“Bukti paling nyata atas kesempurnaan akal seseorang adalah pujiannya kepada
teman sejawat; bukti paling nyata atas kerendahan hati seseorang, kerelaannya
untuk diakhirkan di tempat yang semestinya ia berhak didahulukan; dan bukti
paling nyata keikhlasan seorang hamba ialah tidak menghiraukan dalam membuat
marah makhluk dalam membela kebenaran.” (Imam Abdullah Al-Haddad).
Kesempurnaan Akal
Saat seseorang mendapati teman yang selalu memberi kritik membangun, dan ia
senang dengan hal itu, petanda kesempurnaan akal. Sebaliknya, pada saat ia
dikritik ia tidak mau menerima, itu artinya ia menganggap pendapatnya yang
terbaik, ingin menang sendiri, egois, selalu mencari kesalahan orang lain dan
selalu hendak menjadi nomor satu, meskipun ia tak layak.
Seharusnya, pendapat dari siapapun tidak boleh dipandang sebelah mata,
harusnya dipikir masak-masak, ambil yang baik dan tinggalkan selainnya. Orang
lainlah yang lebih bisa meneliti diri kita ketimbang diri kita sendiri. Ibarat
seorang yang baru terjaga dari tidurnya, lantas diingatkan, “Matamu ada
kotorannya.” Atau orang yang berkata, “Pakainmu kurang rapi.” Hal demikian ini
jangan dipandang sebagai upaya menjatuhkan harga diri. Mestinya ia berkata,
“Terima kasih, kamu temanku yang paling perhatian kepadaku.”
Kesempurnaan seseorang akan terbukti jika ia mau mengakui keunggulan teman
sebayanya. Ingat, kalau ia merasa unggul dari orang lain, dia adalah orang yang
bodoh. Selain itu, ini juga suatu isyarat hendaknya kita dalam segala hal
mendasarkannya dengan prasangka baik. Sikap semacam penting digaris bawahi agar
tidak melihat semua orang sebagai lawan, semua orang jelek. Husnuddzan
kepada hamba termasuk perangai terbaik. Nabi SAW bersabda:
خَصْلَتاَنِ لَيْسَ بَيْنَهُمَا خَيْرٌ مِنْهُمَا: حُسْنُ الظَّنِّ بِاللهِ وَحُسْنُ الظَّنِّ بِعِباَدِ اللهِ
“Ada dua perangai dimana tidak ada yang lebih baik dari selainnya: baik
sangka kepada Allah dan kepada hamba-hambaNya.”
Bagaimana bentuk berprsangka baik kepada Allah? Ambil misal, hari ini
pasaran kita lagi seret, toko mengalami kemerosotan omzet. Kita berucap, “Allah
menghendaki aku untuk lebih banyak memohon kepada-Nya sekarang. Hari ini tak
ada pembeli, mungkin besok ada. Yang jelas Allah ingin menguji kesabaranku dan
ridhaku kepada-Nya.”
Akan tetapi, ada sebagian orang yang mendapati rezeqinya seret berkata,
“Kenapa si Allah tidak membuat tokoku laris padahal aku tadi sudah
salat, apakah Allah sudah tidak suka kepadaku, benci kepadaku?” Bandingkan
dengan misal berikutnya, ketika kita sedang sakit, pergi ke dokter dengan
berprasangka baik sekalipun si dokter mengeluarkan jarum suntik. Tapi berhubung
kita sudah yakin dengannya, kita mantap saja bahwa dokter tidak mungkin
mencelakakan, ia ingin mengobati. Kenapa hal demikian tak terwujud kepada
Allah. Inilah yang dinamakan Husnuddzan kepada Allah.
Yang kedua husnuddzan kepada para hamba Allah. Allah SWT.
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa…” (QS.
Al-Hujurat: 12).
Berangkat dari ayat ini, kita dilarang bersikap apriori kepada orang lain,
baik saat ia mengkritik atau menasihati. Tentunya, tidak untuk semua orang bisa
kita sangka baik. Ada saatnya kita harus waspada khususnya dalam hal ini kepada
orang-orang Nashrani, Yahudi, kaum Kafir, betapapun baiknya. Prasangka itu ada
yang bagus tapi kebanyakan jelek.
Kerendahan Hati
Bukti nyata kerendahan hati misalnya, ada seorang pejabat. Seharusnya
ia ditempatkan di tempat yang terhormat namun ternyata ditempatkan di tempat
yang bukan selayaknya untuk orang sekelas pejabat, tapi ia tidak marah, berarti
ia orang yang rendah hati. Ia rela menerima perlakuan demikian, maka itu bukti
jelas dari ke-tawadhuan-nya. Tidak semua orang bisa seperti ini. Orang
semacam ini disinggung oleh Nabi, “Tidaklah seorang hamba ber-tawadhu`
karena Allah kecuali diangkat derajatnya oleh-Nya.”
