Kota Madinah terlihat sepi dari lalu lalang orang. Hawa musim dingin
yang menyayat pori-pori kulit membuat setiap orang enggan untuk keluar
rumah. Apalagi sudah lewat tengah malam. Tapi tidak begitu halnya dengan
khalifah yang pertama kali diberi gelar ‘Amirul Mukminin’ ini. Amanah
ummat yang dibebankan diatas pundaknya justru membuat kedua matanya
enggan untuk sekedar terpejam di malam hari.
Rakyatku… Rakyatku! Iapun
bangkit dan beranjak keluar menyusuri setiap lorong-lorong Madinah,
untuk melihat kondisi rakyatnya. Begitulah kebiasaan unik Khalifah Umar
bin Khattab dalam menghabiskan sebagian waktu malamnya.
Lama ia berjalan ditemani seorang pembantunya. Rasa lelah mulai
menggelayuti tubuhnya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk istirahat
sejenak. Ia bersandar melepas lelah di sebuah dinding rumah sederhana
di sebuah perkampungan di Madinah. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan
percaka-pan antara seorang ibu dengan puterinya, pemilik rumah tersebut.
“Campurkan air pada susu yang mau kita jual, nak!” kata ibu kepada
puterinya. “Bagaimana mungkin aku mencampurnya dengan air, bu! Bukankah
Amirul Mukminin telah melarang para penjual susu untuk melakukan itu???”
“Penjual-penjual susu yang lain juga mencampur susu mereka dengan
air. Sudahlah, nak, campur saja! Amirul Mukminin pasti tidak tahu apa
yang kita lakukan!”
“Bu, jika Amirul Mukminin tidak mengetahuinya, maka Tuhan Amirul Mukminin tentu mengetahuinya…”
Umar bin Khattab tak kuasa menahan air matanya ketika mendengar
ungkapan sang anak kepada ibunya. Ungkapan yang sederhana, tapi keluar
dari jiwa yang bertakwa, sehingga mengun-dang air mata orang yang
mendengarnya. Air mata takwa, dari jiwa yang takwa, ketika mendengar
ungkapan ketakwaan.
Umar bin Khattab gembira mendengar kata-kata itu. Ia bergegas menuju
masjid untuk mela-kukan shalat subuh, kemudian pulang ke rumah dan
memanggil salah satu puteranya, ‘Ashim, lalu memintanya untuk menimba
informasi tentang keluarga penjual susu tersebut.
‘Ashim datang menemui Umar bin Khattab, menyampaikan semua informasi
tentang perempuan penjual susu dan putrinya. Kemudian Umar menceritakan
percakapan antara mereka yang didengarnya tadi pagi menjelang fajar. Ia
menyuruh ‘Ashim untuk menikah dengan puteri penjual susu itu.
“Pergilah kepadanya dan nikahilah ia, nak! Aku melihat ia adalah
wanita yang diberkahi. Mudah-mudahan suatu saat nanti ia akan melahirkan
orang hebat yang akan memimpin Arab !”
Keduanya pun akhirnya menikah dan dikaruniai anak perempuan yang
diberi nama Laila, atau biasa dipanggil dengan Ummu ‘Ashim. Mereka
mendidik Laila dengan baik, dalam suasana keluarga yang kental dengan
nilai-nilai Islam, sampai ia tumbuh menjadi seorang gadis yang memahami
dan mengamalkan Islam dalam hidupnya.
Laila menikah dengan putera khalifah Daulah Umawiyah yang keempat,
namanya Abdul Aziz. Dari perkawinannya itulah lahir seorang anak yang
nantinya akan memenuhi dunia dengan keadilan. Dialah Umar Bin Abdul Aziz.
Ini adalah sebuah kisah perjalanan sejarah yang panjang tentang seorang wanita yang memiliki nilai agung, yaitu muroqobatullah.
Yang ada dalam dirinya hanyalah dia selalu tahu bahwa Allah selalu
mengawasinya. Ini merupakan pelajaran sangat mahal yang diberikan oleh
Umar bin Abdul Aziz sebagai keturunan dari orang-orang yang memiliki
nilai muroqobatullah.
Imam Nugroho
Posting Komentar