Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Nggambleh Sholeh

Nggambleh Sholeh

Abi Dunya dan Baihaqi meriwayatkan dari Hasan bahwa Kanjeng Nabi saw telah bersabda, “Tidaklah seorang manusia yang berpidato meski sekali pidato kecuali Allah pasti akan meminta pertanggung-jawaban atas pidatonya itu kelak di Hari Kiamat.”

Hadist ini dingajikan oleh badal kyai (penyulih Pak Kyai) yakni Bang Saki –santri mukim, padanya cerapan ‘ilmu mengendap dalam ketawadluan hidup yang ‘memaksa’ saya inferior, ia jembatan saya memasuki ‘seni’ memahami Nahwu-Sharaf, seorang yang saya hormati dan saya sapa hangat dengan Bang Syaikhi.

Sabda Nabi saw ini hadist mursal yaitu diriwayatkan oleh generasi tabi’in yang dilangsungkan ke Nabi saw, tidak memakai perantara generasi sahabat. Ini tambahan ilmu alat sekedarnya yang belum sempat disampaikan Bang Syaikhi, tapi lebih penting lagi menangkap message Sabda Nabi saw yang Bang Syaikhi ungkap dengan cermat –saya terkesima seniorku ini manjing (tune-in) ke performa Fashiihul Lisaan KH Fuad yang ia badal-i. Layaknya deskripsi dahsyat Shahibut Taj KH Fuad yang mampu menggerakkan itu uraian Bang Syaikhi menggugah kita berjaga dari bahaya berpidato (bahasa Arab: khutbah), “Mending nggak usah ber-khutbah ketimbang mendatangkan susah di hari kiyamat kelak,” tegas Bang Syaikhi sambil mendeskripsi konsekuensi berpidato, “Ber-khutbah bila ‘terpaksa’ sajalah.”

Kata khutbah dalam bahasa Indonesia menyempit artinya ke konotasi pidato keagamaan padahal maksud khutbah (bahasa Arab) pada Sabda Nabi saw ini pidato secara umum seperti orasi, retorika: komunikasi lesan ke audiens jamak. Pada teks hadist tadi terdapat kata illaa (bahasa Jawa: anging mesthine, Indonesia: kecuali) yang menunjuk lafal wajib yakni wajibnya pemberlakuan pertanggung-jawaban di hadapan Tuhan bagi pidato yang insan lakukan. Syaikh Zainuddin al Malibariy mengutip hadist ini dalam kitabnya Irsyaadul ‘Ibaad pada Bab ‘Ilmu. Kiranya sang penganggit kitab berwasiat kepada Ahlul ‘Ilmi agar ‘ilmu tidak dipidatokan. Ini wasiat penting.

Sejauh yang saya selami selama ini, laku berpidato dinilai hampir negatif oleh pesantren yang berdisiplin ‘ilmu dan berintegritas salaf, sama rendahnya nilai yang diberikan pada praktik ber-jampi-jampi. Baiklah saya buka dikit, seorang santri yang dipanggil kyainya agar memenuhi permohonan jampi-jampi yang dihajatkan tamu, ia bukannya bersuka-cita dapat kehormatan macam itu.

Justru santri tadi ‘menangis,’ mendapat tugas ini berarti Gurunya menilai dirinya santri paling bebal di antara sesamanya dalam pencerapan ‘ilmu, dapatnya nyantri hanya kecakapan kacangan begituan. Pesantren salaf yang berintegritas juga punya ‘Kamus Tidak Tertulis’ yang menyebut khuthoba (tukang pidato) sebagai ism –kata benda- yang ‘jorok.’ Sebagai badal kyai dan uraiannya mampu menggugah gerak amal audiensnya tetapi Bang Syaikhi bukan orator alias khuthoba melainkan mengajar ‘ilmu, antara keduanya ada perbedaan tegas.

‘Ilmu (risalah nJeng Rasul saw) di pesantren salaf sangat dijunjung dan digungke (diagungkan), disyiarkan dengan pengajaran penuh keagungan melalui majelis ‘ilmu –majelis yang dipuji Allah dan bahkan DIA hampiri pula). Pengajarnya Guru yang otoritatif ‘ilmu, mengajarnya dengan menghadap kitab yang muktabar –teruji-, audiens juga menghadap kitab, keagungan majelisnya terjaga dengan para-pihak hadir di majelis itu penuh takdzim (pengagungan) dan bersuci terlebih dulu.

Jadi, semuanya diliputi keagungan-sakral dan berbeda dengan pidato yang aktivitasnya hampir selalu ada komodifikasi. 

Masalahnya, tugas atau profesi tertentu tak lepas dari berpidato. Karenanya Bang Syaikhi berwasiat ke santri lajon yang berkecimpung di panggung politik praktis dan kandidat caleg (calon legislatif) agar waspada hati dalam berpidato hingga kelak tidak ditimpa bumerang pertanggung-jawaban berat di akhirat Bang Syaikhi menarasikan, baru diaudit makhluk saja bikin repot, ribet, nervous, melelahkan dan menghabisi; bagaimana bisa aman-nyaman dari audit Allah? 

Manusia mustahil menghindari pertanggung-jawaban di akhirat atas pidatonya di dunia, mustahil sembunyi dari audit Allah. Tidak ada tuhan yang haq disembah kecuali Allah. DIA yang memiliki Asma’ul Husna –di antaranya-: Al Hasiib (Maha Pembuat Perhitungan, The Auditor), Ar Raqiib (Maha Pembaca Rahasia, The Watchful), Asy Syahiid (Maha Menyaksikan, The Witness), Al Muhshiy (Maha Menghitung, The Reckoner), Al Khaabir (Maha Waspada, The Aware), Al Hakam (Maha Menilai, The Judge), As Saami’ (Maha Mendengar, The All Hearing), Maalikul Muluk (Maha Memiliki Kerajaan, Eternal Owner of Sovereignty) dan Adh Dhaarr (Maha Penimpa Derita, The Distresser). Beratnya prosesi audit Tuhan ini –sebagaimana audit rumit dan ‘bertele-tele’ terhadap manusia berharta- akan memberlama-lamakan proses seseorang menuju syurga, itu pun kalau ia ahlul jannah (penduduk surga) . “Jangan suka berpidato,” petuah Bang Syaikhi.

Petuah itu bikin nggak ada yang ber-khutbah, dong?! “Ora sah kuwatir (nggak usah khawatir). Hidup ini serba-sepasang. Bila ada yang memperhatikan sabda-sabda nJeng Nabi saw maka ada pula yang lalaikan sabda Nabi saw, suka cari kesempatan untuk berpidato. Di luar sana, banyak dan tak habis-habisnya orang mengantri untuk tampil berpidato. Kalian hendaknya menahan diri dari berpidato dan beretorika kecuali terpaksa,” Shahibut Taj KH Fuad, Guru kami, membulatkan rekomendasi Bang Syaikhi. 

“Ada begalan (hadangan) yang membahayakan dan mengancam diri khuthoba di akhirat,” demikian Bang Syaikhi, “Niyat yang tidak murni atau cacat, rongrongan riya’ dan percikan penyakit hati lainnya dan isi pidatonya tak memihaki ridla Allah. Koq bangga jadi khuthoba!” wanti-wanti Bang Syaikhi. Malik bin Dinar ‘ulama kota Basrah itu berisak tangis saking takutnya bila khutbah-nya menolakkan ridla Allah. “Bertuturnya para wali diliputi waspada, juga usai bertuturnya: jangan-jangan khilaf di hadlirat Allah hingga menangisi khilafnya,” petuah Sang Abang. 

Dahulu, generasi awal Mukmin menerima risalah yang diajarkan Kanjeng Nabi saw. Para Sahabat ra meneladani nJeng Nabi saw, giat ngamal, sibuk dalam pengamalan bukannya diri yang suka mengasongkan risalah ke orang lain dengan mempidatokan. Generasi hebat ini berhemat nasehat hingga turun perintah agar mengajarkan (bukan mempidatokan) risalah ke orang-orang meski hanya satu ayat. Tapi, hadist yang masyhur ini dipelintir generasi kini dengan doyan mempidatokan risalah. 

Orang-orang terdahulu (salaf) menerapkan risalah buat diri sendiri dimulai dari dirinya lalu keluarganya dan hemat bernasehat, orang-orang kini (generasi khalaf) malah menerapkan risalah ke orang lain. Generasi sekarang sibuk mempidatokan risalah ke orang lain (dirinya belum tentu mengamalkan), suka ber-khutbah hal-hal shalih tapi diri sendiri jauh dari shalih. 

Itulah nggambleh shalih, sarkasme wong Jowo bagi khuthoba bermulut ‘shalih’ tanpa kesejatian shalih pada hidupnya. Kita berlindung kepada Gusti Allah dari hal-hal demikian itu.




Laxamana hsin bo, Pondok Pesantren Roudlotul Fatihah, Kampung Santri, Kulon Gunung Sentono, Pleret, Bantul, Yogyakarta.
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger