Ilmu amat tinggi kedudukannya di
dalam Islam, demikian pula mereka yang mengajarkan dan menebarkan ilmu,
sehingga Islam juga menganjurkan agar umatnya memberikan pengormatan kepada
para ulama.
Diriwayatkan oleh Imam At Thabrani,
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (SAW) bersabda: “Pelajarilah ilmu,
pelajarilah ilmu dengan ketenangan dan sikap hormat serta tawadhu’lah kepada
orang yang mengajarimu”.
Ilmu tidak akan bisa diperoleh
secara sempurna kecuali dengan diiringi sifat tawadhu’ si murid terhadap
gurunya, karena keridhaan guru terhadap murid akan membantu proses penyerapan
ilmu. Sehingga Imam Al Munawi dalam Faidh Al Qadir (3/253) menyatakan bahwa
tawadhu’ murid terhadap guru merupakan cermin ketinggian kemulyaan si murid.
Tunduknya kepada guru justru merupakan izzah dan kehormatan baginya.
Al Munawi memberikan beberapa contoh
dalam masalah ini dari perilaku para sahabat, yang memperoleh pendidikan
langsung dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam yang layak untuk dijadikan
suri tauladan. Ibnu Abbas, sahabat mulia yang amat dekat dengan Rasulullah
mempersilahkan Zain Bin Tsabit, untuk naik di atas kendaraannya, sedangkan ia
sendiri yang menuntunnya. “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan
ulama kami”, ucap Ibnu Abbas. Zaid Bin Tsabit sendiri mencium tangan Ibnu
Abbas. “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ahli bait Rasulullah”,
balas Zaid. (Diriwayatkan At Thabarani, disahihkan oleh Al Iraqi).
Lalu Al Munawi menyebutkan bagaimana
para ulama menghormati guru-guru mereka.
As Sulaimi sendiri menceritakan
pengormatan orang-orang terdahulu terhadap ulama mereka. Pada zamannya,
orang-orang tidak akan bertanya sesuatu kepada Said bin Musayyab, faqih
tabi’in, kecuali meminta izin terlebih dahulu, seperti layaknya seseorang yang
sedang berhadapan dengan khalifah.
Pengormatan Imam As Syaf’i kepada
guru beliau Imam Malik, juga bisa kita ambil pelajaran. Masih munukil Ats
Sulaimi, Al Munawi menyebutkan, “Di hadapan Malik aku membuka lembaran-lembaran
dengan sangat hati-hati, agar jatuhnya lembaran kertas itu tidak terdengar”.
Rabi’, murid Imam As Syafi’i juga tidak ingin gurunya itu melihatnya ketika
sedang minum.
Tengoklah pula bagaimana rasa hormat
Imam Abu Hanifah kepada guru beliau. “Aku tidak pernah shalat setelah guruku
Hammad, wafat, kecuali aku memintakan ampun untuknya dan untuk orang tuaku”.
Rupanya perbuatan ini “menurun” juga kepada Abu Yusuf. Murid Abu Hanifah, ia
selalu mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan kedua orang tuanya sendiri.
(Manaqib Imam Abu Hanifah, Al Muwaffaq Al Khawarizmi, 2/7)
Pernah, Abdullah, putra dari Imam
Ahmad bertanya kepada ayahnya. “Syafi’i itu seperti apa orangnya, hingga aku
melihat ayah benyak mendoakannya?”. “Wahai anakku, Syafi’i seperti matahai bagi
dunia..”, jawab Ahmad bin Hanbal. Sebagaimana disebutkan beberapa riwayat,
bahwa selama tiga puluh tahun Imam Ahmad mendoakan dan memintakan ampunan untuk
guru beliau Imam As Syafi’i. (Tarikh Al Baghdadi, 2/62,66)
Sikap hormat dan tawadhu’mereka
kapada para guru amat tinggi, bahkan dalam berdoa sendiri mereka mendahulukan
para guru, baru kemudian orang tua. Kenapa dimikian?
Imam Al Ghazali
menjelaskannya. ”Hak para guru lebih besar daripada hak orang tua. Orang tua
merupakan sebab kehadiran manusia di dunia fana, sedangkan guru bermanfaat bagi
manusia untuk mengarungi kehidupan kekal. Kalaulah bukan karena jerih payah
guru, maka usaha orang tua akan sia-sia dan tid bermanfaat. Karena para guru
yang memberikan manusia bekal menuju kehidupan akhirat yang kekal”. (Ihya’
Ulumuddin, 1/55).
Ya Allah ampunilah guru-guru kami
dan sayangilah mereka…
[Disadur dari ta'liqat
[komentar-komentar] Al Muhaddits Abdul Fattah Abu Ghuddah, di Risalah Al
Mustarsyidin, Imam Al Muhasibi, cet Dar As Salam, Kairo, Th. 2000] Al Manar
Press
Posting Komentar