Negeri
akhirat itu, Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi
orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Qashash:
83).
Sudah lumrah kita temui,
bahkan tengah ramai dalam suasana kehidupan kita saat ini, adanya sekumpulan
orang di sekitar kita yang begitu berambisi mengejar jabatan atau kedudukan
sehingga berbagai cara mereka tempuh demi mewujudkan ambisinya itu.
Fenomena semacam ini sangat
tercela di mata agama. Ambisi ini semua berangkat dari niatan duniawi yang banyak
mengorbankan persaudaraan manusia, padahal mereka semua dijadikan Allah
sebagai khalifah di muka bumi.
Apa dan bagaimana Rasulullah
SAW mengingatkan ihwal hal ini, mari kita awali dengan petikan ayat Al-Qur’an
berikut ini:
“Negeri akhirat itu, Kami
jadikan bagi orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang
yang bertaqwa.” (Al-Qashash:
83).
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam
tafsirnya berkata tentang ayat ini, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwasanya negeri
akhirat dan kenikmatannya yang kekal, yang tidak akan pernah lenyap dan musnah,
disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan
hati), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi, yakni tidak menyombongkan diri
di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak
sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.”
Ayat ini memang ditujukan
sebagai targhib (dorongan) bagi mereka yang bertaqwa, sebagaimana
dikemukakan Ibn Katsir. Namun di balik makna yang terkandung di dalamnya, juga
sekaligus ada tanbih (peringatan) dan tarhib (ancaman) bagi
mereka yang tamak pada kedudukan tinggi dan kekuasaan duniawi.
Dari Abu Sa‘id
Abdurrahman bin Samurah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW berkata kepadaku,
‘Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan
kepemimpinan. Jika jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu, engkau
akan dibantu dalam melaksanakannya. Namun jika engkau diberikan karena
memintanya, jabatan tersebut sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Jika engkau
bersumpah dengan satu sumpah yang saat itu engkau melihat hal lain yang lebih
baik (dari sumpahmu itu), ambillah yang lebih baik itu dan tebuslah sumpahmu.”
(Muttafaq ’alaih).
Hadits ini diriwayatkan
Al-Bukhari dalam kitab Iman dan Nadzar bab Kafarah sebelum
Melanggar Sumpah dan Sesudahnya dan kitab Hukum bab Orang
yang tak Meminta Kekuasaan Ditolong Allah. Sedangkan Muslim meriwayatkan
di dalam kitab Iman bab Bolehnya Melanggar Sumpah jika Yang
Dilakukannya itu lebih Baik dan Mendatangkan Kebaikan dan Menghapus Sumpahnya.
Hadits ini menjelaskan
haramnya perbuatan meminta jabatan dan kedudukan. Jika jabatan itu tak ada
yang mampu menjalaninya lantaran tidak punya kecakapan atau kemahiran dan
kemampuan yang sepadan dengan tugas jabatan itu, boleh saja seseorang
menawarkan diri untuk menjalaninya, dengan syarat demi kemaslahatan umum. Ini
justru akan mendatangkan bantuan bagi dirinya dari Allah SWT. Adapun menerima
jabatan itu, sedangkan ia tak memintanya, diperbolehkan. Tentunya dalam hal
ini ia mempertimbangkan kapasitas dirinya, mampu atau tidak. Bila tidak, ia wajib
menolaknya. Hal ini senada dengan hadits Nabi SAW lainnya, “Jika suatu perkara
diserahkan bukan kepada ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.”
Perkara lainnya yang
terkandung dalam hadits ini bahwasanya dibolehkan melanggar sumpah atau janji
yang diutarakan jika tak ada maslahat dalam janji itu, bahkan jika
dilanggarnya malah mendatangkan manfaat bagi umum yang jauh lebih besar. Atau
pula jika dengan cara melanggar sumpah itu ia selamat dari perkara yang
mengandung maksiat, seperti suap, korupsi, kolusi, maka melanggar sumpah
jabatan itu wajib atasnya. Jika dalam klausul jabatan yang ia bersumpah padanya
mengandung kebaikan, ia tak boleh melanggar sumpahnya, bahkan berdosa, karena
mengingkari kebaikan dalam sumpah itu.
Kajian Hadist Majalah Al Kisah
Posting Komentar