Janganlah seseorang menunda ketaatan
pada waktunya, hingga ia kehilangan taat pada waktunya. Atau karena ketaatan
lain yang sepadan, yang turut tertunda, dengan alasan sebagai tebusan
atas waktu yang ditentukan tersebut.
Sebab masing-masing waktu memiliki
bagian dalam ubudiyah yang telah ditentukan Allah SWT pada diri anda
melalui aturan Rububiyyah.
Saya pernah berkata pada diri sendiri,
“Abu Bakar ash-Shiddiq menunda witir hingga akhir malam...” Tiba-tiba
muncul suara dalam tidurku, “Tindakan itu adalah kebiasaan yang
berlaku dan sunnah yang ditetapkan, dimana Allah telah menetapkannya atas
kebiasaan tersebut disertai pelestariannya. Lalu bagaimana dengan Anda
(melakukan tindakan seperti itu) sementara ada kecenderungan untuk
bersantai-santai dan menikmati keinginan nafsu? Sungguh jauh berbeda!
Anda cenderung untuk masuk dalam berbagai penyimpangan; dan alpa dari musyahadah?
Sungguh jauh berbeda!”
Lalu akhirnya kukatakan
pada diri sendiri: “Apakah ini aturan atau rintangan?”
Lalu suara itu berkata lagi, “Suatu
aturan yang relevan dengan adab dan peringatan bagi kealpaan. Itu
merupakan wasiat bagi diri Anda, dan wasiat dari Anda untuk
hamba-hamba-Nya yang shalih. Ingatkan akan hal itu, dan Anda jangan
tergolong orang-orang yang alpa.”
Pernah, suatu kali muncul pertanyaan
padaku. “Apa yang bisa engkau ambil faedah ketika taat kepada-Ku, dan apa
pula ketika maksiat kepada-Ku?”
Lalu kujawab, “Aku mengambil
tambahan ilmu dan cahaya yang memancar serta kecintaan, dengan adanya ketaatan.
Dan aku mengambil faedah maksiat berupa rasa gelisah, susah, takut dan
harapan.”
Dalam salah satu hadis qudsi
disebutkan: “Barang siapa taat kepada-Ku dalam segala hal, maka Aku
melimpahkan ketaatan padanya dari segala hal.”
Seakan-akan Dia berfirman:
“Barang siapa taat dalam segala hal melalui hijrahnya dalam segala hal, maka
Aku melimpahkan kepatuhan dalam segala hal, dengan cara Aku tampakkan Diri-Ku
padanya di dalam segala hal, sehingga seakan-akan ia melihat-Ku dalam
segala yang ada.” Inilah bentuk keharusan orang-orang
saleh yang awam.
Sedangkan bagi orang khawash,
ketaatan mereka adalah terputus dari mereka (makhluk) dengan menghadap
pada segala yang ada, disebabkan karena kebajikan Kehendak Tuhannya dalam
segala yang ada ini. Seakan-akan Dia berfirman: “Barang siapa taat
kepada-Ku bersama segala yang ada dengan menghadapkan dirinya pada segala
sesuatu, karena kebaikan Kehendak-Ku pada segala sesuatu, maka Aku
limpahkan ketaatan padanya dalam sesuatu itu, dengan cara Aku Tampakkan
Diri-Ku padanya di sisi segala yang ada, sehingga ia melihat-Ku
lebih dekat kepadanya dibanding segala yang ada ini.”
Hendaknya engkau sekalian menetapi
prilaku lima kesucian. Adapun lima kesucian dalam tindakan
antara lain:
- Bebas diri dari (merasa) berdaya dan berupaya dalam segala situasi,
- Konsentrasi —melalui akal Anda— pada makna-makna yang tegak dengan hati.
- Keluarkan dirimu dari kedua tindakan tersebut menuju (hanya) kepada Allah Swt.
- Dan ingatlah Allah, maka Allah akan menjagamu, dan ingatlah Allah, maka Allah akan engkau temukan di depanmu.
- Sembahlah Allah melaui tindakan itu dan jadilah engkau tergolong orang-orang yang bersyukur.
Sementara lima kesucian dalam ucapan
adalah: Subahanallah, wal-Hamdulillah, wallaahu Akbar, walaa Haula walaa
Quwwata illa biLlaah.
Termasuk lima tindakan suci adalah:
Shalat lima waktu; dan pembebasan diri dari upaya dan daya kekuatan, yakni
dalam ucapan Anda: “Laa Haula walaa Quwwata illa BilLaah.”
Syeikh Abu Al Hasan Asy-Syadzily
Posting Komentar