Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » , » Hadiah Ataukah Suap ??? (1)

Hadiah Ataukah Suap ??? (1)

Penting bagi kita memahami makna hadiah dari sudut pandang syar’i. dalam al Fiqhî dinyatakan, menurut ulama Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlîku ’ayn bi lâ ’iwadh ikrâman ilâ al-muhdâ ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).

Apabila ada kompensasi itu bisa masuk dalam kategori risywah (suap) yang diharamkan. Dalam kitab fiqh, hadiah memang tidak boleh diterima oleh hakim, amil zakat, atau orang yang terlibat utang piutang. Hal ini karena adanya kekhawatiran mempengaruhi putusan, khawatir yang dihadiahkan sebenarnya juga bagian zakat dan khawatir terjebak riba.

Pejabat publik? Pada dasarnya tidak diharamkan menerima hadiah tetapi karena khawatir merupakan suap lebih baik dihindari. Yang bersangkutan mestinya lebih tahu, itu hadiah ataukah risywah. Dan hukum keduanya sudah sangat jelas. Nabi saw. sendiri juga menerima dan makan hadiah, meskipun beliau adalah pejabat publik. Shahabat yang lain juga demikian.

Hadiah yang telanjur diterima pun tidak dianjurkan ditolak dan tidak ada dalil yang menjelaskan penolakan terhadap hadiah dimaksud. Si amil zakatpun tidak diperintahkan mengembalikan hadiahnya, akan tetapi berdasarkan keterangan ulama yang saya tahu hadiah tersebut tetap disetorkan ke Baitul Maal sebagai bagian zakat (mungkin ada yg bisa beri masukan).

Bila telanjur menerima hadiah, maka ada dua pendapat fuqoha: Pertama, hadiah itu dikembalikan ke Baitul Mal; Kedua, hadiah itu dikembalikan pada pemiliknya jika dia mengenalnya. Jika dia tidak mengenalnya atau orang itu jauh, maka dikembalikan ke Bait al-Maal.

Karena itu pernyataan kode etik (kalau nukilannya benar ya..) yang menyebutkan larangan menerima segala pemberian dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung, dari Customer, sesama Pegawai, atau pihak lain, yang menyebabkan Pegawai yang menerima, “patut diduga memiliki kewajiban yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya” dapat difahami bahwa pembuat kode etik sudah cukup hati2 dengan menambahkan kata dalam tanda petik itu sehingga ia terhindar dari mengharamkan yang dihalalkan Allah, dalam hal hadiah yang diberikan adalah ikhlas Lillahi Ta’ala.

Tentang perilaku adil, saya setuju bahwa kita musti adil.Apakah adil itu? Menempatkan sesuatu sesuai seharusnya atau lebih baik.Jadi jika saya memberikan pelayanan lebih kepada yang memberi hadiah tanpa mengurangi hak dan pelayanan yang tidak memberi hadiah itu adalah perbuatan adil.

Jika saya hanya melayani yang memberi hadiah atau mengurangi pelayanan pada yang tidak memberi hadiah maka itulah perbuatan Dholim.

Saya sangat setuju kode etik yang ada memang baik dan patut dikembangkan. Atau sangat sesuai dengan syariat Islam, mungkin betul. Tetapi kita harus obyektif dalam menetapkan hukum haram, makruh sunnah, wajib atau mubah. Tidak lantas pegawai beacukai yg tdk memakai seragam dinas sesuai kode etik dikatakan berdosa. Rasanya aneh bila kita beranggapan diakhirat nanti ada org yang dimasukkan ke neraka karena naik motor tidak pakai helm, meskipun kode etiknya pemotor begitu.

Hadits nabi disebutkan di atas memang sering digunakan sebagai dalil haramnya pemberian hadiah kepada aparat negara. Itu tidak salah dan memang dapat diterima. Terjemahan dari hadits tersebut :

Abu Humaid as-Sa’idi menuturkan bahwa Nabi saw. pernah mengangkat seseorang dari Bani Azad yang bernama Ibn al-Utbiyah (Ibn al-Lutbiyah) sebagai amil pemungut zakat, lalu ia kembali dan mengatakan, “Ya Rasul, ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.”

Nabi SAW lalu berpidato, “Tidak pantas seorang petugas yang kami utus lalu datang dan berkata, “Ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.” Mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya lalu memperhatikan apakah itu dihadiahkan kepadanya atau tidak. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah ia datang membawa pemberian itu, kecuali ia pasti datang pada Hari Kiamat kelak memanggul barang itu di pundaknya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Dawud).

Tetapi tentu tidak bisa serta merta hanya melihat satu hadits kemudian menetapkan hukum. Hadits-hadis lain semisal Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian saling mencintai (HR al-Bukhari, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).


Sumber: Milis IMAN
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger