Dalam Al-Qur’an, kata yang mengandung tawakal, disebutkan
sebanyak 22 kali. Dalam kehidupan sehari-hari kita, kalimat pendek tawaktu
alallah (aku bertawakkal kepada allah) amat sering diucapkan orang. Setiap pagi
-misal sebelum berangkat ke kantor, sekolah, pasar, dan sebagainya- atau setiap
ke luar meninggalkan rumah.
Ungkapan kepasrahan kepada Allah ini diucapkan
dalam banyak kesempatan. Namun, adakah kita semua mampu memahami maknanya yang
hakiki? Jujur saja, mungkin hanya sedikit dari kita yang mau memahami maknanya.
Lalu dari yang sedikit itu, lebih sedikit sekali yang mempraktikannya ke dalam
realitas kehidupan, baik secara pribadi maupun dalam hablum minannas (hubungan
horizontal antara sesama manusia) maupun hablum minallah (hubungan vertikal
dengan Allah).
Bisa dikatakan, tawakkal adalah pelimpahan segala urusan kepada Allah SWT,
tsiqah (percaya penuh) kepada-Nya. Tawakkal merupakan bentuk al-I’timad
(penyandaran penuh) kepada Allah. Intinya adalah pengejawantahan iman atas nama
dan sifat Allah Yang Maha Agung.
Dalam kitab Tahdzib Madarij as-Salikin dikatakan, “Tawakkal itu separuh dari
agama. Separuh yang lainnya adalah al inabah (kembali kepada Allah dengan bekal
dan taubat). Sesungguhnya, agama adalah ibadah dan isti’anah (mohon
pertolongan). Tawakkal itulah permintaan pertolongan dari inabah adalah ibadah.
“ Permohonan dan permintaan kita kepada Allah adalah bukti kelemahan dan
kebodohan kita, bukti iman kita akan ilmu Allah dan kehendak-Nya. Yang
menjadikan kita tunduk dan memohon pertolongan dari kelemahan kepada-Nya serta
mencintai-Nya. Itulah arti ibadah.
Allah tidak menerima isti’anah selain dari-Nya. Siapapun orangnya, walaupun
memiliki kekuatan dan kekuasaan, betapapun canggih dan hebatnya, tetaplah
seorang hamba ciptaan Allah Yang Maha Perkasa, seorang makhluk yang gerak dan
kemauan jiwanya di bawah kehendak dan ketentuan-Nya. “Laa hawla walaa quwwata
illaa billaah”.
Mari kita baca sejenak firman Allah berikut ini, “Maka Maryam mengandung
(anak) nya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang
jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal
pohon kurma. Ia berkata, ’Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini,
dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril
menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya
Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon
kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akanmenggugurkan buah kurma yang segar
kepadamu’,” (QS Maryam: 22-25).
Coba kita perhatikan sekali lagi firman Allah, “Dan goyangkanlah pangkal pohon
kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang segar
kepadamu.” Bagaimana mungkin seorang Maryam yang baru melahirkan, dalam kondisi
lemah, lelah dan letih bahkan tidak berdaya menggerakkan badannya sendiri
disuruh untuk menggoyangkan pohon kurma. Sedang kita tahu betapa kokohnya pohon
kurma itu apalagi pangkalnya. Sekuat apapun orangnya tak mungkin bisa
dilakukan. Sedang Maryam adalah seorang wanita yang secara fitrah (fisiknya)
lemah. Belum lagi kondisi nifas dan rasa sakit yang dialaminya pasca melahirkan
pasti masih dirasakan. Kemudian kondisi tekanan psikologis yang harus dia
tanggung, berupa tuduhan-tuduhan dari kaumnya. Bagaimana dia bisa melakukan
pekerjaan yang jauh dari rasional itu?
Memang terkesan mustahil. Tapi itulah sunnah allah bagi siapa saja yang mau
mengambil sebab yang telah disediakan Allah . Itulah hakikat tawakkal yang
sebenarnya, yang sering kita temukan dalam berbagai ayat suci Al-Qur’an dan
sirah Nabi. Marilah kita lihat kembali firman Allah, “Dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar,” (QS. Al-Anfal:
17).
Ayat ini berkenaan dengan tindakan Rasulullah SAW ketika mengambil segenggam
tanah dan ditaburkan ke wajah orang-orang kafir dalam suatu pertempuran. Setiap biji debu tanah yang beliau lempar mengenai tepat di mata mereka. Hal
itu akhirnya menjadi sebab kemenangan bagi Rasulullah dan kaum Muslimin.
Kita tahu bahwa Allah berkehendak dengan sebab itu. Namun penolong sebenarnya
adalah Allah Yang Maha Perkasa. Apa yang terjadi pada Rasulullah adalah setelah
beliau bertawakkal kepada Allah dengan mengambil sebab-sebab itu.
Tawakkal memang mengandung makna yang besar bagi siapa pun yang mau
mengaktualisasikannya dalam setiap lini kehidupannya. Bertawakkal dapat
menambah ma’rifat (pengetahuan) kepada allah dengan segala sifat kemahaan-Nya,
syirik akan hilang dari jiwa orang-orang yang bertawakkal, karena seluruh
hidupnya akan disandarkan kepada Allah SWT.
Abdul Hamid al-Bilali dalam kitabnya Wahatul Iman menjelaskan, tawakkal dapat
menambah ridha terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah. Yakni, penyerahan
total yang tulus dari dalam hati kepada Allah SWT. Tawakkal juga akan
menghilangkan dari dalam hati segala efek ketakutan dari semua makhluk.
Selain itu, tawakkal akan menambah hidayah dan perlindunagn dari segala
keburukan dan akan merasa cukup dari segala kebutuhan. Makna semacam ini telah
ditegaskan Rasulullah SAW, “Barangsiapa keluar dari rumah seraya mengucapkan
‘Bismillahi tawakaltu ‘alallahi walaa haula walaa quwwata illaa billah,’ maka
dikatakan kepadanya, Engkau ditunjuki, dilindungi dan dicukupi’. Maka
berkatalah syetan yang satu dengan syetan yang lain, “Bagaimana kamu bisa
menggoda orang yang telah ditunjuki, dilindungi dan dicukupi? (HR Tirmidzi).
Syaiful Anam
Posting Komentar