Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Nikah Sirri: Problem Sosiologis

Nikah Sirri: Problem Sosiologis

Dalam penelusuran di internet, berdasar data KUA Situbondo, diperkirakan ada 3.000 kasus kawin sirri di daerahnya. Di Jawa Timur lebih dari 30.000 kasus. Kasus serupa merebak pula di sentra industri seperti Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Itulah yang saat itu menjadi perhatian serius Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Melalui Pusat Studi Gender IAIN Sunan Ampel, Surabaya, persoalan ini dibedah dalam sebuah penelitian tentang dampak perkawinan di bawah tangan bagi kesejahteraan isteri dan anak di daerah “Tapal Kuda”, Jawa Timur. Kawasan yang meliputi Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso, dan Situbondo ini dikenal paling subur untuk kawin sirri.


Dalam analisis berikutnya, penyebab maraknya nikah sirri dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan ekonomi secara mudah dan cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa isteri simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat perolehan status sebagai isteri terpandang di masyarakat, kebutuhannya tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu begitu dalam berpatri dan mengakar di masyarakat. 

Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikah sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya karena dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi hal yang dilematis dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) semakin subur di kalangan masyarakat miskin, awam dan terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan begitu saja.


Faktor ketidaktahuan ini menyebabkan keterbelakangan masyarakat. Mereka miskin akses invormasi, pendidikan dan ekonomi. Mereka tidak tahu dan tidak mengerti hukum. Mereka tidak sadar hukum dan tidak tahu bagaimana memperoleh perlindungan hukum apabila mengalami kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sementara sikap masyarakat masih menganggap, nikah sirri merupakan hak privasi yang tabu diperbincangkan. Masyarakat enggan terlibat terhadap urusan rumah tangga orang. Setelah perempuan menjadi istri simpanan ialah terampasnya hak-hak istri. Istri simpanan rentan dipermainkan oleh laki-laki tidak bertanggung jawab. 

Contoh, ada kasus mahasiswi pendatang menikah secara sirri, kemudian ditinggal oleh suaminya. Si istri datang ke Pengadilan Agama (PA) dan meminta tolong. Tetapi pihak aparat tidak bisa menolong secara hukum, karena mereka melakukan nikah sirri yang tidak dicatat secara syah oleh hukum. Isteri sirri tidak punya kekuatan hukum. Isteri sirri tidak memperoleh hak milik berupa harta benda, dan status anak mereka. Nikah sirri tidak diakui oleh hukum. Kasus yang terjadi, ada sebagian isteri sirri ditinggalkan begitu saja, ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup, tidak ada kepastian dari suami akan status mereka.


Istri sirri, mudah menerima ketidak-adilan. Misalnya, apabila suami ingin menceraikan istri, maka istri tidak punya kekuatan hukum untuk menggugat. Para perempuan di desa-desa karena keawamannya tidak mengerti hukum agama, hukum negara, sehingga para perempuan tersebut menikah beberapa kali dan bahkan ada yang menikah lagi sebelum masa 'iddahnya selesai. Dorongan emosi sesaat (impulsive) perempuan mendorong mereka untuk menikah lagi dengan orang lain. Kasus itu tidak sekali tetapi berkali-kali, bahkan sebelum masa iddah sudah menikah sirri dengan laki-laki lain. Ironinya, pihak yang menikahkan adalah orang yang dianggap tokoh atau mereka yang dianggap sesepuh, atau wali hakim.


Anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri tersebut rentan dengan kekerasan, kemiskinan yang terus mendera. Anak-anak kurang memperoleh kasih sayang yang utuh dari bapak-ibu. Anak tidak memiliki akta kelahiran, anak sulit diterima secara sosial, anak diacuhkan di lingkungannya dan anak sulit mendaftar ke sekolah negeri karena tidak memiliki akta kelahiran. Akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak tumbuh dengan baik.


Ada enam kerugian pernikahan sirri bagi anak dan isteri yang terjadi di lapangan:


1. Isteri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami.


2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat.


3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidha) karena tidak tercatat secara hukum.


4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran. Karena untuk memperoleh akte kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah.


5. Isteri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja.


6. Apabila suami sebagai pegawai, maka isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.



Ust. Hakam Ahmed Elchudri
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger