Nabi SAW bersabda, “Dzikir yang paling utama adalah ucapan La ilaha
illalah.” (HR Al-Hakim).
Yakni, karena kalimat tahlil (ucapan La
ilaha illallah) itu merupakan ucapan tauhid (penegasan terhadap keesaan
Allah SWT), sedangkan tauhid itu tidak dapat disamai oleh sesuatu pun. Juga
karena tahlil mempunyai pengaruh dalam menyucikan bathin, karena ia menunjukkan
ketiadaan tuhan-tuhan yang lain dengan ucapan La ilaha (tiada
Tuhan) dan menetapkan kemahaesaan hanya bagi Allah Ta`ala dengan ucapan illallah
(kecuali Allah). Hendaknya mengulang-ulang dzikir (tahlil) itu mulai dari
lahiriah lidahnya sampai bathiniah hatinya. Demikian keterangan dari Syaikh
Al-Azizi.
Nabi SAW bersabda, “Dzikir yang paling baik adalah yang samar, dan ibadah
yang terbaik adalah ibadah yang paling ringan.” (HR Al-Qudha`i dari Utsman bin
Affan). Sesungguhnya yang paling ringan itu adalah ibadah terbaik karena mudah
merutinkannya dan karena hal itu dapat menggiatkan (menyemangatkan) jiwa.
Dzikir yang samar itu artinya yang disembunyikan oleh pelakunya dari orang
lain. Dengan kata lain berdzikir secara perlahan sehingga tidak terdengar
orang lain.
Namun, di dalam hadits-hadits lain terdapat keterangan yang menunjukkan bahwa
dzikir dengan suara keras itu lebih utama. Demikian yang diterangkan oleh
Syaikh Al-Azizi. Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya‘rani berkata, “Para ulama, baik
dari kalangan salaf maupun khalaf, telah bersepakat mengenai sunnah berdzikir
kepada Allah Ta‘ala secara berjama’ah di masjid-masjid dan tempat-tempat lainnya,
tanpa ada yang mengingkari, dengan syarat aman dari riya’ dan tidak mengganggu,
seperti mengganggu orang yang sedang shalat, misalnya.
Imam Al-Ghazali menyerupakan dzikir seseorang sendirian dan dzikir berjama’ah
dengan adzan orang yang shalat sendirian dan adzan orang yang shalat berjama’ah.
Karena suara-suara para muadzin shalat berjama’ah dapat memutus hawa nafsu
lebih keras daripada suara orang yang adzan shalat sendirian. Begitu pun
dzikir berjama’ah atas hati seseorang itu lebih banyak pengaruhnya dalam mengangkat
hijab (penutup terhadap keagungan Allah) karena Allah menyerupakan hati
dengan batu, dan telah dimaklumi bahwa batu tidak akan pecah kecuali dengan
kekuatan sekelompok orang yang bergabung, pada hati seseorang, karena kekuatan
jama’ah itu lebih dahsyat daripada kekuatan satu orang saja.”
Syaikh Ibrahim Al-Mathbuli berkata, “Keraskan suara-suara kalian dalam berdzikir
sampai berhasil (tedengar) dzikir itu kepada kalian semuanya seperti
orang-orang ahli ma`rifat.”
Kemudian pensyarah (Syaikh Nawawi Al-Bantani) mengatakan, “Para syaikh berkata:
Diwajibkan bagi seorang murid ketika baru mulai membiasakan berdzikir untuk
mengeraskan suaranya dalam berdzikir di tempat jama’ah hingga hijabnya
terkuak. Kemudian apabila ia telah kukuh dalam dzikir dan merasa nyaman bersama
Allah Ta`ala, bukan kepada makhluk, di saat ini tiada satu pun makhluk yang
layak diperhatikan olehnya, maka ia tidak perlu mengeraskan suara.”
Syaikh Abdul Wahhab berkata, “Selayaknya mengeraskan suara itu dengan kelembutan,
karena, apabila tanpa kelembutan, kerapkali lubang di bathinnya akan bertambah
besar (menganga), maka dzikir dengan suara kerasnya itu menjadi sia-sia (tidak
berpengaruh apa-apa).”
Jika tidak mendapati guru untuk membimbing, hendaklah memperbanyak dzikir
kepada Allah Ta‘ala dengan lafazh “Allah”, hingga Allah Ta‘ala
menjadi yang disaksikan olehnya dan di saat itulah bisa terbuka hijab, sebagaimana
keterangan Syaikh Sya‘rani. Mengutip sejumlah ulama ia mengatakan, “Wajib
bagi seorang syaikh memerintahkan muridnya untuk berdzikir kepada Allah Ta‘ala
dengan lisannya dengan kuat dan mantap.”
Apabila hal itu telah kukuh, Syaikh memerintahkan muridnya untuk menyeimbangkan
dzikir antara lisan dan hatinya, seraya Syaikh berkata kepada muridnya:
Tetapkan olehmu melanggengkan dzikir semacam ini, seakan-akan engkau ada di
hadapan Tuhanmu, dengan hatimu selamanya. Dan jangan tinggalkan dzikir ini
hingga engkau berhasil mendapatkan satu kondisi darinya dan anggota tubuhmu
seluruhnya menjadi berdzikir, tidak lalai dari Allah Ta‘la.
Dalam berdzikir, keadaannya sedapat mungkin suci dari hadats dan kotoran,
dan menghadap kiblat jika berdzikir sendirian. Dan jika tidak sendirian,
jama’ah duduk melingkar dan mengosongkan hatinya dari segala sesuatu selain
Allah, hingga tidak menuntut keduniaan, keakhiratan, ganjaran, maupun
kenaikan tingkatan. Ia berdzikir kepada Allah semata-mata karena rasa cinta
kepada-Nya. Dan hendaknya ia menutup kedua matanya, karena hal itu lebih
mempercepat menerangi hati, dan hendaknya tempat ia berdzikir dalam keadaan
gelap. Maka seandainya di sana terdapat pelita, hendaknya ia padamkan jika
tempat itu khusus untuk pribadinya.
Di saat berdzikir, hendaknya membersihkan hati seraya menghadirkan makna
yang didzikirkan, hingga seakan-akan hatinya adalah pelaku dzikirnya sedangkan
ia mendengarkannya.
Sumber: Kajian Kitab Kuning Hidayah Al-Adzkiya’ Karya Syaikh Zainuddin Al-Malibary oleh KH. Saifuddin Amsir
Posting Komentar