Dalam tradisi bermadzhab, perbedaan
pendapat merupakan sebuah keniscayaan dan termasuk khazanah kekayaan fiqih kaum
Muslimin. Namun, dewasa ini terdapat kelompok-kelompok yang cenderung
memaksakan pendapatnya kepada orang lain agar diikuti, disebarluaskan, dan membuat wacana
bahwa mengikuti madzhab fiqih yang ada merupakan salah satu bentuk kesyirikan
dan dilarang dalam agama.
Memang hadits ikhtilafu ummati rahmatun,
termasuk hadits dha’if, akan tetapi substansinya terdapat dalam hadits-hadits yang
shahih.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Ibn Umar
radhiyallahu ‘anhu yang berkata: “Sepulangnya dari peperangan Ahzab, Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
لاَ يُصَلِّيَنَّ
أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. رواه البخاري (٨٩٤).
“Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR.
al-Bukhari [894]).
Sebagian sahabat ada yang memahami teks
hadits tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar–walaupun waktunya
telah berlalu– kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara
kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di
perkampungan yang dituju.
Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima
laporan tentang kasus ini, beliau tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat
yang berbeda pendapat dalam memahami teks hadits beliau.” (HR.
al-Bukhari [894]).
Berkaitan dengan hal tersebut Sayidina Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata:
جَلَدَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعِينَ، وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ، وَعُمَرُ
ثَمَانِينَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ، وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ . رواه مسلم (٣٢٢٠) وأبو داود
(٣٣٨٤).
“Nabi mendera orang yang minum khamr sebanyak empat puluh kali. Abu
Bakar mendera empat puluh kali pula. Sedangkan Umar menderanya delapan puluh
kali. Dan kesemuanya adalah sunnah. Akan tetapi, empat puluh kali lebih aku
sukai.” (HR. Muslim (3220) dan Abi Dawud (3384).
Dalam hadits ini, Ali bin Abi Thalib
menetapkan bahwa dera empat puluh kali yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar, sedang dera delapan puluh kali yang
dilakukan oleh Umar kepada orang yang minum khamr, keduanya sama-sama benar.
Hadits ini menjadi bukti bahwa perbedaan pendapat di antara sesama mujtahid
dalam bidang fiqih, tidak tercela, bahkan eksistensinya diakui berdasarkan
hadits tersebut. Seorang ulama salaf dari generasi tabi’in, al-Imam al-Qasim bin Muhammad
bin Abu Bakar al-Shiddiq berkata:
كَانَ
اخْتِلاَفُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم رَحْمَةً لِلنَّاسِ.
“Perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam merupakan rahmat bagi manusia.” (Jazil al-Mawahib, 21).
Khalifah yang shaleh, Umar bin Abdul Aziz
radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
مَا سَرَّنِيْ
لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَخْتَلِفُوْا لأَنَّهُمْ
لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ.
“Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda
pendapat, tentu tidak ada kemurahan dalam agama.” (Jazil al-Mawahib, 22).
Paparan di atas menyimpulkan bahwa
perbedaan pendapat di kalangan sahabat telah terjadi sejak masa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Dan ternyata perbedaan tersebut dilegitimasi oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menjadi rahmat bagi umat Islam
sebagaimana diakui oleh ulama salaf yang saleh. Wallahu a’lam.”
Ust. Idrus Ramli
Posting Komentar