Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Dzikir Dengan Hati Dan Lisan

Dzikir Dengan Hati Dan Lisan

Dzikir merupakan kebutuhan manusia untuk mengingat Tuhannya. Dalam pelaksanaannya, dzikir itu boleh dilakukan dalam hati dan boleh pula dengan lisan. Dan dzikir yang lebih utama adalah yang dilaksanakan dengan lisan dan hati. Jika hendak dilakukan dengan salah satunya saja, maka dzikir di dalam hati lebih afdhal.

Tidak sepantasnya seseorang meninggalkan dzikir lisan dan dzikir hati hanya takut disangka riya, tetapi seyogyanya ia berdzikir dengan lisan dan di dalam hati karena Allah. Perlu diketahui bahwa meninggalkan beramal karena manusia adalah termasuk riya.

Seandainya dibukakan kepada mereka pintu kesempatan untuk mengamat-amati perbuatan orang lain, maka setiap orang akan menghindar dari sangkaan orang lain yang tidak benar kepada dirinya dan niscaya tertutuplah baginya kebanyakan dari pintu kebaikan dan tersia-sialah darinya sesuatu yang besar dari urusan agamanya yang lebih penting. Cara ini bukanlah jalan yang ditempuh oleh para arifin (orang-orang yang selalu dekat kepada Allah).
Diriwayatkan di dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim dari Aisyah R.Anha, ia berkata:

نَزَلَت هذِهِ الاَيَة : وَلاَتَجهَر بِصَلاَتِكَ وَلاَتُخَافِت بِهَا …./ فِى الدُّعَاْء

Turunlah ayat ; … janganlah menyaringkan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula kamu merendahkannya ……. (QS al-Isra’ 110). Maksudnya pada doa di dalam shalat.

Syekh Ahmad Bahjad dalam bukunya “Mengenal Allah”, memberikan pengertian sebagai berikut, “Dzikir secara lisan seperti menyebut nama Allah berulang-ulang. Dan satu tingkat diatas dzikir lisan adalah hadirnya pemikiran tentang Allah dalam kalbu, kemudian upaya menegakkan hukum syariat Allah dimuka bumi dan membumikan Al Qur’an dalam kehidupan. Juga termasuk dzikir adalah memperbagus kualitas amal sehari-hari dan menjadikan dzikir ini sebagai pemacu kreatifitas baru dalam bekerja dengan mengarahkan niat kepada Allah ( lillahita’ala ).”

Sebagian ulama lain membagi dzikir menjadi dua yaitu: dzikir dengan lisan, dan dzikir di dalam hati. Dzikir lisan merupakan jalan yang akan menghantar pikiran dan perasaan yang kacau menuju kepada ketetapan dzikir hati; kemudian dengan dzikir hati inilah semua kedalaman ruhani akan kelihatan lebih luas, sebab dalam wilayah hati ini Allah akan mengirimkan pengetahuan berupa ilham.

Imam Alqusyairi mengatakan, “Jika seorang hamba berdzikir dengan lisan dan hatinya, berarti dia adalah seorang yang sempurna dalam sifat dan tingkah lakunya.”


Dzikir kepada Allah bermakna, bahwa manusia sadar akan dirinya yang berasal dari Sang Khalik, yang senantiasa mengawasi segala perbuatannya. Dengan demikian manusia mustahil akan berani berbuat curang dan maksiat dihadapan-Nya. Dzikir berarti kehidupan, karena manusia ini adalah makhluq yang akan binasa (fana), sementara Allah senantiasa hidup, melihat, berkuasa, dekat, dan mendengar, sedangkan menghubungkan (dzikir) dengan Allah, berarti menghubung-kan dengan sumber kehidupan (Al Hayyu).


Sabda Rasulullah, “Perumpamaan orang yang berdzikir dengan orang yang tidak berdzikir seperti orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)

Itulah gambaran dzikir yang dituturkan Rasulullah SAW. Bahwa dzikir kepada Allah itu bukan sekedar ungkapan sastra, nyanyian, hitungan-hitungan lafadz, melainkan suatu hakikat yang diyakini didalam jiwa dan merasakan kehadiran Allah disegenap keadaan, serta berpegang teguh dan menyandarkan kepada-Nya hidup dan matinya hanya untuk Allah semata.

Firman Allah, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (jiwamu) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS 7:205)

Aku hadapkan wajahku kepada wajah yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus. Aku bukanlah orang yang berbuat syirik, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku kuserahkan (berserah diri) kepada Tuhan sekalian Alam.

Adapun hitungan-hitungan lafadz, seperti membaca Asmaul Husna, membaca Alqur’an, shalat, haji, zakat, dll, merupakan bagian dari sarana dzikrullah, bukan dzikir itu sendiri, yaitu dalam rangka menuju penyerahan diri (lahir dan batin) kepada Allah. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dari pada dzikir dan tidak ada nilai yang lebih berharga dari usaha menghadirkan Allah dalam hati, bersujud karena keagungan-Nya, dan tunduk kepada semua perintah-Nya serta menerima setiap keputusan-Nya Yang Maha Bijaksana

Dzikir berarti cinta kepada Allah, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi diatas kecintaan kepada Allah, maka berdzikirlah kamu (dengan menyebut ) Allah, sebagaimana kamu ingat kepada orang tua kalian, atau bahkan lebih dari itu. (QS 2:200)

“Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS 9:24 )



Kitab al-Adzkaarun Nawawiyyah
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger