Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Topic Update »
Bagikan kepada teman!

Halal bihalal dan Toleransi Beragama

Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya. Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri. 

Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya. 

Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri. Dosa yang paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok. 

Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. 

Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman. 

Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu. Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini. 

Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti 'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti baik. Dalam pengertian kedua, kata halal terkait dengan status kelayakan sebuah makanan. Dalam pengertian terakhir selalu dikaitkan dengan kata thayyib (baik). Akan tetapi, tidak semua yang halal selalu berarti baik. Ambil contoh, misalnya talak (Arab: Thalaq; arti: cerai), seperti ditegaskan Rasulullah SAW: Talak adalah halal, namun sangat dibenci (berarti tidak baik). Jadi, dalam hal ini, ukuran halal yang patut dijadikan pedoman, selain makna ˜diperkenankan, adalah yang baik dan yang menyenangkan. Sebagai sebuah tradisi khas masyarakat Melayu, apakah halal-bihalal memiliki landasan teologis? Dalam Al Quran, (Ali 'Imron: 134-135) diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain. 

Dari ayat ini, selain berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan. Lebih luas lagi, berhalal-bihalal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain. 

Dan perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran. Akan tetapi, harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal-bihalal yang merupakan tradisi khas rumpun bangsa tersebut merefleksikan bahwa Islam di negara-negara tersebut sejak awal adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan. 

Ini sesuai dengan Firman Allah, Dan  bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan". (Q.S. 2:148). Titik tekan ayat di atas adalah pada berbuat kebaikan dan perilaku berorientasi nilai. Perilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga. Firman Allah (SWT), Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa". (Q.S. 2:177) 

Berangkat dari makna halal-bihalal seperti tersebut di atas, pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan saling berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat Muslim Indonesia dan di negara-negara rumpun Melayu lainnya. Akhirnya, Islam di wilayah ini adalah Islam rahmatan lil alamiin. 



Dikirim oleh Rizqon Khamami   
comments | | Selengkapnya...
Jadilah Publisher Artikel MRO di facebook anda. Klik di sini
Download Aplikasi Mushollarapi for Android di sini

Ramadhan, Upzis NU Ranting Desa Bae Salurkan Santunan Yatama dan Dhuafa


Bertempat di Masjid Tarbiyatul Muttaqin Dukuh Karangdowo Desa Bae, Ahad 31 Maret 2024. Pengurus Ranting NU Desa Bae melalui Lazis NU (NU Care) Ranting Bae membagikan santunan untuk dhuafa dan anak yatim dan piatu. Ratusan dhuafa dan yatim piatu menerima santunan tersebut.

Santunan dhuafa dan yatim piatu berasal dari infaq sadaqoh warga NU se Desa Bae yang dikumpulkan melalui Lazis NU Ranting Bae maupun Upzis NU Bae. Dalam acara yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut, selain para pengurus PRNU dan Lazis NU Bae, juga hadir perwakilan dari badan-badan otonom NU se Desa Bae. Acara juga dihadiri oleh perwakilan Pemerintah Desa serta masyarakat sekitar.

Dalam sambutannya, Pengurus Ranting NU Desa Bae mengatakan program santunan tersebut merupakan program tahunan NU Bae untuk membantu para dhuafa di lingkungan desa Bae beserta anak-anak yatim piatu, terutama menjelang idul fitri. Diharapkan bagi para penerima santunan untuk dapat menggunakan dengan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan Bersama.

Program santunan semacam ini akan terus dilakukan oleh PRNU Bae melalui Lazis NU maupun Upzis. Setiap bulannya, dengan perantara Kotak INUK saja bisa dikumpulkan secara rutin infaq sadaqah dari warga NU di Desa Bae, belum lagi infaq melalui rekening infaq dan zakat mal yang disalurkan pada bulan Ramadhan 1445 H kali ini.


Foto: Anshori
comments | | Selengkapnya...
Jadilah Publisher Artikel MRO di facebook anda. Klik di sini
Download Aplikasi Mushollarapi for Android di sini

I’tikaaf

Secara etimologi artinya berdiam diri, menetap dan menjalani secara kontinyu atas satu perbuatan baik. 

Allah berfirman :“suatu kaum yang tetap menyembah berhala” (QS. 7:138).



"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya? “(QS.21:52)“ 

(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (QS. 2:187)



Sedang pengertian I’tikaf secara terminologi adalah sebagai berikut :



Hanafiyyah :

ialah berdiam diri di dalam masjid yang dipakai untuk shalat berjamaah dengan disertaipuasa dan niat, maka berdiam diri adalah rukun didalam i’tikaf, tidak ada i’tikaf kecuali tanpanya dan puasa dalam i’tikaf yang dinadzari dan niat adalah syarat-syaratnya i’tikaf.I’tikaf bagi pria adanya dimasjid jamaah yakni masjid yang terdapati imam dan muadzdzinnya baik dipakai untuk shalat lima waktu atau tidak sedang bagi wanita dalam masjid yang terdapat dirumahnya yakni tempat yang telah ia tentukan dipakai shalat sehari-hari dan tidak sah diselain tempat shalat dalam rumahnya.



Malikiyyah :

Ialah menetapinya seorang muslim yang telah tamyiz untuk menjalani ibadah dalam masjid yang diperkenankan untuk setiap orang dengan disertai puasa, mencegah diri dari senggama dan foreplaynya dimasa sehari semalam dan masa lebih banyak, dengan disertai niat.Maka i’tikaf tidak sah dari orang non muslim, belum tamyiz, dalam masjid rumah yang bersifat pribadi, tanpa puasa baik puasa fardhu atau sunah, puasa ramadhan atau lainnya, dan batal akibat senggama serta foreplaynya. Dan paling minimal waktunya sehari semalam tiada batasan untuk masa paling banyaknya, dengan tujuan beribadah dengan niat karena i’tikaf adalah ibadah dan setiap ibadah butuh terhadap niat.



Syafi’iyyah :

Ialah berdiam diri dalam masjid yang dilakukan oleh seseorang dengan dibarengi niat.



Hanabilah :

Ialah menetapi masjid untuk taat pada Allah dengan bentuk yang tertentu, dilakukan seorang muslim yang berakal meski ia tamyiz, suci dari hal yang mewajibkan mandi dan Paling sedikit masanya adalah sesaat.



Maka tidak sah dilakukan oleh orang non muslim meski orang murtad, orang gila, belum tamyiz, karena tidak adanya niat dari mereka, tidak sah juga dilakukan oleh orang yang sedang junub meskipun ia berwudhu, tidak cukup hanya dengan melewati masjid dan masa paling pendeknya sekejap mata.



I’tikaf boleh dikerjakan disetiap waktu baik dibulan ramadhan atau lainnya, sedang masa paling pendeknya adalah :



Hanafiyyah : Bila i’tikaf sunah maka masa paling pendeknya adalah masa yang amat sedikit yang tiada dapat dibatasi.



Malikiyyah : Sehari semalam dan yang lebih baik tidak kurang dari 10 hari dengan disertai puasa ramadhan atau lainnya maka tidak sah dilakukan oleh orang yang tidak berpuasa meskipun karena udzur “Orang yang tidak kuat berpuasa tiada i’tikaf baginya”



Syafi’iyyah : Menurut pendapat yang paling shahih dikalangan syafi’i disyaratkan dalam i’tikaf dalam waktu yang disebut berdiam diri, dalam arti masanya melebihi kadar masa thuma’ninah seseorang dikala menjalani ruku’ dan selainnya maka tidak cukup hanya dalam waktu sekedar thuma’ninah, tidak harus diam boleh dengan mondar-mandir.



Hanabilah : Sesaat artinya waktu yang bila dikerjakan maka disebut berdiam diri meskipun sekejap mata.



Dengan demikian mayoritas ulama menyatakan cukupnya i’tikaf dalam masa sesaat sedangkan kalangan malikiyyah mensyaratkan minimalnya sehari semalam (Al-Fiqh al-Islaam III/123-124).



Lantas bolehkah i’tikaf di selain masjid?



قال المصنف رحمه الله * { ولا يصح الاعتكاف من الرجل الا في المسجد لقوله تعالي (ولا تباشروهن وانتم عاكفون في المساجد) فدل علي انه لا يجوز الا في المسجد ولا يصح من المرأة الا في المسجد لان من صح اعتكافه في

المسجد لم يصح اعتكافه في غيره كالرجل والافضل ان يعتكف في المسجد الجامع لان رسول الله صلى الله عليه وسلم اعتكف في المسجد الجامع ولان الجماعة في صلواته اكثر ولانه يخرج من الخلاف فان الزهري قال لا يجوز في غيره



Dalam al-majmuu' syarh muhadzdzab diterangkan boleh dan sah i'tikaf di Masjid yang tak digunakan sholat Jum'at, walaupun yang lebih afdhol i'tikaf di Masjid Jaami (yang digunakan jumatan).



Lalu, bolehkah I'tikaf di Musholla?



 Musholla dalam pengertian Masyarakat Indonesia itu dua pengertian:


1. Ruangan khusus dalam suatu bangunan yang digunakan untuk sholat. Statusnya tidak tetap, bisa dipindah-pindah. Sekarang jadi Musholla, nanti bisa diubah jadi kelas, atau dapur atau lainnya. Karena statusnya tidak tetap dan bukan wakaf, maka untuk musholla macam ini, i'tikaf di dalamnya tidak sah



2. Tempat khusus yang diwakafkan untuk sholat lima waktu selain Jum'at. Ada Imamnya, dan juga ada muadzinnya. Menurut saya, macam yang kedua ini sah untuk i'tikaf di dalamnya. Dan penamaannya sebagai musholla tak merubahnya, dari statusnya sebagai Masjid yang bukan Jaami' (Musholla di sini adalah masjid yang bukan jami'). Sebab orang Indonesia, menyebut Masjid selalu untuk yang di jum'ati. Macam yang kedua ini (yang tidak dipakai jumatan), masyarakat Kami di Banjar menyebutnya sebagai Langgar.

Waallaahu A'lamu Bis showaab.





http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/382417571781057/ oleh Ust. Masaji Antoro dan Didin Banjarmasin
comments | | Selengkapnya...
Jadilah Publisher Artikel MRO di facebook anda. Klik di sini
Download Aplikasi Mushollarapi for Android di sini

Download File Audio

Sholat

Adab

Keluarga dan Pernikahan

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger