Pertama, mengapa doa tidak dikabulkan. Kedua, masalah meminta didoakan
oleh orang lain. Ketiga, masalah yang terkait dengan yang kedua, yakni
mendatangi seseorang yang disebut orang pintar, dukun, atau dengan istilah-istilah
lain, apakah mengakibatkan musyrik ataukah tidak. Mari kita perhatikan satu
per satu persoalan ini.
Setiap orang bisa mencapai apa yang diinginkannya dan bisa pula tidak,
apakah ia berdoa ataukah tidak. Berhasil atau tidaknya apa yang kita inginkan
di dunia ini bukanlah ukuran diterimanya amal ibadah kita atau doa yang kita
panjatkan. Yang jelas, kita diperintahkan untuk berdoa kepada Allah SWT, dan
doa yang kita panjatkan kepada Allah itu, jika dilakukan dengan keimanan, pasti
Allah berkenan menerimanya. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat
186 yang artinya, “Aku menerima doa seorang yang berdoa apabila ia berdoa
kepada-Ku.” Allah SWT juga berfirman dalam surah Al-Mu’min ayat 60 yang
artinya, “Berdoalah kamu kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan bagimu.”
Ibnu Athaillah pernah berkata di dalam kitab Al-Hikam, “Apabila telah dibukakan
bagimu pintu bermohon, sesungguhnya telah dibukakan bagimu pintu
penerimaan.” Hikmah tersebut sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dari Ibnu Umar RA dari Nabi SAW, “Barang siapa di antara kalian
telah dibukakan pintu doa, berarti telah dibukakan baginya pintu penerimaan.”
Mungkin Anda bertanya, bukankah suatu kenyataan bahwa banyak orang yang
memohon sesuatu tetapi ia tidak mendapatkan hasil sebagaimana yang
diharapkannya? Apakah kesemuanya tergantung kehendak Allah? Memang hal tersebut
tidak bisa disangkal.
Akan tetapi diterimanya doa seorang hamba oleh Allah SWT,
kemungkinannya bisa bermacam-macam. Adakalanya diberikan menurut apa yang
dimintanya, adakalanya diberikan dalam bentuk yang lain. Misalnya, berdoa
ingin mendapatkan pekerjaan, tetapi yang didapatkannya adalah
memperoleh beasiswa melanjutkan kuliah. Adakalanya dipalingkan
(dihindarkan) dari kejahatan atau musibah seharga doanya itu, atau disimpan
oleh Allah baginya sebagai pahala di akhirat nanti. Dengan diperolehnya salah
satu dari hal-hal itu, berarti Allah telah memperkenankan doa orang tersebut.
Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak
ada di muka bumi ini seorang muslim yang berdoa kepada Allah dengan suatu doa
melainkan Allah berikan kepadanya sesuai yang dimintanya, atau Allah palingkan
kejahatan darinya seharga doanya itu, selama ia tidak berdoa dengan suatu
kedosaan atau memutuskan tali kekeluargaan.”
Maka berkatalah seorang laki-laki dari suatu kaum, “Kalau begitu kami akan
memperbanyak doa.”
Lalu Nabi bersabda, “Penerimaan Allah lebih banyak lagi.” (Hadis riwayat
At-Tirmidzi).
Sedang menurut riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak-nya dari riwayat
Abu Sa’id Al-Khudry ada tambahan, “Atau Allah simpankan untuknya pahala di akhirat
seharga doa itu.”
Kemudian kami tambahkan di sini sebuah hadits yang diriwayatkan dalam
Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abi Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau
bersabda, “Dikabulkan bagi salah seorang dari kalian selama ia tidak ingin cepat-cepat
dengan mengatakan, ‘Wah, aku sudah berdoa, kok belum dikabulkan juga?’.”
Mengenai bolehnya minta didoakan oleh orang lain, hal tersebut berlaku di kalangan
salaf dan khalaf, karena memang ada dasarnya. Di antaranya, Rasulullah SAW
pernah minta didoakan oleh Sayyidina Umar bin Al-Khaththab RA, sebagaimana
diceritakan dalam hadits yang diriwayatkan Umar sendiri, “Aku pernah minta izin
kepada Nabi SAW untuk melaksanakan umrah. Beliau memberikan izin kepadaku
seraya bersabda, ‘Jangan kau lupakan aku dalam doamu, wahai saudara yang tercinta.’
