Nun di Huraidah. Di pedalaman lembah Hadramaut
yang gersang namun penuh kesejukan itu, dua abad silam, seorang wali besar
sedang khidmat menggoreskan penanya. Ia adalah al-Quthb Habib Abu Bakar bin
Abdullah bin Thalib al-Attas, guru al-Imam Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi.
Ia menulis surat untuk Sejawatnya, al-’Arif
Billah Habib Aqil bin Idrus bin Aqil yang tinggal di kota Inat. Surat
yang memendarkan cahaya. Bertabur nasehat-nasehat yang menyentakkan kesadaran.
Terangkai dalam kalimat-kalimat liris nan sejuk di jiwa.
“Hadapkanlah jiwa dan ragamu kepada Allah SWT,
sepenuhnya. Kerahkan segenap upaya dan niat. Niscaya, Ia akan menggamitmu ‘tuk
menjadi salah seorang wali-Nya. Lalu, Ia akan mengucurkan karunia demi karunia
yang bakal mendamaikan kedua pelupuk mata dan kepundan hatimu.”
Demikianlah nasehat pertama yang terajut dalam
surat itu. Suatu motivasi yang sangat menggugah. Untuk Habib Aqil khususnya,
untuk kita umumnya. Habib Abu Bakar kemudian meneruskan, “Engkau pernah
mewartakan, bahwa kini Engkau telah menertibkan mejelis telaah kitab dan
belajar mengajar. Aduhai, sungguh kabar yang memercikkan bahagia. Andai aku
berada di tengah-tengah kalian sana, tentu, aku kan beroleh limpahan
keberuntungan.”
“Keutamaan ilmu, wahai sayid, tak ada yang bisa
menandinginya. Allah SWT menfirmankan,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam firman lain, Allah SWT memuji manusia yang
berilmu,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
Sekaitan hal itu, Rasulullah SAW memaklumatkan,
“Barangsiapa dikehendaki Allah untuk menjadi orang baik, maka, ia akan diberi
pemahaman dalam ilmu agama.”
“Peliharalah waktu. Waktu laksana sebilah pedang.
Jika Engkau tidak menebaskannya, ia yang akan menebasmu. Sejatinya, segala cita
dapat digapai dengan memanfaatkan waktu sebaik mungkin.”
“Camkan sungguh-sungguh. Manfaatkanlah waktu.
Sebab dengan itu, limpahan berkah bisa kau raih. Dan berkat keberkahan waktu,
Engkau bisa menyaksikan ihwal-ihwal luar bisa yang begitu banyak, yang tak
mungkin terdedah dalam tulisan ini. Sebenarnya, cukup dengan isyarat,
orang-orang berhati bijak pasti memahaminya.”
Kalimat demi kalimat terus mengalir di matras
kertas itu. Penulis nampaknya menekankan paragraf yang mengulik rahasia waktu tersebut.
Alangkah benar sang habib. Waktu sangatlah berharga. Teramat berharga untuk
disia-siakan. Begitu dilewatkan, ia akan sirna untuk selama-lamanya.
Baris berikutnya, beliau sedikit menyentil
masalah pentingnya perhatian terhadap anak-anak. “Curahkan perhatian kepada
anak-anakmu. Awasilah segala tindak-tanduk mereka. Agar kelak mereka bisa
membahagiakan hatimu.”
“Tekunlah menelaahi kitab-kitab bermanfaat,
terutama karya para sadah Alawiyin. Ketahuilah, karya-karya mereka adalah
anggur yang sangat lezat.”
Sebuah Wasiat tentang pentingnya melestarikan
ilmu salaf. Kemudian Habib Abu Bakar menuangkan apresiasinya yang mendalam
terhadap kitab ihya ulumiddin karya Imam al-Ghozali.
“Menelaahi kitab ihya ulumiddin dan mendalami
semesta hikmahnya sangat dianjurkan para salaf. Konon, ruh penulis Ihya
senantiasa hadir di setiap majelis pembacaan kitab itu. Rahasia ini kusingkap
dari guru-guruku. Telaahi lebih jauh pada pasal mahabbah
dan syauq, maka, Engkau akan mendapati inti dan rahasia
besar yang terpendam. “
“Syukurilah curahan nikmat-nikmat-Nya padamu
berupa rasa cinta kepada orang-orang baik dan fiil-fiil baik. Manakala kau
bersyukur, Ia akan menambah kenikmatan padamu. Tambahan nikmat itu bisa berupa
nikmat bathin dan dhahir. Pemberian-Nya tidaklah sama dengan pemberian kita.
Pemberian kita terbatas dalam angka-angka. Sedang pemberiannya tak terbatas.”
“Berprasangka baiklah terhadap hamba-hamba Allah.
Sebab rahasia-rahasia-Nya senantiasa terpendam dalam diri mereka. Sudut-sudut
bumi takkan pernah kosong dari hamba-hamba pilihan yang memanggul rahasia itu.
Sepotong syair mengalun syahdu, “Andai bukan karena mereka di tengah-tengah
manusia, niscaya bumi dan gunung-gunung itu kan luluh lantak oleh terpaan
dosa-dosa”
Kemudian Habib Abu Bakar menutup suratnya dengan
muhasabah (intropeksi). Ia mengajak shohibnya itu untuk merenungi sisa-sisa
umur.
“Ketahuilah wahai kekasihku. Umur kita telah
dekat. Saat ini kita telah menapaki usia tujuh puluhan. Hati ini telah terkunci
rapat untuk dunia. Dunia, bagi diri kita, hanyalah untuk mengenyangkan perut
yang kelaparan, menyukupkan orang-orang yang kekurangan, meringankan beban
fakir miskin, dan berbagai amal kebaikan. Adapun untuk selain itu, tak
terbetik minat sedikit pun pada dunia.”
Surat di atas tertulis pada 20 Sya’ban 1280
Hijriyah. Tertandai nama Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Attas. Yang menerima
surat, Habib Aqil bin Idrus bin Aqil, belakangan mesanggrah di kota Surabaya
dan meninggal di kota itu pada bulan Ramadhan 1316 Hijriyah. Ia di makamkan di sebelah
timur makam Habib Syeh bin Ahmad Bafaqih. Sayang, ketika Cahaya Nabawiy
berziarah, hanya mendapatkan makam-makam kuno tanpa nama. Rupanya, Habib Aqil
adalah seorang mastur, yang tak mau dikenali
kebesarannya.
Kalam Habib Abu Bakar bin Abdullah
al-Attas oleh Forsan Salaf
Posting Komentar