Di
saat Ramadhan dan Idul Fitri tingkat konsumsi masyarakat meningkat, bukan hanya
untuk dikonsumsi sendiri juga untuk berbagi (bersedekah). Prilaku ini akan
menggerakan sektor ekonomi secara nyata.
Namun
disayangkan ulah spekulan menjadikan harga-harga melambung tinggi karena mereka
menimbun barang atau mengalihkan tempat distribusi hingga harga merangkak naik
barulah mereka melepas barang-barang yang dibutuhkan masyarakat. Meningkatnya
permintaan barang konsumsi pada bulan Ramadhan dijadikan kesempatan bagi para
spekulan untuk meraup keuntungan yang tinggi.
Imbasnya,
inflasi di bulan yang penuh berkah ini terkadang di luar kendali dan
perhitungan pemerintah. Harga-harga barang melonjak lebih
dari perkiraan.
Secara
teori, inflasi terjadi karena:
pertama, melimpahnya uang yang beredar (kelebihan likuiditas/uang) dan kurangnya produksi atau distribusi barang. Membanjirnya likuiditas (uang) di pasar ditentukan oleh kemampuan Bank Sentral (Bank Indonesia) dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga, dan aksi para pemain (spekulan) di pasar uang.
pertama, melimpahnya uang yang beredar (kelebihan likuiditas/uang) dan kurangnya produksi atau distribusi barang. Membanjirnya likuiditas (uang) di pasar ditentukan oleh kemampuan Bank Sentral (Bank Indonesia) dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga, dan aksi para pemain (spekulan) di pasar uang.
Negara
yang menerapkan sistem fiat money (sistem mata uang yang tidak disandarkan kepada sesuatu yang
berharga seperti logam mulia) akan mudah terkena inflasi karena ada perubahan
nilai tukar mata uang dengan mata uang asing atau karena mencetak uang baru.
Kedua, penyebab inflasi karena kelangkaan
barang sering terjadi bukan hanya karena produksinya yang kurang tetapi juga
karena ketidaklancaran distribusi barang. Seringnya di bulan Ramadhan dijadikan
kesempatan emas oleh para spekulan untuk menjadikan barang itu langka selain
adanya permintaan yang meningkat demi mengambil keuntungan yang besar.
Di dalam sistem ekonomi Islam,
inflasi karena sebab yang pertama tidak akan pernah terjadi karena Negara Islam
menerapkan sistem mata uang emas (gold standard) sehingga tidak terpengaruh
dengan nilai tukar, dan Bank sentral tidak akan mudah mencetak uang baru selama
tidak memiliki tambahan persediaan logam mulia (emas dan perak).Sedangkan untuk
mengatasi inflasi akibat penimbunan barang maka Islam telah menjelaskan
bagaimana mencegah hal itu terjadi dengan mengharamkan penimbunan barang (ikhtikar).
Ulama
mazhab Maliki mendefinisikan ikhtikar adalah penyimpanan barang oleh
produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar, sedangkan
ulama Syafiiyah mendefinisaikannya menahan sesuatu yang dibeli pada waktu mahal
supaya bisa dijual dengan harga yang lebih dari waktu membeli karena orang
sangat membutuhkan.
Hukuman
bagi pelaku penimbun barang yang menyengsarakan masyarakat ini haruslah dihukum
setimpal oleh pemerintah karena perbuatan ini termasuk perbuatan yang haram.
Sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak
tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.”(HR.
Thabrani)
Pemerintah
bisa menentukan hukuman penjara, denda dengan jumlah yang besar dan memaksa
pemilik barang untuk menjual barangnya sesuai dengan harga normal pasar yang
berlaku.
Jika
sistem ekonomi Islam diterapkan, maka terjadinya inflasi hanya disebabkan
oleh kurangnya produksi semisal karena ada bencana alam atau paceklik
kekeringan. Sedangkan inflasi karena faktor ketamakan manusia bisa dihilangkan.
Pemerintah berkewajiban menjaga kestabilan dan kemudahan masyarkat mendapatkan
distribusi barang tetapi tidak bisa memaksakan penetuann harga.
Dalam
ekonomi Islam, harga sepenuhnya diberikan sesuai harga pasar (pertemuan antara
permintaan dan penawaran).
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:, ”Harga barang
dagangan pernah melambung tinggi di Madinah pada zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, lalu orang-orang pun berkata:”Wahai Rasulullah, harga
barang melambung, maka tetapkanlah standar harga untuk kami.” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya
Allah lah al-Musa’ir (Yang Maha Menetapkan harga), al-Qabidh,
al-Basith, dan ar-Raziq. Dan sungguh aku benar-benar berharap
berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang
menuntutku dengan kezhaliman dalam masalah darah (nyawa) dan harta” (HR.
al-Khomsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Tri Wahyu Cahyono
Posting Komentar