Wara’ adalah menjauhkan diri dari
hal-hal yang belum jelas halal dan haramnya karena takut terjatuh pada perkara
yang haram (Al-Imam
Muhammad bin Ismail al-Amir al-Yamny ash-Shan’any, Subulus Salam Syarhu Bulughul
Maram Min Jam’i Adillati al-Ahkam, Juz IV, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, Cet.
ke-I, 1988, hlm. 314).
Dalam hadist yang bersumber dalam Kitab Ula Muhammad
Abdurrahman Ibn Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Turmudzi,
Juz VII, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1990, hlm. 186-187 karya Al-Imam al-Hafidz
Abi al-‘ yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, Rasulullah Saw memerintahkan kepada umatnya agar
menjauhi dan meninggalkan perkara syubhat:
حدّثناَ
أبُو مُوسَى الأنْصَارِي أَخْبَرناَ عبدُ اللهِ بنُ أدْرِيْسَ أَخْبَرناَ شُعْبَةَ
عن بُرَيْدَ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عن أبِي الْحَورَاءَ السَّعدِي قال قُلْتُ للحَسَنِ
بن عَلِيّ ماَ حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ حَفِظْتُ مِنْ
رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم دَعْ ماَ يُرِيْبُكَ إِلَى ماَ لاَ يُرِيْبُكَ فَإِنَّ
الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَ إِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ (رواه الترمذي)
Abu Musa al-Anshari merceritakan kepada
kita, Abdullah bin Idris mengabarkan kepada kita, Syu’bah mengabarkan kepada kita dari
Buraid bin Abi Maryam dari Abi al-Haura as-Sa’diy berkata: saya berkata kepada
Hasan bib Ali: Apa yang engkau hafal dari Rasulullah? Hasan berkata (menjawab):
yang saya hafal dari Rasulullah Saw: Tinggalkan perkara yang meragukanmu kepada
perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan hati
sedangkan kedustaan itu adalah keraguan. (HR. at-Turmudzi)
Dalil di atas merupakan pokok dalam hal
meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman. Dalam
hadist ini Rasulullah memerintahkan kepada umatnya untuk meninggalkan perkara
yang meragukan dan memerintahkan kepada umatnya untuk mengambil perkara yang
meyakinkan.
Maka apabila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan
Rasulullah dalam hadist di atas, maka ia telah menjaga kehormatannya dari celaan
dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Sebagaimana sabdanya: “Siapa menjaga
dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga
agamanya dan kehormatannya”. Dan perbuatan ini akan mengantarkannya kepada sikap wara’.
Maka sesuatu yang masih diragukan kehalalan
atau keharamannya harus dibuktikan kebenaran akan halal atau haramnyasehingga
seseorang menjadi jelas dan yakin untuk melakukannya apabila termasuk barang
halal dan meninggalkan apabila itu telah jelas keharamannya. Sesuai dengan
kaidah fiqih:
الْيَقِيْنُ
لاَ يُزَالُ بِتلشَّكِّ
Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan
dengan keraguan (Peunoh Daly dan Quraisy Shihab (eds.), Ushul Fiqh II, Jakarta: Departemen
Agama, 1986, hlm. 194).
Menurut Ahmad Batahi al-Khatabi, hukum
meninggalkan syubhat ada tiga, yaitu: wajib, sunah dan makruh.
1. Jika yang
syubhat itu diyakini membawa pada yang haram, maka meninggalkannya adalah
wajib.
2. Jika yang syubhat itu lebih berat kepada yang haram, maka
meninggalkannya adalah sunah.
3. Jika lebih berat kepada yang halal, maka
meninggalkannya adalah makruh.
Ust. Hakam El Chudri
Posting Komentar