Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Semangat Ramadhan Harus Berdampak Sistemik

Semangat Ramadhan Harus Berdampak Sistemik

Jika kita perhatikan ayat Al-Qur'an yang menjelaskan perintah Alah SWT kepada orang yang beriman untuk berpuasa dalam bulan Ramadhan, maka tujuan utama puasa adalah membentuk manusia yang bertakwa, kapanpun dimanapun tidak sebatas hanya pada bulan Ramadhan saja. (QS. 2;183).

Perintah ini hanya ditujukan bagi orang yang beriman saja, karena beriman adalah tingkat terendah dalam proses keagamaan. Maka untuk menuju ke tingkat yang lebih tinggi manusia diperintahkan untuk berpuasa. Mengapa berpuasa yang hanya satu bulan itu? Tidakkah shalat lima kali sehari cukup untuk menjadikan seseorang untuk menuju derajat takwa? Bukankah kita sudah sangat sering "bertemu" dengan Allah dalam shalat itu? Jika demikian halnya, berarti ada "sesuatu" yang besar terkandung dalam ibadah puasa. Namun sebagian besar manusia tidak mengetahuinya (QS. 2;184).

Kalau kita baca di beberapa media akhir-akhir ini, banyak sekali bermunculan model training, baik yang melalui terapi shalat, dzikir, senam, maupun dengan menggunakan kecanggihan teknologi seperti kamera aura yang tujuannya untuk mendeteksi kekhusyu'an seseorang dalam beribadah maupun tes sidik jari dan sebagainya. Menurut para trainer bahkan pada bulan Ramadhan seperti ini mereka mengaku kebanjiran order.

Tidak ada yang salah dalam training itu, bahkan mungkin lebih baik. Beberapa peserta merasa lebih khusyu' dalam menjalankan ibadahnya dan lebih mengetahui jati dirinya setelah mengikuti training. Baiklah, jika training-training itu dianggap menjadi salah satu jalan alternatif. Tapi kemudian butuh berapa kali training jika seluruh umat Islam di Indonesia yang jumlahnya jutaan mengikuti program training? Butuh waktu berapa lama? Belum lagi berapa jumlah umat Islam yang mampu ikut? Beberapa training bahkan mematok sekian juta bagi pesertanya. Meskipun juga ada beberapa yang mengadakan training dengan cuma-cuma.

Ramadhan adalah sebuah "mega training" yang "trainernya" tidak tanggung-tanggung, Sang pencipta seluruh jagad raya dan seisinya, Allah SWT. "Puasa itu untuk-Ku, Aku yang akan memberi balasannya", firman Allah dalam sebuah hadits qudsi. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana pengaruh "training" puasa yang telah kita kerjakan selama ini? Jika kita menengok kembali ayat perintah puasa yang tujuannya untuk menuju manusia yang bertakwa, lagi-lagi kita akan teringat sebuah hadits Nabi bahwa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.

"Perang yang paling besar adalah perang melawan hawa nafsu". Demikian inti dari sebuah hadits Nabi. Banyak diantara kita ketika masih kecil (mungkin juga sampai dewasa sekarang?), ketika disuruh oleh orang tua untuk berpuasa, di siang harinya sudah menyiapkan aneka makanan dan minuman untuk berbuka puasa dalam jumlah yang berlebih. Seolah-olah semua akan dilahapnya. Meskipun toh Allah sudah menciptakan manusia sesuai dengan kadarnya. Tidak semua makanan dan minuman itu dapat kita habiskan semua. Kalaupun dipaksakan akan menimbulkan madarat bagi tubuh kita.

Ya, dimulai dari kejujuran untuk mengetahui dan memahami kadar diri adalah salah satu dari sekian banyak hikmah puasa. Sungguh beruntung bagi manusia yang mengetahui kadar dirinya sendiri.

