Fadhal bin Yahya Al-Barmaki adalah seorang gubernur di
zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid. Dia dikenal sangat dermawan. Suatu kali orang
bertanya mengenai rahasia kedermawanannya. Dia menjawab, “Aku belajar
kedermawanan dari Imarah bin Hamzah.” Orang bertanya pula, “Bagaimana
ceritanya?” Dan mulailah Fadhal bercerita sebagaimana berikut ini:
Ayahku dulu seorang kepala daerah di sebuah distrik di
daerah Persi. Dia terlibat salah urus dalam masalah keuangan. Banyak uang
negara yang amblas.
Pemerintah pusat marah. Ayahku dipanggil ke Baghdad. Dia
diharuskan menutup defisit itu. Ayahku, apa boleh buat, menyerahkan seluruh
hartanya. Ternyata tidak cukup. Dia masih menanggung utang 3 juta dirham, dan
dia diharuskan melunasi utang itu segera. Dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Ayahku bingung, dari mana uang segitu banyak dia dapatkan
dalam waktu singkat. Satu-satunya jalan hanyalah Imarah bin Hamzah, seorang
juru tulis Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur. Masalahnya, antara ayahku dan Imarah
ada masalah. Ada api permusuhan di antara mereka.
Ayahku merasa, dia harus mengesampingkan perasaannya untuk
sementara. Dia harus mengabaikan rasa gengsinya karena dia kini sedang
terdesak.
Ayah memanggilku. Waktu itu, aku masih bocah. “Pergilah ke
rumah Imarah,” katanya padaku. “Sampaikan salamku. Ceritakan padanya mengenai
situasi gawat kita. Bilang padanya aku mau pinjam tiga juga dirham. Nanti kalau
Allah telah memberi kemudahan padaku, akan aku bayar.”
Aku mengelak. “Ayah, engkau kan tahu apa yang terjadi
antara kalian berdua. Bagaimana mungkin aku mendatangi musuhmu dengan membawa
misi ini, sementara aku tahu, seandainya dia mampu melenyapkanmu, itu pasti
dilakukannya,” kataku.
“Tidak, kamu harus datang padanya. Harus. Tidak boleh
tidak. Siapa tahu Allah menundukkan hatinya dan menghunjamkan rasa belas kasih
di hatinya,” tegas ayahku.
Kata-katanya diucapkan dengan begitu tegas, sehingga aku
tak punya pilihan lain kecuali menurutinya.
Aku berangkat menuju rumah Imarah. Berat rasanya hatiku.
Kau tahu, aku melangkah maju mundur. Dengan langkah-langkah gamang. Toh,
akhirnya, sampai juga aku di kediamannya. Aku minta izin untuk masuk, dan aku
diizinkan.
Kudapati Imarah sedang berbaring miring di atas permadani
yang empuk, sambil menghadap ke arah tembok. Begitulah memang caranya dia
duduk. Nyaris tak pernah duduk secara sempurna, selalu berbaring miring.
Tampaknya dia baru meminyaki rambut dan jenggotnya dengan minyak misik.
“Assalamu alaikum,” kataku.
Dia tidak menjawab salamku. (Aih, orang ini memang dikenal
angkuh, sehingga tak perlu ditiru.) Aku sampaikan salam dari ayahku. Kubeberkan
cerita keluarga kami, cerita ayahku. Tak lupa kusampaikan pula misi
kedatanganku untuk meminjam uang tiga juga dirham, dan bahwa utang itu akan
dilunasi kalau ayahku sudah punya uang. Dia terdiam sesaat. Lalu dia berkata,
“Aku pikir-pikir dulu.”
Aku keluar dari rumahnya dengan membawa rasa sesal yang
menyesak.
Aku menyesal telah melangkahkan kaki dan masuk ke rumahnya. Aku menyesal telah membeberkan seluruh cerita kami dan mengemis utang padanya. Oh, untuk apa segala kesia-siaan ini? Aku yakin, dia pasti tidak akan meluluskan permintaan kami.
Aku keluar dengan hati mendongkol. Mendongkol pada ayahku
yang telah memaksaku menistakan diri di hadapan seorang musuh yang begitu
angkuh dan cuek. Tanpa guna lagi.
Saking jengkelnya, aku berniat tidak pulang. Nggambek, begitulah.
Maklum masih bocah. Hal ini berlangsung hingga beberapa saat.
Lama kelamaan kejengkelanku reda. Lagi pula, hendak ke mana
aku kalau tidak pulang ke rumah. Maka, langkah kaki pun kubawa ke rumah.
Ketika sampai di pintu rumah, aku kaget mendapati sejumlah
bagal (turunan kuda dengan keledai) yang penuh muatan.
“Apa ini?” tanyaku.
“Imarah mengirim uang,” jawab orang di rumahku.
Aku lalu menjumpai ayahku. Tidak aku ceritakan apa yang
terjadi antara aku dengan Imarah supaya hal itu tidak menodai perbuatan
baiknya.
Begitulah. Utang ayahku kepada negara terbayar lunas.
Beberapa hari kemudian ayah kembali ke tempat kerjanya. Setelah beberapa lama,
dia berhasil mengumpulkan uang yang banyak.
Suatu hari dia memanggilku dan memberiku 3 juta dirham.
“Bawa ini ke tempat Imarah!” katanya.
Aku mendatangi rumahnya. Setelah permisi, aku masuk ke
dalam rumahnya yang megah. Kudapati dia persis dalam posisi seperti dulu. Aku
mengucap salam, dia tidak menjawabnya. Aku sampaikan salam ayahku, aku ucapkan
terima kasih atas kebaikannya, bahwa kiriman uangnya sudah tiba, dan kini aku
hendak melunasinya. “Celaka kamu!” katanya. “Kamu ini petugas penukar uang bagi
ayahmu? Keluarlah, semua uang itu untukmu.”
Aku berbalik badan dan melangkahkan kaki keluar.
Sampai di rumah kuberikan uang 3 juta dirham kepada ayahku. Ayahku berkata,
“Anakku, demi Allah sebenarnya aku tidak tega melakukan ini padamu Tapi,
ambillah yang satu juta dirham. Biarkan sisanya untuk ayah.”
Ust. Hamid Ahmad
Posting Komentar