Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Dialog Nabi Musa Dengan Allah di Bukit Thursina

Dialog Nabi Musa Dengan Allah di Bukit Thursina

“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang kami tentukan, dan Tuhan-Nya berbicara kepadanya, maka Musa berkata : Ya Tuhanku, nampakkan (Dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. 

“Tuhan berfirman: “Kamu tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit itu, bila bukit itu tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. 

Tatkala Tuhan tajalli / tampak pada bukit itu, kejadian itu menyebabkan bukit itu hancur dan Musapun pingsan. Setelah Musa sadar kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang pertama yang beriman”. (QS. Al-Araf 7 : 143)

Dalam ayat ini terdapat kata-kata yang perlu di kaji lebih dalam yaitu :
1. Tidak akan melihat Aku
2. Tuhan tajalli pada gunung / bukit.
3. Bukit / gunung hancur,
4. Musa AS pingsan.

Tidak akan melihat Aku, suatu pernyataan dari Allah, bahwa bagaimanapun juga mata kepala yang berbentuk bundar yang terletak pada rongga mata dengan daya lihatnya, tidak akan bisa melihat Tuhan. Tetapi tidak berarti menutup kemungkinan untuk dilihat dengan mata hati. Bila mata hati itu dilengkapi oleh Allah dengan Nur-Nya yang kemudian disebut dengan “nurul bashirah” (Cahaya pandangan batin) kemudian terdapat pancaran dan nyala pandangan batin disebut (bashar) kemudian mata kepala sama sekali tidak berfungsi termasuk tidak berfungsinya daya pikir dan seluruh kemampuan fisikal (jasmani) oleh orang Shufi digambarkan dengan “fana-dzauqy”, maka pada kondisi itulah terjadinya melihat Tuhan.

Firman Allah dalam Al-Qur’an: “Demi Tin, Zaitun, dan orang-orang Thursin dan demi negeri yang aman”. (QS. At-Tin : 1-2)

Diriwayatkan orang, dikala Musa a.s. menceritakan kepada pengikut beliau bahwa beliau akan melakukan dialog dengan Tuhan di daerah perbukitan, lalu masing-masing gunung maupun bukit menawarkan dirinya untuk dijadikan tempat pertemuan agung, serta dialog tingkat maha tinggi itu. 

Masing-masing menunjukan penampilan bergengsi seraya berkata : “Akulah gunung terbaik dan paling baik”, “Akulah bukit terindah untuk dipandang”, “Akulah yang paling kokoh dan paling tegar diantara jajaran gunung dan bukit di wilayah ini”. Musa AS diam seribu bahasa. Sambil memandang dengan penuh perhatian, mengitari dan menyimak suara dan kata, terlihat oleh beliau hanya ada sebuah bukit yang tidak mengeluarkan sepatah kata juapun. 

Itulah si bukit Sinai (Thursin),  Musa AS mendatangi si bukit itu seraya bertanya : Wahai bukit kenapa tiada kata dan suaramu seperti temanmu yang lain ? 

“Bukit itu menjawab : “Wahai tuanku, Aku mengaku bahwa engkau adalah utusan Allah. Akupun malu untuk bicara. Akupun merasa kerendahan diriku dihadapan Allah. Namun demikian, jika sekiranya Allah berkenan, Aku tentu menyampaikan puji syukurku tiada terhingga kehadirat Allah”. 

Akhirnya, si Thursin ini mendapat anugerah. Si bukit yang tidak mempunyai kesombongan dan tidak mengagung-agungkan dirinya. Si bukit yang merasa kefanaan dirinya di hadapan Allah. Bukit yang mendapatkan kehormatan dicantumkan namanya di dalam Al-Qur’an.

Adakah makna tersembunyi dibalik pengertian bukit Thursin ? Adakah hal-hal metaporis dari kenyataan sebenarnya ?. Bukankah Al-Qur’an penuh dengan amtsal dan ibarat ?.

Dalam Surat At-Tin, Allah bersumpah atas nama makhluknya, tiga benda yang ditonjolkan adalah Tin, Zaitun, Thursin yang dibawa dengan “Waw lil-qosam” (huruf waw untuk kata sumpah). Sebagian Ulama Tafsir menyebutnya “waw lit-tanbih” (waw untuk diperhatikan). Buah Tin bila diperas, berintikan minyak sebagai bahan pokok minyak wangi. Demikian pula buah Zaitun jika diperas, berintikan sari minyak untuk bahan makanan.

Di dalam masyarakat kita terdapat sebuah perumpamaan tentang buah kelapa : “tempurung adalah syariat, daging kelapa adalah thariqat, bila dikukur/diparut lalu diperas menjadi santan yaitu hakikat, santan dimasak jadi minyak, ialah makrifat. Bukit Thursin (Tursina) sebuah bukit di padang pasir. Dari segi bahasa berarti “Puncak Sin”.

Thur artinya puncak, dan sin adalah sin. Siapakah Sin ? “Ya Sin (Wahai Sin = manusia).

“Demi Qur’an yang penuh hikmat. Sesungguhnya engkau (Wahai Sin) adalah seorang Rasul”. (QS Ya Sin 36 : 1-5)



Mbah Walijo
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger