Anda tetap diharuskan menghadap kiblat dan mencari arahnya baik dalam shalat
sunah maupun wajib, bila tidak bisa maka shalat yang anda kerjakan harus
diulang sesampainya daratan. Keterangan diambil dari :
اما الراكب في سفينة
فيلزمه الاستقبال واتمام الاركان سواء
كانت واقفة أو سائرة
لانه لا مشقة فيه
وهذا متفق عليه هذا
في حق ركابها الاجانب
اما ملاحها الذى يسبرها
فقال صاحب الحاوى وابو
المكارم يجوز له ترك
القبلة في نوافله في
حال تسييره
Sedangkan bagi pengendara perahu maka wajib baginya menghadap kiblat serta
menyempurnakan rukun-rukunnya shalat baik perahunya berhenti ataupun berlayar
karena tidak ada kesulitan baginya dan hal ini disepekati ulama, hukum ini
berlaku bagi setiap pengemudinya sedang bagi kelasinya yang menentukan arah
perahu menurut pengarang kitab ‘al-Haawy dan Abu al-makarim baginya boleh tidak
menghadap kiblat dalam shalat-shalat sunah saat perahunya berlayar” (Al-Majmuu’
‘alaa Syarh al-Muhaddzab III/233).
وَلَيْسَ لِرَاكِبِ السَّفِينَةِ وَلَا الرَّمَثِ وَلَا
شَيْءٍ مِمَّا يُرْكَبُ في
الْبَحْرِ أَنْ يصلى نَافِلَةً
حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ السَّفِينَةُ وَلَكِنْ
عليه أَنْ يَنْحَرِفَ إلَى
الْقِبْلَةِ وَإِنْ غَرِقَ فَتَعَلَّقَ
بِعُودٍ صلي على جِهَتِهِ
يُومِئُ إيمَاءً ثُمَّ أَعَادَ كُلَّ
مَكْتُوبَةٍ صَلَّاهَا بِتِلْكَ الْحَالِ إذَا صَلَّاهَا إلَى
غَيْرِ قِبْلَةٍ ولم يُعِدْ ما
صلى إلَى قبله بِتِلْكَ
الْحَالِ
Dan tidak diperkenankan bagi orang yang naik perahu, rakit atau sesuatu yang
ia kendarai dilaut untuk shalat sunat sesuai arah perahunya tapi dia
menghadaplah kiblat meskipun ia tenggelam maka bergantunglah pada kayu,
shalatlah dengan menghadap arah kiblat dengan menggunakan isyarat kemudian
baginya wajib mengulangi setiap shalat wajib yang ia kerjakan dalam kondisi
tersebut bila ia mengerjakan shalatnya dengan tidak menghadap kiblat dan tidak
perlu baginya mengulangi shalat wajibnya dalam kondisi tersebut bila ia
kerjakan dalam posisi ia menghadap kiblat (Al-Umm Lis Syaafi’I I/98)
وتصح الفريضة في السفينة الواقفة
والجارية والزورق المشدود بطرف الساحل بلا
خلاف إذا استقبل القبلة
وأتم الاركان…..
(فرع) قال اصحابنا إذا
صلي الفريضة في السفينة لم
يجز له ترك القيام
مع القدرة كما لو
كان في البر وبه
قال مالك واحمد وقال
أبو حنيفة يجوز إذا
كانت سائرة قال اصحابنا
فان كان له عذر
من دوران الرأس ونحوه
جازت الفريضة قاعدا لانه عاجز
فان هبت الريح وحولت
السفينة فتحول وجهه عن
القبلة وجب رده إلى
القبلة ويبى علي صلاته
بخلاف ما لو كان
في البر وحول انسان
وجهه عن القبلة قهرا
فانه تبطل صلاته كما
سبق بيانه قريبا قال
القاضي حسين والفرق أن
هذا في البر نادر
وفى البحر غالب وربما
تحولت في ساعة واحدة
مرارا
* (فرع)
قال أصحابنا ولو حضرت الصلاة
المكتوبة وهم سائرون وخاف
لو نزل ليصليها علي
الارض الي القبلة انقطاعا
عن رفقته أو خاف
علي نفسه أو ماله
لم يجز ترك الصلاة
وإخراجها عن وقتها بل
يصليها على الدابة لحرمة
الوقت وتجب الاعادة لانه
عذر نادر.
Hukumnya sah shalat fardhu yang dikerjakan diatas perahu yang diam,
bergerak, sampan yang terikat dipinggir pantai dengan tanpa perbedaan ulama
bila ia menghadap kiblat dan mampu menyempurnakan rukun-rukunnya shalat.
Cabang:
Berkata pengikut-pengikut as-Syaafi’i “Bila seseorang shalat diatas perahu
tidak diperkenankan baginya meninggalkan shalat dalam keadaan berdiri bila ia
mampu seperti halnya shalatnya didaratan, pendapat ini selaras dengan Imam
Malik dan Ahmad sedang Imam Abu Hanifah membolehkannya saat perahunya telah
berlayar”.
Berkata pengikut-pengikut as-Syaafi’i “Bila baginya ada halangan untuk
menjalani shalat dalam perahu dengan berdiri semacam kepalanya berputar-putar
dan lainnya maka boleh baginya menjalaninya dengan duduk, apabila angin bertiup
membelokkan arah perahu dan memalingkan wajahnya dari kiblat maka wajib baginya
kembali lagi menghadap kiblat dan meneruskan shalatnya berbeda saat ia shalat
didaratan saat terdapat orang lain memalingkan wajahnya dari kiblat maka batal
shalatnya seperti dalam keterangan yang telah lalu”.
Berkata alQaadhi Husain “Perbedaannya adalah kasus berpalingnya wajah
didaratan langka sedang dilautan hal yang jamak dan dalam sesaat terkadang bisa
berpaling wajahnya berulang-ulang”.
Cabang:
Berkata pengikut-pengikut as-Syaafi’i “Bila waktunya shalat wajib telah tiba
sementara dirinya sedang berjalan dan saat ia menjalani shalat didaratan dengan
menghadap kiblat ia khawatir akan terpisah dari rombongan atau khawatir akan
keselamatan dirinya, hartanya maka baginya tidak diperbolehkan meninggalkan
shalat dan mengerjakannya diluar waktunya namun shalatlah diatas kendaraan
sekedar menghormati waktu dan diwajibkan baginya mengulangi shalatnya karena
hal tersebut termasuk udzur yang langka” (Al-Majmuu’ ‘alaa Syarh al-Muhaddzab
III/240-241).
http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/doc/263512827004866/ oleh
Ust. Masaji Antoro
Posting Komentar