6. Shalawat al-Imam al-Syafi’i
Abdullah bin al-Hakam berkata: “Aku bermimpi bertemu al-Imam al-
Syafi’i setelah beliau meninggal. Aku bertanya: “Bagaimana perlakuan Allah
kepadamu?” Beliau menjawab: “Allah mengasihiku dan mengampuniku. Lalu aku
bertanya kepada Allah: “Dengan apa aku memperoleh derajat ini?” Lalu ada orang
yang menjawab: “Dengan shalawat yang kamu tulis dalam kitab al-Risalah:
“Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada Muhammad sejumlah ingatan orang-orang yang berdzikir kepada-Nya dan sejumlah kelalaian orang-orang yang lalai kepada-Nya”.
Abdullah bin al-Hakam berkata: “Pagi harinya aku lihat kitab al
Risalah, ternyata shalawat di dalamnya sama dengan yang aku lihat dalam
mimpiku.”
Kisah ini diriwayatkan oleh banyak ulama seperti Ibn al-Qayyim dalam
Jala’ alAjham (hal. 230), al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ (haL 254)
dan lain-lain.
Hadits-hadits di atas, dan ratusan riwayat lain dari ulama salaf dan
ahli hadits yang tidak disebutkan di sini, dapat mengantarkan kita pada
beberapa kesimpulan di antaranya:
Pertama, dalam Islam tidak ada ajaran yang mengajak meninggalkan
shalawat-shalawat atau doa-doa yang disusun oleh para ulama dan auliya.
Seperti Dalail al-Khairat, Shalawat al-Fatih, Munjiyat, Nariyah,
Thibbul Qulub, Badar dan lain-kin. Bahkan sebaliknya, ajaran Islam menganjurkan
untuk mengamalkan shalawat-shalawat dan doa-doa yang disusun oleh para ulama
dan auliya. Sejak generasi sahabat Nabi SAW kita dianjurkan untuk menyusun shalawat
yang baik kepada Nabi SAW, sebagai tanda kecintaan dan ekspresi keta’zhiman
kita kepada beliau. Mereka juga mengajarkan kita cara menyusun shalawat yang
baik kepada Nabi SAW, seperti shalawat yang disusun oleh Sayidina Ali, Ibn
Mas’ud, Ibn Abbas dan ulama-ulama sesudahnya. Dari sekian banyak shalawat yang
disusun oleh mereka, lahirlah karya-karya khusus dalam shalawat vang ditulis
oleh para hafizh dari kalangan ahli hadits seperti Fadhl al-Shalat ‘aha.
al-Nabi karya al-Imam Ismail bin Ishaq al- Qadhi, Jala’ al-Ajham karya Ibn
al-Qayyim, al-Qahl al-Badi’ karya al-Hafizh al-Sakhawi dan ratusan karya
shalawat lainnya.
Dengan demikian, ajakan agar meninggalkan shalawat dan doa yang
disusun oleh para ulama dan auliya, termasuk ajakan yang bertentangan dengan
Sunnah Rasul yang membolehkan dan memuji doa-doa yang disusun oleh para
sahabatnya.
Kedua, di antara susunan shalawat yang baik adalah bacaan shalawat yang
disertai dengan pujian kepada Nabi SAW.
Seperti yang dicontohkan dalam shalawat Sayidina Ali bin Abi
Thalib dengan menyertakan nama-nama dan sifat-sifat Nabi yang terpuji seperti,
‘alfatih lima ughliq, aldafi’ lijaysyat alabathil, al-khatim lima sabaq’ dan
lain-lain.
Oleh karena itu, Shalawat al-Fatih dan lain-lain yang mengandung
pujian kepada Nabi SAW dengan kalimat ‘alfatih lima ughliq, al-khatim lima
sabaq, thibbil qulub wa dawaiha’ dan lain-lain termasuk mengikuti Sunnah
Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang diakui sebagai salah satu Khulafaur Rasyidin
oleh kaum Muslimin.
Rasulullah sendiri memerintahkan kita agar mengikuti sunnah
Khulafaur Rasyidin sebagaimana juga diakui oleh Syaikh al-’Utsaimin dalam Kitab Syarh al-’Aqidah al- Wasithiyyah (hal. 639).
Ketiga, hadits-hadits di atas, dapat mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa
para sahabat telah terbiasa menyusun doa-doa dan bacaan shalawat kepada Nabi.
Sumber: Tim Sarkub
Posting Komentar