Contoh sikap rendah hati Nabi SAW bahwa diriwayatkan beliau makan bersama
para sahabatnya. Sudah pasti tempat Nabi SAW paling istimewa. Di sela-sela
pejamuan itu, ada seorang peminta, orang yang sudah tua sekali saking tuanya
tidak bisa mengurus badan hingga mengeluarkan aroma tak sedap. Ia datang minta
makan. Pengemis tersebut diizinkan masuk dengan disambut oleh Rasululah dengan
sambutan luar biasa seakan-akan beliau hendak memangkunya. Saat itu, ada
seorang keturunan Quraish merasa jijik melihat pnegemis tua yang kelaparan
tadi. Ia dihukum dengan dipanjangkan usianya seperti umur orang tua itu yang
orang-orang merasa jijik darinya.
Diriwayatkan, bahwa Rasulullah berjalan di sebuah kampung. Di situ beliau
mendapati perempuan menangis di kuburan anaknya. Kata Rasul menasihati, “Hai
perempuan, jangan begitu, bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.”
“Kamu memang tidak kena musibah, sedang aku ditinggal mati anakku yang
kusayang,” timpal perempuan yang tak mengenali sosok Nabi. Ditegurlah oleh
sahabat yang melihat kejadian itu, “Apa kamu tahu siapa dia? Dia Muhammad
Rasulullah.” Datanglah ia ke rumah Rasululah, “Ya Rasululah, saya tidak tahu
kalau Anda yang nasihati, saya minta maaf.”
“Tidak masalah, tapi yang terpenting itu, kamu bersabar pada saat terjadinya
musibah yang pertama.”
Habib Saleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul), juga patut dicatat dalam soal
rendah hati. Bukan hal baru jika rumahnya sering dijujuki para tamu dari
berbagai daerah. Pada jam dua, salah satu tamunya mau buang air kecil, di muka
rumah Habib Saleh ada dua kamar mandi, waktu itu belum ada listrik. Ternyata di
kamar mandi ada orang mengenakan kaos dan sarung sedang menimba air untuk kolam
kamar mandi. Dilihat ternyata Habib Saleh dan beliau wanti-wanti kepada tamunya
yang memergoki beliau untuk tidak bilang ke siapapun. “Tidur kembali ke kamarmu
dan ga usah ngomong-ngomong,” kata Habib Saleh.
Paginya, Habib Saleh dengan pakaian rapi, menerima tamu dengan penuh keramahan
hingga membuat tamu yang semalam terbengong-bengong heran melihat sikap beliau
yang begitu sederhana.
Keikhlasan
Bukti nyata keikhlasan ialah tidak mencari ‘muka’ pada makhluk, tidak
mencari ridhanya makhluk ketika dia membawa kebenaran. Ikhlas, berarti tidak
mengharapkan pujian, menjalankan kebenaran tanpa memperhatikan manusia itu
senang atau tidak padanya. Seorang yang ikhlas tidak pernah berubah prinsip.
Dalam Al-Quran diterangkan, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110).
Ayat ini turun berkenaan seseorang yang berbuat amal saleh. Dalam hatinya
ada dua harapan: amal karena Allah dan ingin dipuji oleh orang. Dengan kata
lain, amalan orang ini belum berstatus ikhlas sebab masih ada embel-embelnya.
Maka dari itu, bila seorang yang telah menunaikan haji merasa sewot bila tidak
dipanggil, “Pak Haji, Bu Haji,” jelas belum sampai ke maqam ikhlas atau ustaz
yang tidak dipanggil denga gelar ke-ustaz-annya.
Karenanya, jangan kita mencari ridha makhluk, yang penting kita terus beramal
sesuai ajaran agama Allah. Jalani saja aktivitas ibadah. Lihat keluarga Nabi,
Sayyidina Ali dan Fatimah yang dipuji oleh Allah karena keikhlasannya membantu
orang lain, tidak mengharap ucapan terima kasih atau balasan selain dari Allah: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula
(ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 09).
Ikhlas, tawadhu`, dan husnuddzan (mengakui keunggulan
teman sebaya), merupakan tiga pionir dalam mengisi hari-hari dengan kesalehan
ritual maupun sosial. Dengan ketiganya, kita cucup ridha Allah, menyingkirkan
rasa sombong, riya`, bangga diri yang hinggap di hati.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS.
Al-Bayyinah: 05).
Forum Santri Salaf (Forsan Salaf)
Posting Komentar