Diriwayatkan
bahwa apabila Rasulullah shalallahu ‘alahi wassalam memasuki bulan Rajab beliau
berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan
sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin
Malik).
"Barang
siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan,
bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8
hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka
digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."
Riwayat
al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan
Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah
untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8
pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua
permintaannya....."
"Sesungguhnya
di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu
dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab,
maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".
Riwayat
(secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad Saw bersabda:
"Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya
umatku."
Sabda
Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang
airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari
minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan
sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk
orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.
Ditegaskan
oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang
keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha'if (lemah atau
kurang kuat).
Namun
dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama
generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam
konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).
Syaikhul
Islam al-Imam al-Hafidz al- ‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah
mengatakan:
“Adapun
hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan
mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya,
apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi
berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti
nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain.”
http://www.facebook.com/notes/pesantren-virtual/puasa-dan-keutamaan-rajab/10150239208476014 oleh Ust. Yusuf Suharto (Guru PAI SMPN 3 Peterongan dan Dosen FAI Univ. Darul ‘Ulum Jombang)
Posting Komentar