Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan
dari Yaman, lalu ia bertanya: “Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”.
Lalu
seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang
sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik. “Siapa namamu?” tanya Umar.
“Aku Uwais”, jawabnya
datar.
“Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya
Umar lagi.
“Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas.
Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau
mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna
putih seperti panu tapi tidak hilang).
“Benar, Amirul Mu’minin, dulu
aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku
kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu
untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”.
“Mintakan aku ampunan kepada Allah”. Uwais terperanjat mendengar
permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul
Mu’minin, engkau
justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau
sahabat Nabi?”
Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya
sebaik-baik Tabi’in adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu
dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang
dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila
kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah”
Uwais lalu
mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam
kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah (HR
Ahmad).
Riwayat tersebut bukan berarti Sayyidina
Umar ra tidak termasuk wali Allah (kekasih Allah) namun sekedar mengabarkan
Uwais ra adalah seorang wali Allah di antara Tabi’in.
Sebagaimana yang dialami oleh Sayyidina Ali
ra (imam para wali Allah), para Wali Allah memang pada umumnya terkena fitnah
Rasulullah bersabda : Sesungguhnya bagi
Allah ada orang-orang yang baik (yang tidak pernah menonjolkan diri di antara
para hamba-Nya yang dipelihara dalam kasih sayang dan dihidupkan di dalam afiat
(sehat yang sempurna). Apabila mereka diwafatkan, niscaya dimasukkan kedalam
surganya. Mereka terkena fitnah atau ujian, sehingga mereka seperti berjalan di
sebagian malam yang gelap, sedang mereka selamat daripadanya. (Hadis riwayat
Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I hal 6)
Para Wali Allah adalah muslim yang dekat
dengan Allah Azza wa Jalla. Mereka meraih manzilah (maqom / derajat) di sisiNya
dan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS
An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan
kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada
negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk
orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Jadi orang-orang yang selalu berada dalam
kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang diberi
karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan atau
disucikan atau dipelihara oleh Allah ta’ala sehingga terhindar dari
perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang
ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang
dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh). Mereka adalah para kekasih
Allah atau wali Allah
Hubungan yang tercipta antara Allah ta’ala dengan
al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/820-935M)
adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah
(pertolongan).
Hubungan istimewa ini diperoleh karena
hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga
ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan
pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna
al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan
kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada al-ri’ayah
(pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah
kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya
bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni
memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka
berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah
berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan
bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat,
jenjang, dan maqamat mereka.
Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat
kewaliannya. Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
1. ‘ishmah
al-anbiya (‘ishmah Nabi),
2. ‘ishmah
al-awliya (‘ishmah para wali),
3. ‘ishmah
al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Jadi jika Allah telah mencintai hambaNya
maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka berbuat
kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika
masih di dunia.
Ust. Zon Jonggol
Posting Komentar