Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Memaknai Tawakkal

Memaknai Tawakkal


Dalam Al-Qur’an, kata yang mengandung tawakal, disebutkan sebanyak 22 kali. Dalam kehidupan sehari-hari kita, kalimat pendek tawaktu alallah (aku bertawakkal kepada allah) amat sering diucapkan orang. Setiap pagi -misal sebelum berangkat ke kantor, sekolah, pasar, dan sebagainya- atau setiap ke luar meninggalkan rumah. 

Ungkapan kepasrahan kepada Allah ini diucapkan dalam banyak kesempatan. Namun, adakah kita semua mampu memahami maknanya yang hakiki? Jujur saja, mungkin hanya sedikit dari kita yang mau memahami maknanya. Lalu dari yang sedikit itu, lebih sedikit sekali yang mempraktikannya ke dalam realitas kehidupan, baik secara pribadi maupun dalam hablum minannas (hubungan horizontal antara sesama manusia) maupun hablum minallah (hubungan vertikal dengan Allah). 

Bisa dikatakan, tawakkal adalah pelimpahan segala urusan kepada Allah SWT, tsiqah (percaya penuh) kepada-Nya. Tawakkal merupakan bentuk al-I’timad (penyandaran penuh) kepada Allah. Intinya adalah pengejawantahan iman atas nama dan sifat Allah Yang Maha Agung.

Dalam kitab Tahdzib Madarij as-Salikin dikatakan, “Tawakkal itu separuh dari agama. Separuh yang lainnya adalah al inabah (kembali kepada Allah dengan bekal dan taubat). Sesungguhnya, agama adalah ibadah dan isti’anah (mohon pertolongan). Tawakkal itulah permintaan pertolongan dari inabah adalah ibadah. “ Permohonan dan permintaan kita kepada Allah adalah bukti kelemahan dan kebodohan kita, bukti iman kita akan ilmu Allah dan kehendak-Nya. Yang menjadikan kita tunduk dan memohon pertolongan dari kelemahan kepada-Nya serta mencintai-Nya. Itulah arti ibadah.

Allah tidak menerima isti’anah selain dari-Nya. Siapapun orangnya, walaupun memiliki kekuatan dan kekuasaan, betapapun canggih dan hebatnya, tetaplah seorang hamba ciptaan Allah Yang Maha Perkasa, seorang makhluk yang gerak dan kemauan jiwanya di bawah kehendak dan ketentuan-Nya. “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah”. 

Mari kita baca sejenak firman Allah berikut ini, “Maka Maryam mengandung (anak) nya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma. Ia berkata, ’Aduhai, alangkah baiknya  aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akanmenggugurkan buah kurma yang segar kepadamu’,” (QS Maryam: 22-25).

Coba kita perhatikan sekali lagi firman Allah, “Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang segar kepadamu.” Bagaimana mungkin seorang Maryam yang baru melahirkan, dalam kondisi lemah, lelah dan letih bahkan tidak berdaya menggerakkan badannya sendiri disuruh untuk menggoyangkan pohon kurma. Sedang kita tahu betapa kokohnya pohon kurma itu apalagi pangkalnya. Sekuat apapun orangnya tak mungkin bisa dilakukan. Sedang Maryam adalah seorang wanita yang secara fitrah (fisiknya) lemah. Belum lagi kondisi nifas dan rasa sakit yang dialaminya pasca melahirkan pasti masih dirasakan. Kemudian kondisi tekanan psikologis yang harus dia tanggung, berupa tuduhan-tuduhan dari kaumnya. Bagaimana dia bisa melakukan pekerjaan yang jauh dari rasional itu? 

Memang terkesan mustahil. Tapi itulah sunnah allah bagi siapa saja yang mau mengambil sebab yang telah disediakan Allah . Itulah hakikat tawakkal yang sebenarnya, yang sering kita temukan dalam berbagai ayat suci Al-Qur’an dan sirah Nabi. Marilah kita lihat kembali firman Allah, “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar,” (QS. Al-Anfal: 17).

Ayat ini berkenaan dengan tindakan Rasulullah SAW ketika mengambil segenggam tanah dan ditaburkan ke wajah orang-orang kafir dalam suatu pertempuran. Setiap biji debu tanah yang beliau lempar mengenai tepat di mata mereka. Hal itu akhirnya menjadi sebab kemenangan bagi Rasulullah dan kaum Muslimin.

Kita tahu bahwa Allah berkehendak dengan sebab itu. Namun penolong sebenarnya adalah Allah Yang Maha Perkasa. Apa yang terjadi pada Rasulullah adalah setelah beliau bertawakkal kepada Allah dengan mengambil sebab-sebab itu.

Tawakkal memang mengandung makna yang besar bagi siapa pun yang mau mengaktualisasikannya dalam setiap lini kehidupannya. Bertawakkal dapat menambah ma’rifat (pengetahuan) kepada allah dengan segala sifat kemahaan-Nya, syirik akan hilang dari jiwa orang-orang yang bertawakkal, karena seluruh hidupnya akan disandarkan kepada Allah SWT.

Abdul Hamid al-Bilali dalam kitabnya Wahatul Iman menjelaskan, tawakkal dapat menambah ridha terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah. Yakni, penyerahan total yang tulus dari dalam hati kepada Allah SWT. Tawakkal juga akan menghilangkan dari dalam hati segala efek ketakutan dari semua makhluk.

Selain itu, tawakkal akan menambah hidayah dan perlindunagn dari segala keburukan dan akan merasa cukup dari segala kebutuhan. Makna semacam ini telah ditegaskan Rasulullah SAW, “Barangsiapa keluar dari rumah seraya mengucapkan ‘Bismillahi tawakaltu ‘alallahi walaa haula walaa quwwata illaa billah,’ maka dikatakan kepadanya, Engkau ditunjuki, dilindungi dan dicukupi’. Maka berkatalah syetan yang satu dengan syetan yang lain, “Bagaimana kamu bisa menggoda orang yang telah ditunjuki, dilindungi dan dicukupi? (HR Tirmidzi).




Syaiful Anam
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger