“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang kami tentukan, dan
Tuhan-Nya berbicara kepadanya, maka Musa berkata : Ya Tuhanku, nampakkan
(Dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”.
“Tuhan berfirman: “Kamu tidak
akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit itu, bila bukit itu tetap di
tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-Ku”.
Tatkala Tuhan tajalli / tampak pada bukit itu,
kejadian itu menyebabkan bukit itu hancur dan Musapun pingsan. Setelah Musa
sadar kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku
orang pertama yang beriman”. (QS. Al-Araf 7 : 143)
Dalam ayat ini terdapat kata-kata yang perlu di kaji lebih dalam yaitu :
1. Tidak akan melihat Aku
2. Tuhan tajalli pada gunung / bukit.
3. Bukit / gunung hancur,
4. Musa AS pingsan.
Tidak akan melihat Aku, suatu pernyataan dari Allah, bahwa bagaimanapun juga
mata kepala yang berbentuk bundar yang terletak pada rongga mata dengan daya
lihatnya, tidak akan bisa melihat Tuhan. Tetapi tidak berarti menutup kemungkinan untuk dilihat dengan mata hati. Bila mata hati
itu dilengkapi oleh Allah dengan Nur-Nya yang kemudian disebut dengan “nurul
bashirah” (Cahaya pandangan batin) kemudian terdapat pancaran dan nyala
pandangan batin disebut (bashar) kemudian mata kepala sama sekali tidak
berfungsi termasuk tidak berfungsinya daya pikir dan seluruh kemampuan fisikal
(jasmani) oleh orang Shufi digambarkan dengan “fana-dzauqy”, maka pada kondisi
itulah terjadinya melihat Tuhan.
Firman Allah dalam Al-Qur’an: “Demi Tin, Zaitun, dan orang-orang Thursin dan demi negeri yang aman”. (QS.
At-Tin : 1-2)
Diriwayatkan orang, dikala Musa a.s. menceritakan kepada pengikut beliau
bahwa beliau akan melakukan dialog dengan Tuhan di daerah perbukitan, lalu
masing-masing gunung maupun bukit menawarkan dirinya untuk dijadikan tempat
pertemuan agung, serta dialog tingkat maha tinggi itu.
Masing-masing menunjukan
penampilan bergengsi seraya berkata : “Akulah gunung terbaik dan paling baik”,
“Akulah bukit terindah untuk dipandang”, “Akulah yang paling kokoh dan paling
tegar diantara jajaran gunung dan bukit di wilayah ini”. Musa AS diam seribu
bahasa. Sambil memandang dengan penuh perhatian, mengitari dan menyimak suara
dan kata, terlihat oleh beliau hanya ada sebuah bukit yang tidak mengeluarkan
sepatah kata juapun.
Itulah si bukit Sinai (Thursin), Musa AS mendatangi si
bukit itu seraya bertanya : Wahai bukit kenapa tiada kata dan suaramu seperti
temanmu yang lain ?
“Bukit itu menjawab : “Wahai tuanku, Aku mengaku bahwa
engkau adalah utusan Allah. Akupun malu untuk bicara. Akupun merasa kerendahan
diriku dihadapan Allah. Namun demikian, jika sekiranya Allah berkenan, Aku
tentu menyampaikan puji syukurku tiada terhingga kehadirat Allah”.
Akhirnya, si
Thursin ini mendapat anugerah. Si bukit yang tidak mempunyai kesombongan dan
tidak mengagung-agungkan dirinya. Si bukit yang merasa kefanaan dirinya di
hadapan Allah. Bukit yang mendapatkan kehormatan dicantumkan namanya di dalam
Al-Qur’an.
Adakah makna tersembunyi dibalik pengertian bukit Thursin ? Adakah hal-hal
metaporis dari kenyataan sebenarnya ?. Bukankah Al-Qur’an penuh dengan amtsal
dan ibarat ?.
Dalam Surat At-Tin, Allah bersumpah atas nama makhluknya, tiga benda yang
ditonjolkan adalah Tin, Zaitun, Thursin yang dibawa dengan “Waw lil-qosam”
(huruf waw untuk kata sumpah). Sebagian Ulama Tafsir menyebutnya “waw
lit-tanbih” (waw untuk diperhatikan). Buah Tin bila diperas, berintikan minyak
sebagai bahan pokok minyak wangi. Demikian pula buah Zaitun jika diperas,
berintikan sari minyak untuk bahan makanan.
Di dalam masyarakat kita terdapat sebuah perumpamaan tentang buah kelapa :
“tempurung adalah syariat, daging kelapa adalah thariqat, bila dikukur/diparut
lalu diperas menjadi santan yaitu hakikat, santan dimasak jadi minyak, ialah
makrifat. Bukit Thursin (Tursina) sebuah bukit di padang pasir. Dari segi
bahasa berarti “Puncak Sin”.
Thur artinya puncak, dan sin adalah sin. Siapakah Sin ? “Ya Sin (Wahai Sin =
manusia).
“Demi Qur’an yang penuh hikmat. Sesungguhnya engkau (Wahai Sin) adalah
seorang Rasul”. (QS Ya Sin 36 : 1-5)
Mbah Walijo
Posting Komentar