Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » , » Seni Islami, Menyemai Indah dalam Fitrah

Seni Islami, Menyemai Indah dalam Fitrah

“… Penyebutan Allah pada diri-Nya sebagai badi’ussamawat wal ardh, merupakan penegasan bahwa islam pun menghendaki dalam kehidupan ini suatu keindahan yang tidak lepas dari kesenian. Sebab arti badi’ itu adalah pencipta pertama dan berkonotasi indah.” (Dr. KH MA Sahal Mahfudz).

Allah meniupkan perangkat sempurna dibanding makhluk lainnya– pada diri manusia. Itulah mengapa Pencipta alam raya ini memberikan gelar ‘Ahsanut Taqwim’ pada bani Adam. Dan tahukah bahwa perangkat itu adalah daya cipta manusia, baik dalam ranah logika maupun estetika (keindahan). Yang disebut terakhir dalam bahasa sehari-hari dapat dikatakan sebagai seni. Dan seni dapat juga diartikan sebagai keahlian membuat karya yang bermutu tinggi.

Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah tentu tidak pernah memasung kreativitas selama masih sejalan dengan kefitrahan itu sendiri. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Allah memberikan kesan kepada hambaNya, bahwa Dia adalah Sang Kreator Ulung (badi’). Untuk membuktikannya, mari kita simak bagaimana Allah menciptakan alam raya dengan keindahannya dalam firmanya yang artinya: “Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana kami meninggikan dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun.” [QS. Qaf: 6].

Selanjutnya, Allah juga mengajak kita mengamati keindahan tumbuh-tumbuhan ketika berbuah. Dalam firmanNya yang artinya:“Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan perhatikan pulalah kamatangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” [QS. Al-An'am: 99].

Begitu pula Allah telah menciptakan laut, tidak hanya dapat diambil kesegaran dagingnya, namun juga perhiasan –yang dalam Kitab Jalalain ditafsirkan intan mutiara– yang indah.

“Dan Dia-lah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan darinya (laut itu) daging yang segar, dan kamu dapat mengeluarkan darinya (lautan itu) perhiasan yang kamu pakai…” [QS. An-Nahl: 14].

Untuk itulah mengapa kemudian Imam Ghazali –dalam Ihya’– menyebutkan bahwa orang yang tidak dapat menikmati keindahan alam semesta, niscaya ia menderita penyakit yang kronis, “Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.”

Meskipun Islam bersikap apresiatif terhadap keindahan (kesenian), namun dalam perkembangannya, seni Islam akhir-akhir ini mengalami kemunduran. Hal ini jauh berbeda dengan masa-masa keemasan Islam tempo dulu. Di antara sebab terjadinya karena memang minimnya umat Islam yang mau mengembangkan seni sesuai koridor kefitrahan atau karena sikap kehati-hatian umat Islam karena khawatir masuk dalam keharaman. Sikap ini (meninggalkan seni) mempunyai alasan yang sama dalam transaksi ekonomi sebagaimana yang disinyalir oleh Umar bin Khattab. Beliau mengatakan, “Umat Islam meninggalkan dua pertiga (2/3) dari transaksi ekonomi karena khawatir terjerumus ke dalam (perkara) haram.” Dalam riwayat lain disebutkan “Meninggalkan sembilan persepuluh (9/10) dari transaksi ekonomi.”

Adapun pelabelan seni islami, sebenarnya hanya istilah saja. Sebab Islam datang tidak secara tegas memberikan aturan-aturan tentang kesenian. Maksud dari seni islami adalah kreativitas yang indah yang sejalan dengan nilai-nilai syariat dan fitrah manusia. Hal ini berarti mengecualikan kreasi indah yang tidak sesuai dengan nilai syariat, seperti lukisan yang mengundang syahwat, foto-foto yang membuka aurat (bugil), dan lain sebagainya. Sebab meskipun ada sebagian yang menganggap itu sebagai keindahan –jika anggapan itu benar– tapi telah melewati batas syariat dan fitrah manusia.

Begitu pula lirik-lirik lagu atau syair yang membingungkan pendengar dan mengandung arti yang tidak sesuai dengan kebenaran. Contohnya dapat kita lihat dalam sebuah kisah yang diriwayatkan Imam Ahmad yang menyebutkan dua orang wanita sedang mengenang para pahlawan badar sambil menabuh gendang. Di antara syairnya: “Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok.” Mendengar kalimat ini, Nabi SAW menegur mereka: “Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan. Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang terjadi esok kecuali Allah.”

Seni sebagai fitrah manusia tentu mempunyai titik singgung terhadap seluruh individu yang ‘masih baik’ kefitrahannya. Penggunaan seni dalam penguatan dakwah akan menjadi semakin mengena karena seni menggunakan perangkat dasar –fitrah– manusia. Dakwah secara etimologi berarti memanggil atau seruan. Adapun secara terminologi adalah mengajak atau menyeru manusia untuk melakukan kebajikan (amar ma’ruf) dan melarang kejelekan (nahi munkar).

Pemahaman dakwah ini dapat kita tilik dari surat An-Nahl ayat 125, yang terjemahanya : “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebat-debatlah dengan mereka dengan cara yang baik…”

Ayat ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ayat 110 surat Ali Imran yang menerangkan bahwa Allah telah memberikan predikat “khoira ummah” kepada umat Nabi Muhammad. Salah satu perangkat khouira ummah itu adalah perintah ber-amar ma’ruf dan nahi munkar bagi setiap individu umat Islam. Adapun arti ayat yang dimaksud adalah: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari mungkar, dan beriman kepada Allah…”

Sebagai media dakwah, seni budaya mempunyai arah pencapaian kesadaran kualitas keberagamaan Islam yang pada gilirannya membentuk perilaku islami dengan tanpa menimbulkan konflik sosial atau pun gejolak budaya. Selain itu, kesenian dalam kehidupan yang integral juga bisa diarahkan dalam pengembangan seni budaya yang mampu menjadi ‘tembok kokoh’ dari –campur tangan– budaya non islami.

Contoh yang tepat adalah dakwahnya para Walisanga yang telah berhasil ‘mengislamkan’ nusantara dengan tanpa ’setetes darah’ pun yang tertumpah. Semoga kita sebagai generasi Islam Indonesia mampu memangku amanat untuk tetap menghidupkan ruh Islam dengan atribut seni dan budayanya. Dengan demikian diharapkan Islam di tanah air mempunyai denyut nadi yang utuh sesuai dengan fitrahnya.


Hasem Ibnu Multazam
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger