Tidak masalah pula seseorang mengkonsumsi makanan yang lezat
yang memiliki nilai gizi yang baik sebab Allah ta’ala justru tak suka dengan
orang yang bakhil, apalagi bakhil sama diri sendiri.
Suatu saat dikala kita
dapat rizqi yang banyak dari Allah, kita perlu juga mengkonsumsi makanan yang
enak, seperti makanan sate atau gule. Sebab Allah suka implikasi nikmat yang Ia
berikan nampak pada seorang hamba. Tentu saja ini dalam level hal, bukan level
maqam. Yang penting jangan sampai berlebihan. Dan tentu saja yang penting lagi
adalah jangan lupa membagi kenikmatan itu kepada orang lain.
Kehalalan ini amat berkaitan dengan teraihnya keberkahan
hidup. Tak perlu berpayah-payah mengejar rizqi yang ternyata merupakan hal yang
syubhat atau bahkan haram. Sebab percuma, membuat hidup takkan berkah. Lebih
baik mencari rizqi yang halal meski sederhana. Keberkahan akan datang menemani
hidup kita.
Allah hanya menerima amal baik yang dilakukan oleh seorang
mukmin. Bagi orang kafir, meski ia melakukan amal sosial yang banyak. Amal
mereka ibarat debu yang beterbangan, atau ibarat fatamorgana. Meski terkadang
amal sosial yang mereka lakukan ada dampak positif yang akan mereka dapatkan
dikala didunia, tidak di akhirat. Padahal al Kayyis adalah seseorang yang
beramal demi kepentingan selepas mati.
Seorang Mukmin harus benar-benar jeli dan hati-hati dalam
menyeleksi hal yang halal. Sebab kedekatan seorang hamba dengan Allah amat
dipengaruhi oleh faktor konsumsi makanan, minuman atau pakaian dan hal lain.
Perkara yang syubhat dan haram, baik berupa makanan, minuman, pakaian atu hal
lain merupakan hijab yang menghalangi hubungannya dengan Allah. Doa-doa yang ia
panjatkan takkan bisa tembus untuk kemudian di ijabah oleh Allah sebab hijab
ini.
Seorang wali santri dulu dikala mensowankan anaknya kepada
Mbah Faqih Langitan, Mbah Faqih sampai berpesan, “Ngapunten, lare niki ampun
dikirimi duwit sangking gaji KUA njeh” (Maaf, anak ini jangan dikirimi uang
dari gaji KUA ya). “Oh njeh niki khusus” jawab ayah anak itu. Sebuah
kehati-hatian Mbah Faqih yang demikian luar biasa.
Mbah Humaidullah juga demikian hati-hati dengan makanan.
Pernah suatu saat putranya yang masih kecil sepulang bermain membawa beberapa biji
krupuk, setelah mengetahui bahwa krupuk itu hasil 'nemu' di jalan beliau
langsung mengajak putranya itu untuk menemui pemilik krupuk dan meminta
ikhlasnya.
Ya, memang kita kini memasuki era yang meski seseorang
hati-hati sedemikian rupa, kita akan tetap terdampak debunya riba. Bagaimana
kita melihat mekanisme ibadah haji saja mesti melalui bank yang pastinya dengan
hal itu kita terlibat berkontribusi dalam zona riba. Uang yang halal demikian
langka. Maka bertapa beruntungnya orang yang berpegang teguh dalam mencari
rizqi yang halal. Islam berawal dalam kondisi asing, dan akan kembali asing,
betapa beruntungnya orang-orang terasing. Wallahu'alam.
Penulis berasal dari Pon Pes Salaf APIK Kaliwungu
Posting Komentar