Bagi penduduk kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya
dan kota lainnya, tentu mengerti alasan kemacetan sebagai musuh umum. Mereka
sepakat bahwa kemacetan dapat menggangu kesehatan lahir dan batin. Apalagi bagi
pengguna sepeda motor, udara kotor dan suhu yang semakin panas dapat
menyebabkan ganggungan paru-paru dan pernafasan.
Hal ini tidak secara otomatis menguntungkan para pengguna mobil, toh mereka juga sama-sama merasakan kejenuhan dan pengorbanan waktu yang luar biasa.
Hal ini tidak secara otomatis menguntungkan para pengguna mobil, toh mereka juga sama-sama merasakan kejenuhan dan pengorbanan waktu yang luar biasa.
Kalau sudah begini, pihak
manapun tidak bertanggung jawab atas nasib seseorang yang kehilangan waktu
sembahyangnya. Untuk mengelak dari nasib, seseorang yang terpenjara di
kemacetan, dituntut mencari jalan lain. Ia dapat meminggirkan kendaraannya di
sebuah masjid, gedung, pom bensin atau pasar baik tradisional maupun swalayan.
Dengan singgah sebentar, ia dapat menunaikan ibadah sembahyang menurut
waktunya, bukan di luar waktu.
Namun, ada satu alternatif lagi. Seseorang boleh menjamak
sembahyang tersebut sesuai dengan ketentuan di fikih; Zuhur digabung dengan
Asar, dan Magrib dengan Isya. Kalau sebuah pertanyaan diajukan, “Bolehkah
menjamak sembahyang karena kemacetan lalu lintas?”, maka jawabnya, “Boleh.
Rasulullah pun dalam keadaan segar-bugar, pernah menjamak sembahyang di Madinah
tanpa alasan-alasan berat.” Hal ini sesuai dengan yang termaktub dalam
Bughyatul Mustarsyidin
لنا قول بجواز الجمع في السفر القصير اختاره البندنيجي
وظاهرالحديث جوازه ولو في حضر كما في شرح مسلم وحكى الخطابي عن أبي اسحق جوازه في
الحضر للحاجة وان لم يكن خوف ولامطر ولامرض وبه قال ابن المنذر.
“kami mempunyai pendapat yang membolehkan jamak bagi
seseorang yang tengah menempuh perjalanan singkat yang telah dipilih oleh Syekh
Albandaniji. Sebuah hadis mengungkapkannya dengan jelas, walaupun jamak
dilakukan oleh hadirin (bukan musafir) seperti tercantum dalam Syarah Muslim.
Dari Abu Ishak, Alkhatthabi menceritakan kebolehan jamak dalam perjalanan
singkat karena suatu hajat. Hal ini boleh saja meskipun bukan dalam kondisi
terganggunya keamanan, hujan lebat, dan sakit. Ibnul Munzir pun memegang
pendapat ini,”
Begitu pula keterangan yang terdapat di dalam Kifayatul
Akhyar
قال النووي: القول بجواز الجمع بالمرض ظاهر مختار، فقد ثبت في
صحيح مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم {جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر} قال
الاسنائي: وما اختاره النووي نص الشافعي في مختصر المزني ويؤيده المعنى أيضاً فإن
المرض يجوز الفطر كالسفر فالجمع أولى بل ذهب جماعة من العلماء إلى جواز الجمع في
الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وبه قال أبو إسحاق المروزي ونقله عن القفال وحكاه
الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر من أصحابنا وبه قال أشهب من
أصحاب مالك، وهو قول ابن سيرين، ويشهد له قول ابن عباس رضي الله عنهما أراد أن لا
يحرج أمته حين ذكر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم {جمع با لمدينة بين الظهر
والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولا مطر} فقال سعيد بن جبير: لم يفعل ذلك؟
فقال:لئلا يحرج أمته فلم يعلله بمرض ولا غيره
“Menurut Imam Nawawi, Pendapat yang membolehkan jamak
sembahyang bagi orang sakit, sudah terang. Dalam shahih Muslim, Nabi Muhammad
SAW menjamak sembahyang di kota Madinah bukan dalam kondisi terganggunya
keamanan, hujan lebat, dan sakit. Menurut Imam Asna’i, Pilihan Nawawi
didasarkan pendapat Imam Syafi‘i yang tercantum dalam kitab Mukhtasar Imam
Muzanni. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah perbandingan dimana alasan sakit
laiknya perjalanan jauh menjadi alasan sah orang untuk membatalkan puasa. Kalau
puasa saja boleh dibatalkan, maka penjamakan sembahyang lebih mendapat izin.
Bahkan sekelompok ulama membolehkan jamak bagi hadirin untuk sebuah hajat.
Dengan catatan, ini tidak bisa menjadi sebuah kebiasaan. Abu Ishak Almaruzi
memegang pendapat ini. Ia mengutipnya dari Syekh Qaffal yang diceritakan oleh
Alkhatthabi dari ahli hadis. Ibnul Munzir Syafi‘i dan Syekh Asyhab Maliki
menganut pendapat di atas.
Berikut ini pendapat Ibnu Sirin yang diperkuat oleh cerita Ibnu Abbas. Ketika sebuah hadis mengatakan bahwa Rasulullah SAW. menjamak sembahyang zuhur dengan Asar, dan Magrib dengan Isya bukan dalam kondisi terganggunya keamanan maupun hujan lebat, Ibnu Abbas berkomentar bahwa dengan jamak itu, Rasulullah SAW. tidak mau memnyusahkan umatnya. Saat Said bin Jubair bertanya, ‘Mengapa Rasulullah SAW. melakukannya?’ Ibnu Abbas menanggapi, ‘Rasulullah SAW. tidak mau merepotkan umatnya. Karena itu, Beliau melakukannya tanpa sebab sakit atau alasan lain,’” .
ومن الشافعية وغيرهم من ذهب الى جواز الجمع تقديما مطلقا لغير سفر ولا مرض ولا غيرهما من الأعذار. قال النماري رحمه الله إلى أن قال …. يعني أن القائلين بهذا ابن سيرين وربيعة الرأي والقفال الصغير وأشهب من المالكية وابن المنذر والقفال الكبير وأحمد بن حنبل. وعن جماعة جوازه مالم يتخذه عادة وهم غير محصورين, هذا في جمع التقديم واما جمع التأخير فقال به جمع غفير.
“Sebagian ulama mazhab Syafi‘i dan mazhab lain, secara mutlak membolehkan jamak takdim bagi hadirin, tidak sakit, atau alasan lain. Syekh Namari menyebutkan ulama yang sejalan dengan pendapat di atas, antara lain Ibnu Sirin, Rabi‘ah, Qaffal Shagir, Asyhab Maliki, Ibnul Munzir Syafi‘i, Qaffal Kabir, dan Ahmad bin Hanbal. Sementara sejumlah ulama membolehkan jamak dengan catatan tidak untuk kebiasaan. Jumlah mereka ini tidak terhitung. Hukum fikih di atas berlaku untuk jamak takdim. Sedangkan untuk jamak takhir, ulama dengan jumlah besar membolehkannya,”
Disarikan dari hasil Bahtsul Masa’il Musyawarah Kerja
Cabang (Mukercab) PCNU Jakarta Selatan pada 7 Februari 2010
Posting Komentar