Tentang hadits Ghaidir Khum, sebuah lembah
antara Makkah dan Madinah, terjadi perbedaan pemahaman antara kaum syiah dengan
mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan
cara mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Contohnya riwayat berikut
Riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar
khutbah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hari Jum’at. Ia
memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai
sekalian manusia, aku adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa
yang engkau katakan wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam“. Kemudian
beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda. “Orang ini adalah waliku, dan dialah
yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang
yang mengakui (meyakini) Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang
akan memerangi orang yang memeranginya“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui (meyakini) Ali
sebagai wali” maksudnya hanya muslim tertentu yang dapat mengakui (meyakini)
Sayyidina Ali ra sebagai Wali Allah atau imamnya para Wali Allah.
Mereka adalah orang-orang yang dapat
meyakini pula bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah imamnya para
Wali Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
menegaskannya dengan kalimat “aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“. Serupa
dengan hadits qudsi, “Allah ta’ala berfirman “Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya“ (HR Bukhari
6021)
Jadi apa yang diperselisihkan oleh kaum
Syiah bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra “merebut” kepemimpinan
atau khalifah dari Imam Sayyidina Ali ra atau bahkan anggapan keji bahwa
Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra mengkhianati ketetapan
Rasulullah di Ghadir Khum adalah merupakan kesalahpahaman karena sesungguhnya
kepemimpinan pada wilayah yang berbeda.
Para Wali Allah (kekasih Allah) adalah
penerus setelah khataman Nabiyyin ditugaskan untuk “menjaga” agama Islam. Rasulullah mengkiaskannya dengan estafet (penyerahan) “bendera”.
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi
wasallam berkata kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di
Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda
meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai Ali,
tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan
Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau
bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada
seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga
mencintainya. Maka kami semuanya saling mengharap agar mendapatkan bendera itu.
Beliau bersabda: Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420)
Imam Sayyidina Ali ra adalah bertindak bukan sebagai Nabi karena tidak
ada Nabi setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau adalah Imam
para Wali Allah. Bumi ini tidak pernah kosong dari para Wali Allah dan Imamnya yang
akan menjaga agamaNya dan syariatNya
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata
kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan
agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak
akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan
dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka.
Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah
sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai
dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh
keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan.
Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam
malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada
agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul
Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Ust. Zon Jonggol
Posting Komentar