Tanda orang yang merugi adalah
banyak berkumpul namun tidak untuk menambah ilmu. Banyak berbasa-basi,
bercanda, dan banyak bicara. Dari Ibnu 'Abbas ra, Rasulullah
bersabda:
وَالْفَرَاغُالصِّحَّةُ:النَّاسِ
مِنَ كَثِيْرٌ فِيْهِمَا مَغْبُوْنٌ نِعْمَتَانِ
“Dua nikmat yang banyak manusia
tertipu di dalamnya, nikmat sehat dan waktu luang.” (Riwayat Bukhori). (HR. Bukhori no.6412, At-Tirmidzi
no.2304, Ibnu Majah no.4170, Ahmad no. I/258-344), Ad-Darimi no.II/297,
Al-Hakim no.IV/306)
Waktu adalah ukuran zaman. Hari-hari
yang kita lewati adalah umur kita. Apabila ia berlalu, maka hilanglah bagian
dari hidup kita. Waktu adalah karunia terbesar dan paling berharga bagi
manusia. Waktu menjadi rahasia berbagai prestasi cemerlang bagi seseorang ketika
mampu menatanya dengan seksama.
Mumpung seseorang masih punya
kesempatan waktu muda, maka seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Masa
muda sebagai waktu emas, saat masih memiliki kekuatan semangat, pikiran masih
jernih, kesibukan masih sedikit, dan tekat yang kuat. Sebaliknya pada usia tua,
jasad semakin lemah, beban semakin berat, penyakit sering mampir, dan kekuatan
pun kian berkurang.
Semua bentuk tindakan, kesungguhan,
kekuatan, kemuliaan, kenikmatan, dan pencapaian tujuan adalah sesuatu yang
hanya bisa dilakukan ketika badan sehat dan adanya waktu luang. Kewajiban yang
seharusnya kita tunaikan teramat banyak, sementara waktu terluang sangat
terbatas. Dengan waktu pula, betapa banyak lahan yang bisa diolah, berapa
banyak perusahaan yang bisa didirikan, berapa ribu orang yang bisa dibantu dan
yayasan yang bisa dikembangkan. Namun betapa banyak pula yang sudah puas dengan
sedikit kualitas, sudah bangga dengan amal yang belum ada apa-apanya.
Tidaklah Allah bersumpah dalam
al-Quran dengan meggunakan kata waktu, wal-‘ashri, wad-dhuha, wal-laili,
bis-syafaqi, wal-fajri, dan sebagainya, kecuali semuanya mengisyaratkan
tentang betapa pentingnya waktu. Dimaksudkan agar manusia disiplin penuh
perhatian terhadap masa hidupnya.
Waktu yang Allah berikan kepada kita
lebih berharga daripada emas karena ia adalah kehidupan itu sendiri. Seorang
Muslim tidak pantas menyia-nyiakan waktu luangnya untuk hanya bercanda,
bergurau, main-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Karena ia
tidak akan pernah mampu mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang
mengabaikan waktunya, maka semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana kerugian
orang sakit, dia merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya.
Seorang Muslim yang pada dirinya
terkumpul dua nikmat ini, yakni kesehatan badan dan waktu luang, maka hendaknya
menunaikan hak keduanya untuk melakukan ketaatan dan meraih kedekatan
kepada-Nya. Tapi jika menyia-nyiakannya maka sebenarnya ia adalah manusia yang
tertipu. Sebab, kesehatan akan digantikan dengan sakit dan waktu luang akan
digantikan dengan kesibukan. Sebagaimana seorang pedagang yang memiliki modal,
yaitu kesehatan dan waktu luang, maka ia tidak boleh menyia-nyiakan modalnya
yang ada padanya selain ketaatan kepada Allah.
Seseorang yang memiliki badan yang
sehat tanpa menggunakannya untuk tindakan yang berguna dan tidak pula berbuat
untuk akhiratnya adalah orang yang merugi. Dalam kenyataan memang kebanyakan
manusia tidak menggunakan kesehatan dan waktu luang. Mereka malah membuang usia
dan mempermainkan umur. Kadang-kadang manusia juga tidak memiliki waktu luang.
Waktunya habis hanya untuk mencari makan dan kebutuhan periuk nasi. Sebaliknya
terkadang memiliki waktu luang namun badannya sakit, jiwanya juga sakit, malas,
loyo, tidak bergairah yang pada akhirnya berujung pada kebangkrutan.
Seorang Muslim hendaknya
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ia tidak boleh menunda-nunda kesempatan
melakukan amal kebaikan. Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar pernah
berkata; "Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu
hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah
menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu.
Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu." (HR. Al-Bukhariy
no.6416)
Muhammad bin Abdul Baqi’ (535 H)
mengatakan: ”Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah berlalu dari
umurku untuk main-main dan berbuat sia-sia.” (Siyar A’lamin Nubala’ XX/26)
Imam Hasan Al-bashri juga mengatakan: “Wahai
anak cucu Adam, dirimu sebenarnya adalah hari-harimu yang kau alami, jika
harimu berlalu maka berkuranglah sebagian hidupmu, sungguh aku pernah bertemu
dengan suatu kaum, mereka lebih mengutamakan, mencintai dan menghargai waktu
melebihi dari apa yang kau lakukan terhadap dinar dan dirham.”
Ibnu Mas’ud berkata: “Aku tidak
pernah menyesal atas hari yang berlalu, kecuali ketika matahari terbenam dan
usiaku berkurang, tetapi ilmuku tidak bertambah di hari itu.”
Al-Kholil bin Ahmad (160H)
mengatakan; “Waktu itu ada tiga bagian, waktu yang sudah berlalu darimu dan tak
akan kembali, waktu sekarang yang sedang kau alami dan ia juga akan berlalu
darimu, dan waktu yang engkau tunggu yang bisa jadi engkau tidak bakal
mendapatkannya.” (Thobaqotul hanaabilah hal.35-36)
Kisah Dawud bin Abi Hindun (139 H)
adalah di antara contoh yang mengagumkan. Beliau berkata: “Ketika
kecil aku berkeliling pasar. Ketika pulang kuusahakan diriku untuk selalu
berdzikir kepada Allah ta’ala hingga tempat tertentu. Jika telah sampai
kuusahakan lagi dariku untuk berdzikir kepada Allah hingga tempat
selanjutnya…hingga sampai di rumah. Tujuannya agar kugunakan waktu dalam
umurku.” (Siyar A’lamin Nubala’ VI/378)
Ibnu Rojab Al-hambali berkata: “Seorang
pelajar hendaknya seorang yang cepat dalam berjalan, menulis, membaca ketika
makan.” (Thobaqot Al-hanabilah). Terbiasa cepat dalam
berjalan maka akan sehat di waktu tuanya, cepat membaca maka akan menghemat
waktu belajarnya, sekaligus lebih banyak mendapatkan ilmu.
Abu Hasan Husain
Posting Komentar