Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » , » Ambisi Harta dan Kekuasaan (2)

Ambisi Harta dan Kekuasaan (2)

Sufyan Ats-Tsauri (161 H) telah menulis surat kepada Abbad bin Abbad, di antara isinya adalah: “Hati-hatilah anda dari penguasa, janganlah dekat dengan mereka atau berhubungan dalam urusan apapun, janganlah anda tertipu dengan tipuan Iblis yang membisikkanmu bahwa engkau menemui mereka dalam rangka membela orang-orang yang tertindas dan mengembalikan hak-hak mereka. Hanya ulama su’ (buruk) yang menjadikan dekat dengan penguasa sebagai tangga untuk mencapai ambisi dunianya. Adapaun fatwa yang sudah ada maka pergunakanlah, janganlah menjadi orang yang senang jika ucapanya didengar dan diikuti, serta diekspose secara meluas. Apabila ia meninggalkan itu semua, maka diketahuilah keikhlasannya."


Hati-hatilah anda dari cinta kepemimpinan, karena orang yang berambisi terhadap kepemimpinan ia lebih mencintai kepemimpinan daripada cintanya terhadap emas dan perak. Celah ini sangat tersamar, tidak ada yang mengetahuinya kecuali ulama yang berpengalaman.


Waspadalah dalam urusan hati, dan beramalah dengan niat yang ikhlash, dan ketahuilah sudah dekat waktunya bahwa perkara yang diinginkan oleh seseorang adalah apabila meninggal dunia, "wassalam”.


Dikarenakan bahaya ambisi terhadap kemuliaan dunia, maka para Salafush shalih tidak menyukai mempertontonkan keunggulan dirinya kepada manusia, baik dalam hal ilmu, zuhud, dan ibadah. Mereka tidak suka menampakkan amal shalih, ucapan, atau menyebutkan karamah yang Allah berikan kepadanya agar ia dikunjungi, diharapkan berkahnya, dimintai do’anya, dan supaya dicium tanganya, lalu senang serta bergembira terhadap hal demikian, bahkan berusaha untuk mendapatkan penghormatan dari manusia dengan apa yang telah disebutkan tadi.



Dari sinilah para Salafush Shalih sangat tidak menyukai ketenaran, di antara mereka: Ayyub As-Sikhtiani, An-Nakha’i, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad bin Hambal, dan ulama Rabbani lainnya. Mereka merendahkan amalan mereka, dan sangat menyembunyikan amal shalih mereka.


Ibrahim An-Nakha’i apabila sedang membaca Al-Qur’an, kemudian datang seseorang maka ia segera menutupi wajahnya dengan mushaf.


Banyak di antara ulama’ Salaf yang tidak suka apabila ia dimintai do’a, sambil berkata kepada yang minta do’a: “Siapakah saya ini ?” (dia merasa tidak pantas untuk dimintai do’a). Seseorang mengirim surat kepada Imam Ahmad meminta agar beliau berdo’a untuknya, maka Imam Ahmad menyatakan: “Jika kami berdo’a untuknya, maka siapakah yang berdo’a untuk kami?”


Salah seorang shalih menceritakan kepada raja tentang seseorang yang gemar beribadah, maka raja ingin berkunjung kepadanya, diberitahukanlah jadwal kunjungan sang raja kepada ahli ibadah terebut. Pada saat kedatangan raja, ahli ibadah tersebut duduk di pinggir jalan sambil makan, sang raja datang menemui ahli ibadah yang sedang duduk di pinggir jalan sambil makan, raja mengucap salam dan dijawab oleh ahli ibadah dengan singkat sambil menyantap makanan dengan lahap tanpa menghiraukan kedatangan sang raja. Raja menjadi kecewa dan berkata: “Orang ini tidak mempunyai kebaikan sama sekali !” lalu pulanglah sang raja. Setelah sang raja pergi, si ahli ibadah berkata: “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah menjauhkan saya dari orang itu dan dia pulang dalam keadaan mencelaku”.


Permasalahan ini sangat luas sekali, dan di sini terdapat point yang sangat halus sekali. Yaitu bahwa seorang manusia kadang mencela diri sendiri di hadapan orang lain, dengan tujuan agar orang lain menganggap dia sebagai orang yang tawaddlu’, sehingga ia menjadi mulia dan terpuji di mata manusia. Ini merupakan bagian dari pintu riya’ yang sangat halus, para ulama’ telah memperingatkan terhadap hal ini.


Jelaslah sudah sebagaimana telah kami sebutkan, bahwa cinta harta dan kedudukan serta ambisi terhadap keduanya dapat merusak dien seorang muslim sampai habis tak bersisa, kecuali Allah berkehendak lain. Akar dari cinta kepada harta dan kemuliaan adalah cinta kepada dunia dan akar cinta kepada dunia adalah mengikuti hawa nafsu.


Wahab bin Munabbih berkata: “Mengikuti hawa nafsu akan melahirkan cinta kepada dunia, cinta kepada dunia akan melahirkan cinta kepada harta dan kemuliaan, dan cinta kepada harta dan kemuliaan melahirkan sikap menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah”.


Ucapan itu benar, hanya taqwa kepada Allah yang dapat membentengi seseorang dari mengikuti hawa nafsu dan memalingkan hati kita dari cinta kepada dunia. Allah berfirman:


فَأَمَّا مَن طَغَى . وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى . وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)". [an-Nazi’aatL: 37 – 41]


Allah telah mensifatkan penduduk neraka sebagai orang yang memiliki harta dan kekuasaan di beberapa tempat dalam kitabNya. Dia berfirman:


وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ . وَلَمْ أَدْرِ مَاحِسَابِيَهْ . يَالَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ . مَآأَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ . هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ

"Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia berkata:"Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu, hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku, telah hilang kekuasaan dariku". [al-Haaqqaah: 25-29]


Ketahuilah bahwa jiwa manusia mencintai kedudukan yang tinggi melebihi orang lain. Dari sinilah timbul sifat sombong dan hasad, akan tetapi orang-orang yang berakal akan berlomba untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi yang kekal dan langgeng di sisi Allah, mendapatkan ridlaNya dan membenci kedudukan tinggi yang fana dan bersifat sementara, tetapi disertai dengan kemurkaan Allah dan kebencianNya, rendah dan jauh dariNya.


Ambisi untuk mendapatkan kedudukan tinggi di dunia adalah perbuatan tercela yang mengakibatkan kecongkakan dan kesombongan di muka bumi. Sedangkan ambisi untuk mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah adalah hal yang terpuji. Allah berfirman:


وَفيِ ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

"Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba" [al-Muthaffifiin: 26]


Untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi di akhirat diperintahkan untuk berlomba-lomba dan berambisi terhadapnya, dengan jalan berusaha berjalan di atas rel-relnya, tidak boleh merasa puas dengan rangking terakhir padahal ia mampu meraih rangking teratas. Adapun kedudukan tinggi di dunia, maka di akhirat akan berakibat penyesalan dan kerugian serta kehinaan dan kerendahan yang akan dirasakan oleh orang yang berambisi. Maka yang disyari’atkan dalam hal ini adalah menghindar dan zuhud terhadapnya.



Fans Page Majelis Kyai dan Ustadz
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger