai. “Engkau sudah tidak adil, hai Zaid, di awal pengadilanmu!” sergah Umar.

Lobi, hubungan dekat dan status apapun jangan sampai membuat pengadilan menerapkan perlakuan dan standar berbeda, apalagi sampai mengambil keputusan yang salah. Apalagi, jika perlakuan dan keputusan salah itu disebabkan oleh suap, jual beli keputusan, dan yang lebih parah lagi adalah konspirasi pengadilan untuk mengalahkan pihak yang benar.

Rasulullah SAW pernah bersentuhan langsung dengan konspirasi yang dilakukan oleh orang-orang Bani Zhafar dalam pengadilan kasus pencurian anak-anak Ubairiq. Mereka membela anak-anak Ubairiq dan menyampaikan argumentasi-argumentasi untuk memutarbalikkan fakta dan menipu Rasulullah agar membuat keputusan yang salah. Al-Qur’an mengecam keras tindakan mereka. Al-Qur’an menegaskan bahwa mereka tidak akan bisa menyesatkan Rasulullah, mereka justru menyesatkan diri sendiri. (QS an-Nisa’ [4]: 113).

Kecaman keras tersebut dialamatkan kepada konspirasi yang dilakukan oleh para saksi, pembela dan terdakwa. Lalu, bagaimana jika konspirasi pengadilan itu dilakukan oleh aparat-aparat hukum sendiri!?

“Hakim ada tiga: satu di surga, dua di neraka,” sabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam (HR Abu Dawud). Yang di surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran lalu membuat keputusan tegas sesuai dengan pengetahuannya. Sedangkan hakim penghuni neraka adalah hakim yang mengetahui kebenaran tapi dia membuat keputusan yang salah atau tidak sesuai dengan kebenaran yang ia ketahui. Juga, hakim yang tidak memiliki ilmu dan kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.


Ketidakjujuran hakim dan penguasa akan membawa petaka yang besar di segala lini kehidupan masyarakat. Maka, oleh karena itu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengibaratkan para penegak hukum Allah seperti penumpang kapal di lantai dua. Jika mereka membiarkan penumpang di lantai dasar melubangi perahu ketika mengambil air, maka tak lama lagi semuanya tenggelam. Jika mereka mencegahnya dengan tegas, maka semuanya akan selamat.

Dalam Islam indoktrinasi keadilan di meja hijau ditegaskan dengan setegas-tegasnya. Hal-hal yang berpotensi membuat hakim sengaja mengambil keputusan salah, Islam mengantisipasinya dengan sangat ketat. “Yang memberi suap dan yang menerima suap (berada) di neraka” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Dalam riwayat Sahabat Tsauban, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap dan orang yang menjadi penghubung suap.

Kehati-hatian terhadap suap dipegang dengan sangat teguh oleh Umar bin Abdil Aziz, khalifah adil dari Dinasti Umayyah. Ketika menjabat khalifah, beliau enggan menerima apapun yang diberikan orang. Beliau menolak menerima buah apel yang dihadiahkan oleh seorang kerabatnya. “Bagi kami, pemberian-pemberian itu adalah suap,” tegasnya di hadapan mereka. Bagi para pengambil keputusan, hadiah dan pemberian dari orang, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap ketegasan pendiriannya. Sebab, kata orang bijak, manusia adalah budak dari perlakuan baik.

Maka, sudah semestinya para penegak hukum super hati-hati dalam menerima hadiah dari orang-orang yang tak punya urusan dengan pengadilan, apalagi dari orang-orang yang jelas-jelas punya urusan dan kepentingan dengan pengadilan. Ia harus mengunci rapat-rapat sakunya agar jangan sampai menerima apapun dari mereka. Tanpa komitmen itu, pengadilan hanya akan menjadi panggung sandiwara yang menggelikan, sekaligus menggemaskan rakyat.

Kejujuran dan ketegasan pengadilan merupakan kunci bagi sebuah tatanan sosial. Unsur-unsur komunitas bisa saling bahu-membahu mewujudkan sebuah bangunan peradaban yang terarah apabila masing-masing unsur dalam komunitas itu memiliki kepercayaan terhadap unsur yang lain. Dan, perangkat paling penting untuk melekatkan kepercayaan tersebut adalah aparat penegak hukum, baik di jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Tanpa itu, masing-masing unsur hanya akan memiliki kecenderungan untuk saling mencurigai, lalu saling menendang dan memangsa.

Maka, untuk mencapai semua itu, yang paling mendesak bukan lagi undang-undang dan sistem yang mapan, tapi kredibilitas moral dari para penegak hukumnya sendiri. Kitab undang-undang tak bisa bicara. Yang bicara adalah para penafsirnya. Allâhumma ashlih wulâta umûrinâ. Amin

Semoga artikel ini bisa menggugah semangat kita sebagai Bangsa Indonesia yang sekaligus ummat Islam terbesar di dunia untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya di negeri tercinta ini. Jangan sampai kasus-kasus mafia hukum, mafia peradilan, mafia pajak, dan yang sejenis terus tumbuh dengan subur di negara yang mayoritas menjadi ummat Rasulullah SAW, orang yang paling benci dengan ketidakadilan. Wallahu'alam.

Penulis berasal dari Ponpes Sidogiri
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger