Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » , » Dzikir Yang Paling Utama

Dzikir Yang Paling Utama

Nabi SAW bersabda, “Dzikir yang pa­ling utama adalah ucapan La ilaha illalah.” (HR Al-Hakim). 

Yakni, karena kalimat tah­lil (ucapan La ilaha illallah) itu merupakan ucapan tauhid (penegasan terhadap ke­esaan Allah SWT), sedang­kan tauhid itu tidak dapat disamai oleh sesuatu pun. Juga karena tahlil mempu­nyai pengaruh dalam menyucikan ba­thin, karena ia me­nunjukkan ketiadaan tuhan-tuhan yang lain dengan ucapan La ilaha (tiada Tuhan) dan menetapkan kemahaesaan hanya bagi Allah Ta`ala dengan ucapan illallah (ke­cuali Allah). Hendaknya mengulang-ulang dzikir (tahlil) itu mulai dari lahiriah lidahnya sam­pai bathiniah hatinya. Demi­kian ke­terangan dari Syaikh Al-Azizi.

Nabi SAW bersabda, “Dzikir yang pa­ling baik adalah yang samar, dan iba­dah yang terbaik adalah ibadah yang pa­ling ringan.” (HR Al-Qudha`i dari Utsman bin Affan). Sesungguhnya yang paling ringan itu adalah ibadah terbaik karena mudah merutinkannya dan karena hal itu dapat menggiatkan (menyemangat­kan) jiwa. Dzikir yang samar itu artinya yang disem­bunyikan oleh pelakunya dari orang lain. Dengan kata lain berdzikir secara per­lahan sehingga tidak terde­ngar orang lain.

Namun, di dalam hadits-hadits lain terdapat keterangan yang menunjukkan bahwa dzikir dengan suara keras itu lebih utama. Demikian yang diterangkan oleh Syaikh Al-Azizi. Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya‘rani berkata, “Para ulama, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, telah bersepakat mengenai sunnah berdzikir kepada Allah Ta‘ala se­cara berjama’ah di masjid-masjid dan tempat-tempat lain­nya, tanpa ada yang mengingkari, dengan syarat aman dari riya’ dan tidak meng­ganggu, seperti mengganggu orang yang sedang shalat, misalnya.

Imam Al-Ghazali menyerupakan dzikir seseorang sendirian dan dzikir berja­ma’ah dengan adzan orang yang shalat sendirian dan adzan orang yang shalat ber­jama’ah. Karena suara-suara para muadzin shalat berjama’ah dapat me­mu­tus hawa nafsu lebih keras dari­pada suara orang yang adzan shalat sen­dirian. Begitu pun dzikir berjama’ah atas hati seseorang itu lebih banyak pengaruhnya dalam meng­angkat hijab (penutup terhadap ke­agungan Allah) karena Allah menyerupa­kan hati dengan batu, dan telah dimaklumi bah­wa batu tidak akan pecah kecuali de­ngan kekuat­an sekelompok orang yang bergabung, pada hati seseorang, karena ke­kuatan jama’ah itu lebih dahsyat dari­pada ke­kuatan satu orang saja.”

Syaikh Ibrahim Al-Mathbuli berkata, “Keraskan suara-suara kalian dalam ber­dzikir sampai berhasil (tedengar) dzikir itu kepada kalian semuanya seperti orang-orang ahli ma`rifat.”

Kemudian pensyarah (Syaikh Na­wawi Al-Bantani) mengatakan, “Para syaikh berkata: Diwajibkan bagi seorang murid ketika baru mulai membiasakan berdzikir untuk mengeraskan suaranya dalam ber­dzikir di tempat jama’ah hingga hijabnya terkuak. Kemudian apabila ia telah kukuh dalam dzikir dan merasa nyaman ber­sama Allah Ta`ala, bukan ke­pada makh­luk, di saat ini tiada satu pun makh­luk yang layak diperhatikan olehnya, maka ia tidak perlu mengeraskan suara.”

Syaikh Abdul Wahhab berkata, “Sela­yaknya mengeraskan suara itu dengan ke­lembutan, karena, apabila tanpa kelem­butan, kerapkali lubang di bathinnya akan bertambah besar (menganga), maka dzi­kir dengan suara kerasnya itu menjadi sia-sia (tidak berpengaruh apa-apa).”

Jika tidak mendapati guru untuk mem­bimbing, hendaklah memper­banyak dzikir ke­pada Allah Ta‘ala de­ngan lafazh “Allah”, hingga Allah Ta‘ala menjadi yang disaksikan olehnya dan di saat itulah bisa terbuka hijab, sebagai­mana keterangan Syaikh Sya‘rani. Meng­utip sejumlah ula­ma ia mengatakan, “Wa­jib bagi seorang syaikh memerintahkan muridnya untuk berdzikir kepada Allah Ta‘ala dengan lisan­nya dengan kuat dan mantap.”

Apabila hal itu telah kukuh, Syaikh me­merintahkan muridnya untuk me­nyeim­bangkan dzikir antara lisan dan hatinya, seraya Syaikh berkata ke­pada muridnya: Tetapkan olehmu me­lang­gengkan dzikir semacam ini, seakan-akan engkau ada di hadapan Tuhan­mu, dengan hatimu selamanya. Dan ja­ngan tinggalkan dzikir ini hingga eng­kau ber­hasil mendapatkan satu kon­disi darinya dan anggota tubuhmu selu­ruh­nya men­jadi berdzikir, tidak lalai dari Allah Ta‘la.

Dalam berdzikir, keadaannya seda­pat mungkin suci dari hadats dan kotoran, dan menghadap kiblat jika berdzikir sen­dirian. Dan jika tidak sendirian, jama’ah duduk melingkar dan mengosongkan hati­nya dari segala sesuatu selain Allah, hingga tidak menuntut keduniaan, ke­akhi­ratan, ganjaran, maupun kenaikan ting­katan. Ia berdzikir kepada Allah se­mata-mata karena rasa cinta kepada-Nya. Dan hendaknya ia menutup kedua mata­nya, karena hal itu lebih memper­cepat menerangi hati, dan hendaknya tem­pat ia berdzikir dalam keadaan gelap. Maka seandainya di sana terdapat pelita, hendaknya ia padamkan jika tempat itu khusus untuk pribadinya.

Di saat berdzikir, hendaknya mem­bersihkan hati seraya menghadirkan mak­na yang didzikirkan, hingga se­akan-akan hatinya adalah pelaku dzikir­nya se­dangkan ia mendengarkannya.


Sumber: Kajian Kitab Kuning Hidayah Al-Adzkiya’ Karya Syaikh Zainuddin Al-Malibary oleh KH. Saifuddin Amsir
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger