Niat dilakukan dalam hati bersamaan dengan takbîratul ihrâm.
Waktu berniat adalah sejak mengucapkan hamzahnya kaka Allah dalam
takbir sampai akhir râ’nya kataakbar.
Yang dimaksud dengan ‘niat’ di sini adalah
menggambarkan di dalam hati bentuk shalat secara global disertai bermaksud
melakukannya, menyatakan ke-fardhu-an dan menentukan shalatnya
(semisal zhuhur). Sedangkan yang dimaksud dengan “bersamaan” adalah
membersamakan gambaran hati tersebut dengan takbir[3].
Lafal niat adalah seperti berikut:
أُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لله تَعَالَى.
Membaca lafal ini hukum sunnat sebelum takbir.
Sedangkan niat yang difardhukan adalah niat di dalam hati bersamaan dengan
takbir.
Berikut ini adalah bacaan-bacaan niat shalat. Kata
yang bergaris bawah adalah unsur wajib dari niat:[4]
a. Niat shalat zhuhur:
اُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً (مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى
Artinya: Saya melakukan shalat fardhu
zhuhur sebanyak empat rakaat dengan menghadap kiblat, pada waktunya
(menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
b. Niat shalat ashar:
أُصَلِّى فَرْضَ العَصْرِأَرْبَعَ رَكَعاَتٍ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً (مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى.
Artinya: Saya melakukan shalat fardhu
ashar sebanyak empat rakaat dengan menghadap kiblat, pada waktunya
(menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
c. Niat shalat maghrib:
أُصَلِّى فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعاَتٍ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً (مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى.
Artinya: Saya melakukan shalat fardhu
maghrib sebanyak tiga rakaat dengan menghadap kiblat, pada waktunya
(menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
d. Niat shalat isya’:
أُصَلِّى فَرْضَ العِشَاء ِأَرْبَعَ رَكَعاَتٍ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً (مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى.
Artinya: Saya melakukan shalat fardhu
isya’ sebanyak empat rakaat dengan menghadap kiblat, pada waktunya
(menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
e. Niat shalat shubuh:
أُصَلِّى فَرْضَ الصُّبْح رَكَعتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ
الْقِبْلَةِ أَدَاءً (مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى.
Artinya: Saya melakukan shalat fardhu
subuh sebanyak dua rakaat dengan menghadap kiblat, pada waktunya (menjadi
makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
Melengkapi niat shalat dengan
pernyataan “menghadap kiblat, ada’ atau qadha’,
semata karena Allah dan menentukan jumlah rakaat” hukumnya sunnat.
2. Takbîratul ihrâm
Bacaan takbîratul ihrâm adalah:
أللهُ أَكْبَرْ
Dalam mengucapkan takbir, orang yang shalat wajib
membacanya dengan tepat dan benar.
Saat takbir sunnat mengangkat kedua tangan. Bagi
laki-laki dengan cara: 1) posisi tangan berada di atas pundak; 2) ibu jari
lurus dengan daun telinga bagian bawah; 3) jari-jari agak direnggangkan; 4)
ujung jari-jari diluruskan dengan daun telinga bagian atas dan condong ke
arah kiblat.
Bagi orang perempuan praktek mengangkat tangannya
sama dengan praktekya laki-laki, dan ada ulama yang menyatakan (qîl)
tangannya diangkat tidak terlalu tinggi kira-kira ujung jari-jari lurus dengan
bahu.
3. Berdiri bagi orang yang mampu
Orang yang tidak mampu berdiri, maka harus melakukan
shalat dengan duduk. Orang yang tidak mampu shalat dengan cara duduk, maka,
harus melaksanakan shalat dengan cara tidur miring. Bila dengan cara tidur
miring masih tidak memungkinkan, maka harus melaksanakan shalat dengan cara
tidur terlentang. Jika masih tidak mampu melakukannya dengan tidur terlentang,
maka harus melakukan shalat isyarat dengan kelopak mata. Jika masih tidak
memungkinkan melakukannya dengan cara tersebut, maka harus menjalankan rukun
shalat dalam hati. Keterangan lebih lengkap dijelaskan dalam
bab Shalat Ma’dzûr.
4. Membaca surat Fâtihah di setiap rakaat
Jika tidak mampu membaca surat Fâtihah, karena baru
masuk Islam misalnya, maka alternatifnya harus membaca tujuh ayat lain yang
jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf-huruf yang terdapat dalam surat
Fâtihah. Jika tidak mampu membaca tujuh ayat lain sama sekali, maka harus
membaca tujuh macam dzikir atau doa dengan jumlah huruf yang sekiranya tidak
kurang dari jumlah hurufnya surat Fâtihah. Jika tidak mampu membaca tujuh macam
dzikir atau doa, maka harus berdiri (diam) dalam waktu yang kira-kira cukup
untuk membaca Fâtihah.
Bagi orang yang hanya mampu membaca sebagian dari
surat Fâtihah, maka dia harus mengulang-ulanginya sampai jumlah hurufnya tidak
kurang dari jumlah huruf yang terdapat dalam surat Fâtihah.
Pembacaan surat Fâtihah, harus sesuai dengan urutan
ayat yang ada di dalam al-Qur’an. Selain itu, juga harus berkesinambungan
(muwâlat). Artinya, harus membaca berkesinambungan antara satu kalimat
dengan kalimat berikutnya, tidak dipisah dengan diam, atau membaca dzikir yang
tidak ada hubungannya dengan shalat. Lain halnya jika dzikir pemisah itu masih
berhubungan dengan shalat, semisal membacaâmîn di pertengahan
Fâtihah karena mengamini bacaan Fâtihah imam.
Diam bisa mempengaruhi pada kesinambungan (muwâlat)
Fâtihah, apabila dilakukan dalam waktu yang cukup lama tanpa ada udzur. Atau
diam sebentar, tapi memang bertujuan untuk memutus bacaan.
Jika diamnya karena lupa bacaan Fâtihah atau tidak
tahu bahwa muwâlat itu wajib, maka hukumnya tidak apa-apa, baik
waktu diamnya lama atau sebentar, sebab hal itu dianggap udzur.
Pembacaan Fâtihah harus lengkap, harus
menyuarakan tasydîdnya yang jumlahnya ada 14, juga
mengucapkan huruf dengan benar (sesuai makhraj/tempat keluarnya
huruf). Jangan sampai ada salah satu huruf yang dihilangkan dari surat
Fâtihah, atau mengubah bacaan huruf sehingga menyebabkan maknanya tidak benar.
Sumber: Buku Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat) Diterbitkan
oleh Pustaka SIDOGIRI
Pondok Pesantren Sidogir
Posting Komentar