Beliau mengucapkan satu kalimat yang seandainya pun ditukar dengan dunia ini
aku tidak akan senang.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi). Dalam riwayat lain
dikatakan, “Ikut sertakanlah aku, wahai saudara tercinta, dalam doamu.”
Meskipun dalam hadits tersebut Rasulullah SAW meminta didoakan oleh
Sayyidina Umar, sama sekali tidak berarti bahwa ia lebih mulia atau lebih utama
daripada Rasulullah. Tak seorang pun yang mengatakan demikian. Hadits tersebut,
di samping menunjukkan ketawadhu’an Rasulullah SAW, juga secara jelas
menunjukkan bolehnya seseorang meminta didoakan oleh orang lain, terutama
orang-orang shalih.
Demikianlah, boleh-boleh saja kita datang kepada seseorang untuk minta
didoakan atau minta diajari doa atau amaliah tertentu, karena memang hal
tersebut ada dasarnya. Orang yang sering didatangi masyarakat untuk dimintakan
doanya itu, jika ia bukan seorang kiai, misalnya hanya seorang yang shalih,
terkadang disebut “orang pintar” atau istilah-istilah lain. Hal ini bisa menimbulkan
kerancuan, karena orang-orang yang melakukan praktek-praktek yang melanggar
ajaran agama juga sering disebut demikian. Karena itu, sebaiknya berhati-hati
terhadap siapa orang yang kita hadapi itu. Jangan mudah percaya, tapi juga
jangan mudah curiga. Periksalah dengan baik.
Sesungguhnya masalah nama tidak penting. Yang penting, perhatikanlah apa
yang dilakukannya dan apa yang dibacanya. Syaratnya, kita harus benar-benar
yakin bahwa yang dibaca oleh orang yang kita datangi itu atau yang diajarkannya
kepada kita bukan bacaan-bacaan yang menyimpang, apalagi mengandung unsur-unsur
kemusyrikan. Karena itu, jika ada bacaan-bacaan yang aneh yang kita belum tahu
atau tidak mengerti, sebaiknya kita tanya kepada orang yang kita yakini
pemahamannya tentang agama.
Syarat lainnya, kita harus meyakini bahwa segala sesuatu, termasuk doa yang
kita panjatkan, bukan yang menyebabkan terwujudnya apa yang kita maksud,
melainkan hanya merupakan perantara. Pada hakikatnya yang mewujudkan semuanya
adalah Allah, bukan yang lain. Apa-apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi,
dan apa-apa yang tak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.
Adapun mengenai syirik (pelakunya disebut musyrik) atau tidaknya suatu amal
tergantung pada hati dan iktiqad orang yang melakukannya. Orang yang bertauhid
tahu dan yakin bahwa Allah SWT sajalah yang memberi bekas (pengaruh), adapun
hal-hal lain hanyalah sebab. Sedangkan bagi orang yang dangkal tauhidnya,
kemusyrikan ini tidak perlu sampai pada doa atau amalan-amalan dan wirid-wirid,
terkadang minum obat sakit kepala saja sudah cukup membuatnya menjadi musyrik
jika ia beriktikad atau berkeyakinan bahwa obat yang diminumnya itulah pada
hakikatnya yang benar-benar memberikan pengaruh dalam menyembuhkannya. Karena,
yang menyembuhkan hanyalah Allah, sedangkan obat hanya sebab.
Berbeda dengan orang yang bertauhid, ia selalu dalam wiqayatullah (penjagaan
Allah) dari kemusyrikan, sekalipun ia menyandang keris berlekuk sembilan,
misalnya. Maka jika seseorang mendatangi orang yang shalih untuk minta didoakan
atau diajari doa-doa tertentu yang tidak bertentangan dengan ajaran agama dan
ia meyakini bahwa Allahlah pada hakikatnya yang mengabulkan permohonannya,
itu tidak membuatnya menjadi musyrik. Syirik itu pada pokoknya merupakan
urusan hati.
Sumber: Rubrik Tanya Jawab Al Kisah
Posting Komentar