Redaksi qunût yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih
dapat diklasifikasikan menjadi dua macam.
Pertama, qunût yang ma’tsûr dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam
Pertama, qunût yang ma’tsûr dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam
Kedua, qunût yang pernah dibaca oleh Sayidina Umar Radhiyallâhu
‘anhu, yaitu:
اللَّهُمَّ
اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِيْ
فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِيْ
فِيْمَا
اَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ اِنَّكَ تَقْضِيْ وَلَايُقْضَى عَلَيْكَ
وَاِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ
رَبَّنَا وَتَعَا لَيْتَ
Di dalam qunût yang ma’tsûr dari Nabi Shallallâhu
‘alaihi wasallam, disunnahkan melanjutkannya dengan membaca tsanâ’
(pujian) terhadap Allah Subhânahu wa ta‘âlâ dan dilanjutkan dengan
membaca salawat kepada Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam
seperti yang sudah lumrah dilakukan di kalangan masyarakat.
Di dalam pelaksanaannya, qunût tidak boleh dibaca
terlalu panjang seperti halnya pelaksanaan tahiyat pertama dan akan menimbulkan
hukum makruh bila dilaksanakan dengan terlalu panjang. Tapi, ketika seseorang
membaca qunût, dan dalam qunût tersebut dia menggabungkan antara qunût
yang ma’tsûr dari Nabi dengan qunût-nya sayyidina Umar Radhiyallâhu
‘anhu, maka qunût tersebut tidak dihukumi makruh. Qunût
tersebut tetap dihukumi sunah bagi orang yang salat sendirian, atau bagi
seorang imam yang makmumnya sedikit, sedangkan mereka rela dengan bacaan
imamnya yang dipanjangkan.
Sedangkan tata cara membaca qunût itu sendiri,
apabila yang membaca adalah orang yang salat sendirian, maka bacaan qunût
harus dibaca secara pelan. Dan bagi seorang imam, bacaan qunût boleh
dibaca pelan dan boleh dibaca keras. Sedangkan bagi makmum, apabila imamnya
membaca dengan keras, maka dia membaca “amin”, dan apabila imamnya membaca
dengan pelan, maka dia boleh memilih antara membaca qunût sendiri atau
diam. Tapi menurut pendapat yang lebih sahih (qaul ashah),
apabila bacaan imam berupa do’a, maka makmum harus memaca “amin”, dan bila
berupa tsanâ (pujian), maka makmum boleh memilih antara membaca tsanâ
seperti halnya imam atau diam.
Dari sisi lain, qunût juga bisa dibagi menjadi dua,
yaitu : qunût râtib dan qunût nâzilah. Qunût
râtib adalah qunût yang dilaksanakan pada waktu salat subuh dan
di rakaat terakhir salat witir diseparuh kedua bulan Ramadhan.
Qunût
râtib ini termasuk diantara sunnah ab’adh-nya salat, bila lupa
tidak dikerjakan maka disunnahkan sujud sahwi. Meninggalkan sebagian dari qunût
râtib ini sama halnya dengan meninggalkan kesemuanya qunut. Jadi, orang
yang tidak membaca qunût ini dengan sempurna, atau mengganti sebagian
kalimat dengan kalimat yang lain, seperti mengganti huruf “ fî “
dengan “ma’a” dalam lafadz “fî man hadaita”, maka orang tersebut
sama halnya dengan tidak mengerjakannya sama sekali dan disunnahkan baginya
untuk mengganti qunût tersebut dengan sujud sahwi. Sama dengan
permasalahan diatas yaitu, bila ada orang yang membaca sebagian qunût,
lalu melanjutkannya dengan qunût yang lain yang tidak sama dengan qunût
yang pertama, seperti membaca sebagian qunut yang ma’sur dari Nabi Shallallâhu
‘alaihi wasallam lalu melanjutkannya dengan sebagian qunutnya Sayyidina
Umar Radhiyallâhu ‘anhu, maka orang tersebut juga disunnahkan
menggantinya dengan sujud sahwi, karna orang tersebut tidak membaca satu qûnut-pun
dengan sempurna.
Sedangkan yang dinamakan qunût nâzilah adalah qunût
yang dilaksanakan karna ada bencana yang menyusahkan umat islam, seperti
terjadi badai, kebakaran, murtadnya mayoritas umat islam atau negara islam
sedang diserang musuh. Maka, apabila ada kejadian seperti itu, disunnahkan bagi
umat islam yang lain untuk qunût setelah ruku’ di rakaat yang terakhir
dalam semua salat maktûbah (salat fardlu) untuk mendo’akan orang
muslim yang lain yang tertimpa musibah.
Qunût
nâzilah ini pernah dilakukan oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam
selama satu bulan untuk mendo’akan para sahabat yang terbunuh dalam peristiwa
sumur mu’nah. Jadi, hukum mengerjakan qunût ini adalah sunnah
ketika ada musibah yang menimpa umat islam dengan dasar mengikuti langkah
perbuatan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam.
Dalam kesunnahan qunût nâzilah ini, apabila
lupa tidak dikerjakan atau satu kalimat diganti dengan kalimat yang lain, maka
tidak disunnahkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi, karna kesunnahan qunût
nâzilah ini adalah dzâtiyah dari qunût itu sendiri, tanpa
ada sangkut pautnya dengan salat yang dikerjakan.
Ust. Abd. Hamid
Posting Komentar