Banyak diantara kita puasanya seperti anak yang masih kecil, ketika masih dalam bulan Ramadhan kita kuat (atau dikuat-kuatkan?) untuk tidak korupsi, menutup aurat rapat-rapat, mengadakan acara buka dan sahur bersama para dhuafa', atau membagi-bagi zakat mal dan zakat fitrah untuk para fakir miskin. Namun begitu bulan puasa berakhir kita kembali tenggelam dalam euforia merasa telah meraih kemenangan. Kemudian setelah itu mengulangi perbuatan korupsi, membuka aurat lebar-lebar, mengambil hak-hak rakyat dengan berbagai dalih. Membiarkan kemiskinan dan kelaparan merajalela yang –jangan-jangan- nantinya akan kita eksploitasi di bulan Ramadhan yang akan datang agar kita merasa sudah shalih atau supaya dianggap shalih. Perut kita puasa, tubuh kita puasa, namun sebenarnya hati kita belum.

Korupsi adalah bentuk kerakusan manusia akibat tidak memahami kadar dirinya sendiri. Gaji yang diterima belum dirasa cukup sehingga ia harus mencari "tambahan" lain dengan cara yang tidak halal. Begitulah nafsu setan, akan selalu mengajak manusia mengerjakan kejelekan. Sudah mendapat sembilan ingin sepuluh, sudah mendapat sepuluh ingin sebelas, demikian seterusnya tidak akan ada habisnya.

Sepertinya sudah menjadi tradisi bahkan budaya, begitu bulan Ramadhan berakhir saling berkirim SMS, email, kartu ucapan selamat, atau parcel lebaran dengan ucapan penuh kegembiraan "selamat telah meraih hari kemenangan". Kemenangan yang mana? Benarkah kita sudah menang? Okelah, kalau kita sudah menang, berapa lama kemenangan itu bertahan? Coba kita bandingkan dengan para shahabat Nabi. Mereka sebelum Ramadhan begitu merindukan akan datangnya bulan yang penuh berkah itu, marhaban ya Ramadhan... marhaban ya Ramadhan... dengan senyum penuh kebahagiaan menyambut kedatangannya. Dan menangis sedih berurai air mata, merasa sangat kehilangan ketika bulan Ramadhan akan berakhir, mereka takut tidak akan bertemu dengan Ramadhan yang akan datang.

Sebagaimana sering diucapkan para trainer di akhir sebuah pelatihan, bahwa pelatihan yang telah mereka lakukan selama beberapa hari bukanlah pelatihan yang sesungguhnya. Pelatihan yang sesungguhnya adalah begitu mereka keluar dari ruang pelatihan, hidup dalam realita yang nyata.

Kita lihat sekarang ini hampir semua aspek, media elektronik maupun cetak, perkantoran, rumah makan, sekolah, terminal, sampai tempat dugem dan lain-lainnya turut serta berlomba-lomba ikut mendukung suasana yang lebih "kondusif" bagi umat Islam untuk berpuasa. Bahkan Allah pun, sampai-sampai ikut mem-back up dengan membelenggu para setan agar tidak bisa mengganggu umat Islam yang berpuasa, sehingga wajar puasa kita terasa lebih menjadi ringan.

Suasana yang berbeda dengan ketika bulan Ramadhan telah berakhir, maka di situlah training kita yang sebenarnya baru dimulai, televisi akan menayangkan kembali program-programnya yang menonjolkan kekerasan, budaya konsumtif, eksploitasi seksual, sinetron yang mengajarkan kemewahan dan kebahagaiaan fatamorgana dan lain-lain. Tempat dugem yang selama Ramadhan ditutup akan dibuka kembali. Dan para setan dilepaskan kembali ikatannya oleh Allah. Akankah kita bisa meraih kemenangan?

Umat Islam yang menjalankan ibadah puasanya dengan penuh keikhlasan dan hanya mengharap ridla-Nya, tetap mempertahankan nilai-nilai puasanya sepanjang tahun sampai Ramadhan berikutnya, dan demikian seterusnya. Merekalah yang meraih kemenangan. Kembali fitri, fitrah manusia sebagai makhluk berakal yang berjiwa individual dan sosial serta spiritual. Akankah kita menjadi bangsa yang tetap merasa menang dalam hegemoni penjajahan nafsu setan?



Admin
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger