Di antara mereka yang mengklaim
memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka
sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara
biadab, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal
dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap
kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua
bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syariah Islam
mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa, “Sebagian
bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk”.
Klasifikasi ini adalah tuntutan akal
yang cemerlang dan pandangan yang dalam. Klasifikasi bid’ah ini adalah
hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum
muslimin seperti al-Imam al-‘Izz ibn Abdissalam, an-Nawawi, as-Suyuthi,
al-Mahalli dan Ibnu Hajar. Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling
melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan
komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi
syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.
Karena itu kita menemukan banyak
hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang
dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari
samudera syariah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu
menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah
syari’at dan teks-teks al-Qur’an dan hadits yang mengikat. Salah satu contoh
dari hadits-hadits di muka adalah hadits:
كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah itu sesat.”
Bid’ah dalam hadits ini harus
ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk
dalam naungan dalil syar’i.
Penafsiran semacam ini terjadi pula
dalam hadits lain seperti:
لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
“Tidak ada sholatnya seseorang
yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid.”
Hadits ini meskipun menunjukkan
pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun
keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak
sempurna bukan tidak sah, di samping masih adanya perbedaan dalam kalangan
ulama.
Seperti hadits:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
“Tidak ada sholat di hadapan
makanan”.
Para ulama menafsirkan bahwa sholat
tersebut tidak sempurna.
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah satu dari
kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”
واللهِ لا يُؤْمِن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل: مَن يا
رسول الله؟ قال:مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman, demi
Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau,
“Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa terganggu
dengannya”.
Para ulama menafsirkan dengan tidak
adanya iman yang sempurna.
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ….., لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
قَاطِعُ رَحِمٍ وعاق لوالديه
“Tidak akan masuk sorga orang yang
suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat
dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya.”
Para ulama menegaskan bahwa yang
dimaksud tidak akan masuk surga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak
masuk surga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan. Walhasil,
para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya
dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai.
Hadits
di atas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman
hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang
dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip
umum. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ
أَجْرُهَا وَ أَجْر مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Siapapun yang mengawali tradisi
yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang
mengamalkannya sampai hari kiamat.”
“Berpegangteguhlah dengan sunnahku
dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafatku.”
Umar ibn Khaththab berkomentar
mengenai sholat tarawih: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih
berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam)”.
Sayyid Alwi Al Maliki
Posting Komentar