Thariqat ini bukanlah jalan kependetaan, tidak makan
gandum dan kurma atau makanan yang direbus.
Tetapi thariqat ini adalah kesabaran, keyakinan dan hidayah.
Allah Swt. berfirman, “Kami jadikan mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami, ketika mereka bersabar, dan mereka yakin
dengan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Tuhanmu adalah
yang memisahkan antara mereka di hari kiamat atas apa yang mereka
perselisihkan.”
Inilah benteng yang mulia, bagi seorang yang mulia
yang memiliki lima karakter: kesabaran, ketaqwaan, wara’, yakin dan
ma’rifat.
Sabar ketika disakiti; takwa ketika tidak disakiti, wara’ terhadap apa yang keluar dan masuk dari sini (mulutnya), sementara dalam hati tidak bergejolak kecuali gejolak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; yakin dalam rizki dan ma’rifat terhadap Allah Swt, dimana ma’rifat itu tak akan menggelicirkan makhluk manapun.
“Bersabarlah karena akibat baik itu bagi orang-orang yang
bertaqwa. Dan janganlah kamu gelisah atas (tindakan) mereka, dan jangan pula
kamu merasa sumpek atas cobaan Allah, sesungguhnya Allah
bersama-sama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang
yang berbuat baik.”
Wara’ adalah adalah jalan terbaik bagi mereka yang
ingin memetik warisannya dan menginginkan pahalanya. Wara’ bagi
mereka terlah berpangkal kepada upaya meraih dari
Allah dan kepada Allah, berucap bersama Allah dan beramal
bagi dan demi Allah, atas dasar kejelasan bukti dan ketajaman mata
hati yang baik. Mereka pada seluruh waktunya dan seluruh kondisi
ruhaninya tidak ikut campur, mengatur dan memilih, mereka tidak
berkehendak dan tidak berfikir, tidak melihat dan tidak berbicara, tidak
memukul, tidak berjalan dan tidak bergerak kecuali bersama Allah dan bagi
Allah.
Hanya saja mereka tidak tahu, ilmu telah mengusir mereka dari persoalan yang sebenarnya. Mereka berkumpul dalam integrasi nyata, dimana mereka tidak membeda-bedakan mana yang lebih tinggi, lebih rendah dan lebih rendah lagi.”
Sebutlah sebagai suatu “kebahagiaan” pada seseorang yang mengenal Allah dan bertawadhu’ kepada Ahlullah, walaupun ia tidak mampu melakukan sebagaimana yang dilakukan Ahlullah. Dan sebutlah sebagai “bencana”, pada orang yang mengingkari Allah dan bertakabur pada Ahlullah, walaupun ia melakukan sebagaimana tindakan Ahlullah.
Aku pernah pergi menuju taman dengan para muridku di
kota Tunisia. Kemudian aku kembali ke kota itu dengan
menaiki kendaraan himar. ketika kami mendekati kota, mereka turun dan
mereka merasa lesu. Mereka katakan, “Tuanku, turun saja di sini.” Aku bertanya,
“Mengapa?” Mereka menjawab, “Inilah kota, kami malu memasuki kota ini hanya dengan
naik himar.” Lalu kujejakkan kaki, dengan maksud mengikuti saja apa
kehendak mereka. Tiba-tiba muncul suara pada diriku. “Sesungguhnya
Allah tidak menyiksa orang yang mencari keringanan yang
disertai tawadhu’. Tetapi Allah menyiksa pada orang yang mencari
keringanan yang disertai kesombongan.”
Syeikh
Abul Hasan Asy-Asyadzily
Posting Komentar