Banyak anggapan yang oleh pelajar dianggap sangat penting, tetapi hal itu
justru bukan hal yang paling penting. Salah satunya “simbol” nilai mata
pelajaran yang biasa ditulis dengan angka. Semakin tinggi angka yang diraih,
semakin dianggap berhasil dalam pelajaran. Benarkah demikian?
Menurut Yesmil Anwar, Dosen Universitas Padjadjaran (Unpad), nilai “angka”
bukanlah merupakan tujuan utama, tetapi hanya menjadi alat untuk mencapai
tujuan. Nilai bukan tujuan pendidikan. Karena pendidikan sejatinya adalah
sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang, tujuan pendidikan adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia yang seutuhnya, yaitu yang
beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan mandiri,
serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan berbangsa. Dari sini dapat
diketahui bahwa nilai bukanlah merupakan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai
sarana untuk meraih tujuan pendidikan tersebut.
Akan tetapi, justru para pelajar banyak yang berlomba-lomba untuk mencapai
nilai tertinggi dengan memakai segala usaha yang negatif, misalnya menyontek (cheating).
Kok bisa? Menyontek selalu hadir menyertai kegiatan ujian atau tes dalam
pendidikan. Menyontek merupakan bahaya laten dalam dunia pendidikan. Cheating
dapat menjadi tumor ganas yang akan menghabiskan moralitas generasi muda
Indonesia. Cheating tak lain merupakan soft problem yang
mengakar pada civitas akademika yang luput dari perhatian banyak praktisi
pendidikan kita.
Anehnya perbuatan contek menyontek di kalangan pelajar sampai saat ini masih
saja terus ada. Tidak pernah terdengar ada sanksi, skorsing, pengurangan nilai
atau pembatalan kenaikan kelas bagi pelajar yang ketahuan menyontek dalam
ulangan. Praktis saja, acara contek menyontek terus merajalela. Tidak pernah
ada dalam rapat orang tua, guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembina
pendidikan membicarakan masalah contek-menyontek. Sekolah seakan menutup diri,
seolah-olah semua siswa-siswinya bersih dari praktek “pembodohan” menyontek
ini. Apakah dikira contek-menyontek bukan persoalan serius?
Belum lagi terkait dengan sistem penilaian guru yang terkadang sangat
subyektif. Banyak guru yang hanya menilai jawaban siswa yang tertulis dalam tes
saja, tanpa melihat proses bagaimana ia mendapatkan nilai, tanpa melihat
potensi dan nilai keseharian siswa tersebut. Sehingga terkadang menimbulkan
kerugiaan tidak hanya pada siswa yang pintar tetapi juga pada siswa yang malas.
Bila jawaban siswa rata-rata sama, karena hasil menyontek, tentu saja ini
merugikan.
Jika persoalan ini terus dibiarkan, maka dunia pendidikan tidak akan
maju, malahan menciptakan manusia yang tidak jujur, malas, dan cenderung
mencari jalan pintas dalam segala sesuatu dan akhirnya menjadi manusia yang
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.
Dengan apik, Yesmil Anwar menggambarkan bahwa
menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat, padahal bahayanya sangat
luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan
Indonesia.
Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali saja jarum itu
rusak, mesin motor pun mati. Jika masalah mencontek ini masih saja dianggap
sepele oleh semua orang, tidak ada respon dan tanggapan, dunia pendidikan
pesimis akan maju.
Budaya cheating/ nyontek, akan melahirkan generasi-generasi muda yang
tidak tahan uji, generasi-generasi prematur yang menginginkan segalanya dengan
instan tanpa harus merasakan arti sebuah perjuangan. Kreatifitas siswa akan
hilang, yang tumbuh mungkin hanya orang-orang yang tidak jujur. Alhasil,
penyakit cheating/ nyontek harus segera dibasmi
sekarang juga agar dampaknya tidak bertambah besar lagi.
Oryza Rizqullah (Santri di Ma'had Qudsiyyah Kudus)
Posting Komentar