Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Sabar Sebagai Perekat Ukhuwah

Sabar Sebagai Perekat Ukhuwah

Mari sejenak kita renungkan, motivasi apa yang menyatukan kedua kekuatan besar kaum Anshar dan Muhajirin untuk saling menerima, memberi, bahkan mempercayai, kemudian menyatukan hati? Padahal keduanya tak saling kenal. Kaum Anshar pun harus memberikan harta dan tempat tinggal kepada saudara-saudara baru mereka. Itulah ukhuwah, sebuah kesatuan berlandaskan aqidah yang menjadi kekuatan motivasi besar. Sebuah hubungan yang melebihi hubungan darah, bahkan melintasi batas territorial. 

Ukurannya pun bukan sekedar hubungan manusia di dunia, yang mengharuskan satu dengan yang lain mesti saling menghormati dan meng- hargai agar tercapai kehidupan yang harmonis. Lebih dari itu, Allah SWT menggambarkan hubungan antara sesama Muslim ibarat satu tubuh. Bahkan bagaimana sikap seorang Muslim terhadap saudaranya yang lain, menjadi salah satu indikator kesempurnaan iman. 

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayangnya bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka sekujur tubuh akan merasakan kurang tidur dan panas.” (HR Muttafaqun’alaihi)

Jadi, seorang saudara tidak akan membiarkan saudaranya yang lain dalam kesusahan, atau cukup merasa aman dengan berkata, “Alhamdulillah, bukan kita yang terkena musibah.”

Demikian pula tatkala mendapati saudara berbuat zhalim, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengingatkannya, bukan sekedar bersyukur, “Yang penting kita tidak melakukannya.”

Rasulullah SAW bersabda, “Tolonglah saudara, baik ia melakukan kezhaliman ataupun ketika dia dizhalimi.”

Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, saya memang harus menolongnya ketika dizhalimi, lalu bagaimana jika ia melakukan kezhaliman. Bagaimana saya harus menolongnya?”

Rasulullah menjawab, “Kamu menghalanginya untuk tidak melakukan zhalim, berarti kamu telah menolongnya,” (HR Muttafaqun’alaihi)

Ilmu kita tidak ada kecuali sedikit. Masa yang kita lalui sekarang teramat jauh jaraknya dari masa-masa kejayaan Raulullah. Hingga, tak cukup banyak yang mampu kita petik dari perjalanan beliau. Bukan karena Nabi tak meninggalkan apa-apa. Tidak. Itu semua semata-mata karena kejahilan kita.

Gelar boleh berderet, pengalaman segudang, namun tidak sedikit justru itu semua yang menjadi sekat bagi nurani. Menjadi hijab bagi masuknya hidayah. Nasihat bukan lagi menjadi kesenangan, malah menjadi su’uzhan (buruk sangka), bahkan menjatuhkan. 

Kalau dalam ukhuwah terjadi perbedaan pendapat, perbedaan karakter, maka itu semua hal yang wajar. Rasulullah telah me- ngumpulkan sosok-sosok pilihan dengan karakter-karakter khas yang semuanya diarahkan untuk pengembangan dakwah. Semua potensi itu diarahkan tanpa melemahkan salah satunya. Semuanya memiliki keunggulan.

Apakah itu berarti hubungan Rasulullah bersama para sahabatnya berjalan mulus, adem ayem, bebas dari perselisihan dan perdebatan? Tentu saja tidak.

Umar bin Khaththab adalah sosok yang keras dan tegas. Dia mungkin menjadi salah satu sahabat yang kritis terhadap Rasulullah. Dan sebagai Rasul, Muhammad tidak lantas menggunakan otoritasnya menjadi seorang yang ‘tidak bias dibantah’ atau ‘tidak bisa dikritik’. Sungguh, Nabi Muhammad adalah sebaik-baik pemimpin.

Itulah generasi terbaik, di masa Nabi. Kemudian berangsur-angsur kebaikan itu turun kepada generasi sesudahnya yang masih mengetahui betul bagaimana perjuangan Islam. Beban, himpitan, dan cobaan telah menggembleng kekuatan ukhuwah mereka. Dan kita, sekarang ini, hanyalah generasi akhir zaman yang merasakan betapa jauhnya jarak kita dengan generasi terbaik itu. Lebih parah lagi, kita ini begitu jahil.

Semangat kita untuk belajar sama sekali tak sebanding dengan semangat para pendahulu. Motivasi kita pun sudah semakin beraneka ragam. Nurani kita tersekat-sekat oleh label organisasi jabatan, bendera, dan akhirnya mengurangi ke-tsiqah-an (keper- cayaan) kita pada salah satu pihak padahal ilmu kita sendiri tak ada apa-apanya.

Ukhuwah memang membutuhkan kesabaran. Hal ini berkaitan dengan kumpulnya banyak sifat dan karakter manusia di dalamnya, sehingga membutuhkan kesiapan-kesiapan luar biasa. Meredam ego, membuka mata dan telinga lebar-lebar, mencoba memahami latar belakang masing-masing saudara kita, merupakan hal-hal yang mau tidak mau harus selalu diupayakan.

Hal terpenting yang harus senantiasa diperbaiki adalah meluruskan niat dalam berukhuwah. Kalau bukan karena mendamba keridhaan-Nya, mungkin kita semua tak pernah istiqamah meniti terjalnya jalan ini.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi: 28)

Ya Allah, hanya karena Engkaulah hati-hati ini berhimpun. Maka kokohkanlah ikatan-Nya, teguhkanlah dan luruskanlah!

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hasyr: 10)



Tulus Kurniawati
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger