Kenapa Islam menjauhkan pemeluknya
dari pebuatan dhalim terhadap binatang? Karena binatang itu seperti manusia, ia
juga merasakan lapar, haus, lelah atau sakit jika terdhalimi. Rasulullah pernah
memperoleh pengaduan dari beberapa hewan yang memperoleh perlakukan tidak baik
dari pemiliknya. Sebagaimana termaktub dalam Shahih Muslim, Rasulullah pernah
berkisah, bahwa beliau menemui seorang laki-laki yang menarik sapi untuk
mengangkut. Sapi itu menoleh kepada beliau dan mengatakan, “Demi Allah, aku
tidak diciptakan untuk hal ini, namun untuk membajak.”
Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan
Abu Dawud disebutkan bahwa suatu saat Rasulullah memasuki sebuah kebun milik
sahabat Anshar. Di kebun itu terdapat seekor onta, yang tiba-tiba matanya
mengeluarkan air mata, ketika melihat Rasulullah. Akhirnya beliau bertanya,”Siapa
pemilik onta ini?” Saat itu seorang pemuda datang dengan mengatakan,”Saya wahai
Rasulullah.” Beliau pun menyampaikan,”Apakah engkau tidak takut kepada Allah
mengenai hewan ini! Sesunggunya ia mengadu kepadaku, bahwa engkau membiarkannya
lapar dan terus-menerus mamaksanya bekerja.”
Yang terlarang dalam Islam bukan
hanya mendhalimi hewan secara fisik, namun merendahkan dan mencelanya juga
dilarang, karena hewan pun termasuk ciptaan Allah Ta’ala. Pernah suatu saat
Rasulullah menjumpai wanita yang melaknat onta yang ia tunggangi, hingga
akhirya beliau meghukum wanita tersebut, sebagaimana disebutkan Imam Muslim.
Adalah Imam Al Ghazali, beliau juga
melarang merendahkan ciptaan Allah termasuk hewan, tetkala beliau membahas
mengenai hal penjagaan terhadap mulut. (lihat, Al Maraqi Al Ubudiyah,
hal.69)
Suatu saat, Al Hafidz Taqiyuddin As Subki pernah menegur
putranya, Tajuddin As Subki, disebabkan ia pernah mengatakan,”Paling buruk
adalah anjing anaknya anjing,” ketika melihat ada seekor anjing lewat di depan
rumah. “Bukankah memang benar, anjing anaknya anjing?” Tajuddin menjawab
teguran ayahnya. “Memang benar, namun jika perkataan itu dimaksudkan untuk
merendahkan, maka hal itu tidak boleh.” Jelas Al Hafidz Taqiyuddin. (Syarh
Al Ihya`, 7/066)
Adalah Imam Abu Ishaq As Sirazi. Suatu saat, tokoh besar
dalam madzhab As Syafi’i ini berjalan bersama beberapa sahabatnya. Tiba-tiba
ada seekor anjing berjalan di depan rombongan itu. Menyaksikan hal itu, salah
seorang anggota romongan menghardik anjing tersebut. Mengetahui hal itu Abu
Ishaq melarangnya dan menasehati,”Apakah engkau tidak tahu, bahwa anjing itu
dan kita sama-sama berhak menggunakan jalan ini?” (Al Majmu`, 1/45).
Ust. Yusuf Mansur
Posting Komentar