Rasulullah SAW sangat menganjurkan kita untuk membaca Surat Al-Kahfi pada malam dan hari Jumat. Dalam sebuah riwayat disebuntukan “Barang siapa membaca surat Al-Kahfi akan dibebaskan dari fitnah Dajjal”. Usahakan membaca Surat Al-kahfi secara tuntas sampai ayat terakhir. Jika terpaksa tidak sempat, maka bacalah hingga ayat 19 yang di dalamnya terdapat kalimah “walyatalattof”.
Surat ini termasuk dalam 3 serangkai dengan dua surat
sebelumnya yaitu An-Nahl dan Al-Isra.
An-Nahl (Lebah) menerangkan kepada kita tentang
kecerdasan intelektual/rasional. Di dalamnya dijelaskan tentang proses alamiah
seekor lebah menghasilkan madu. Seseorang yang
berusia 40 tahun dianjurkan untuk mengkonsumsi satu sendok madu asli tiap hari untuk menjaga
stamina.
Sementara Al-Isra, masuk dalam perpaduan kecerdasan
intelektual dan spiritual. Ada wilayah tertentu dalam surat ini yang tidak bisa
dijangkau oleh akal kita. Seperti peristiwa isra’ mi’rajnya Nabi SAW. Di
sinilah kita mulai dikenalkan dengan kecerdasan spiritual.
Surat Al-Kahfi
berada setelah Al-Isra. Dalam surat ini, seluruhnya tidak bisa dijangkau oleh
akal manusia, tidak bisa dipahami hanya dengan rasionalitas. Misalnya saja
kisah Ashabul Kahfi yang merasa tidur semalam padahal tertidur selama 309 tahun.
Tidak bisa dicerna akal bukan, bagaimana orang bisa tertidur hingga 300 tahun
lebih kemudian bangun kembali.
Pengetahuan digolongkan dalam 2 macam yaitu yang diperoleh
dari olah nalar/akal disebut ilmu dan yang diperoleh dari olah batin disebut makrifat.
Ilmu itu sedikit dan tidak bisa digunakan untuk mengarahkan manusia mengenal
Tuhan. Maka jalan alternatif agar kita bisa berjalan lebih cepat menuju Tuhan
adalah melalui makrifat. Saat ini kita sedang mengkaji tasawuf.
Ada orang yang berpendapat kalau mempelajari tasawuf itu
artinya kita berjalan mundur. Padahal tidak! Tasawuf tidak melupakan rasio.
Justru tasawuf memberikan ruang bagi akal untuk berkembang disamping juga
mengasah qalbu.
Ada yang bertanya, Nabi tidak pernah mengajarkan ilmu tasawuf
(?)
Memang jika yang kita cari adalah “merk” atau penamaan, maka
tidak akan kita temukan ilmu tasawuf itu pada masa Nabi. Tapi lihatlah pada
substansinya. Tasawuf hanya penamaan saja, isinya adalah ajaran-ajaran Nabi
Muhammad SAW.
Prof. KH. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)
Posting Komentar