Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Mengapa Harus Bermadzhab dan Taqlid Pada Ulama

Mengapa Harus Bermadzhab dan Taqlid Pada Ulama

Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba - yazhabu - zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut. Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqih.

Adapula yang memberikan pengertian mazhab fiqih adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.

Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah serta orang-orang yang sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang-orang yang bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram. Mereka juga mengkategorikan pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan madzhab-madzhab lain yang berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan ta’addud asy-syari’ah (syariat yang berbilangan) yang terlarang dalam agama. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah. )

Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa madzhab empat adalah bid'ah yang di munculkan dalam agama dan hasil pemikiran madzhab bukan termasuk dari bagian agama. Bahkan ada juga yang mengatakan dengan lebih ekstrim bahwa kitab para imam-imam (kitab salaf) adalah kitab yang menjadi tembok penghalang kuat untuk memahami al-Qur'an maupun Sunnah dan menjadikan penyebab mundur dan bodohnya umat.

Namun yang aneh dan lucu, justru mereka kerap kali mengutip pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Syah Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, as-Suyuthi, al-Khathib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka berkeyakinan bahwa ulama-ulama di atas adalah orang yang salah memilih jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya. Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani dengan ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga akan masuk neraka karena melakukan dosa bertaqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga bodoh tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasulallah menurut mereka? Sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik yang berlebihan.

Jika di amati dengan seksama, orang-orang yang menolak taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari Shahih al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih karena telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu al-Bukhari dan Muslim. Bukankah hal tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang hadits? Bukankah juga, al-Bukhari adalah salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafi'i)? Kenapa mereka ingkar sebagian dan percaya sebagian? Lalu ketika mereka mengikuti pemikiran Nashiruddin al-Albani, al-Utsaimin, Ibnu baz dan lain-lain dengan sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa?

Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa orang Islam harus berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al-Qur'an dan Sunnah tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun. Pemahaman seperti ini muncul akibat dari kebodohan mereka memahami dalil al-Qur'an dan Sunnah serta lupa dengan sejarah Islam terdahulu (zaman Shahabat).

Mereka juga tidak pernah berfikir bahwa mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan menghancurkan agama dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk memahami hukum dengan ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria mujtahid).

Yang sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia, banyak orang yang membaca dan mengetahui isi al-Qur'an dan Hadits hanya dari terjemah-terjemah, lalu mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama (mujtahid) dan ulama-ulama salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka semua sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon yang tidak lucu?

Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka. Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al-Qur'an maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi kriteria berikut: handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma'na-ma'na huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al-Qur'an, asbab nuzul (latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur'an yang dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad, fahwa al-Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.


PISS-KTB
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger