Di antara kata yang sering ditakuti, dibenci, disalahartikan, dan dibonsaikan maknanya adalah kata jihad. Dalam literatur Barat pada umumnya kata jihad diterjemahkan dengan “holy war” atau perang suci. Padahal perang hanyalah salah satu bentuk dari jihad. Dalam Al-Qur’an, kata jihad diterjemahkan dengan berbagai derivasinya dan terdapat 41 kali, baik dalam surat-surat yang diturunkan pada periode Makkah (Makkiyyah) maupun dalam surat-surat yang diturunkan pada periode Madinah (Madaniyyah).
Akar kata jihad adalah جَهَدَ yang beratti keletihan, kegentingan, kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja keras dan yang mirip dengan itu. Ayat jihad dalam arti perang (qital) atau melawan musuh, hanyalah sebagai salah satu maknanya, dan baru turun pada tahun kedua Hijriyah yang kemudian digumulkan dengan realitas yang konkrit pada Perang Badar (624 M). Di sini jihad dan qital (perang) menjadi sinonim.
Kita tengok selintas situasi Islam di awal kemunculannya pada abad ke-7 M dan mengapa perintah jihad dalam pengertian qital itu diberikan? Pada saat komunintas umat muslim yang masih kecil dan baru saja hiirah ke Madinah (622 M), dalam keadaan masih lemah dan letih karena diusir, sementara pihak musuh (Quraisy Makkah) semakin agresif dan beringas, itulah perintah jihad pertama kali diturunkan. Tujuannya agar komunitas barn tabah dan tegar, dan tak berantakan dalam lingkungan yang serba keras, kasar dan penuh kebencian, serta dendam kesumat.
Kedatangan Al-Qur’an dengan prinsip keadilannya bagi elit Makkah sebagai kota komersial berarti akan membahayakan hak-hak monopoli mereka pada sumber-sumber ekonomi perdagangan. Oleh sabab itu, Nabi Muhammad SAW jangan sampai mempunyai kedudukan yang kokoh di Madinah, sehingga pada akhimya akan mengancam posisi mereka. Jihad dalam arti perang pada saat itu adalah mempertahankan diri dengan segala kesungguhan daya dan upaya. Jika tidak demikian maka komunitas Islam akan lenyap ditelan oleh kekuatan sejarah yang tidak bersahabat. Perintah itu terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 193, yaitu:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلّهِ فَإِنِ انتَهَواْ فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Bagi umat Islam, pada waktu itu perintah jihad ini sungguh sangat berat. Karena, mereka baru saja membentuk komunitas di Madinah, sebuah komunitas yang belum stabil. Kemudian dalam surat Al-Hajj dijelaskan tentang izin berperang, yaitu:
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيراً وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hajj: 40).
Ayat-ayat di atas jelas sekali menunjukkan makna perang dalam arti defensif atau mempertahankan diri, sekalipun pada ayat-ayat lain dapat pula berbentuk ofensif atau menyerang, tergantung jika situasi mengharuskan demikian. Yakni sepanjang hal itu dilakukan untuk menghapuskan kerusakan di muka bumi (fasad fi al-ardh), menjaga rumah ibadat, bukan merusak atau membakamya, serta kemudian membangun peradaban dengan cara baik dan adil (ishlah).
Dalam lingkungan sejarah Arab abad ke-7 M, metode kekerasan dan ancaman memang merupakan norma sehari-hari dalam menyelesikan sengketa antara suku dan puak. Bahkan dua emporium besar, Byzatium dan Sasaniah, pada abad itu juga terlibat perang dasyat yang penuh kekerasan. Maka, bagi komunitas Islam yang berusia sangat muda, tidak ada jalan lagi untuk bertahan dan mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah kecuali dengan jihad. Tanpa jihad, tujuan untuk menegakkan yang ma 'ruf dan mencegah yang munkar tidak dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu, Nabi dan para pengikutnya harus mengatur strategi yang setiap saat dapat mengancam untuk menghancurkan Madinah. Ancaman itu akhimya menjadi kenyataan dalam bentuk Perang Badar pada 624M, seperti disinggung di atas.
Di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, Komunitas muslim yang kecil harus berjihad habis-habisan, mengerahkan segala daya dan upaya, sebab bagi mereka perang itu akan sangat menentukan hari depan mereka to be or not to be, seperti tercermin dalam doa Rasulullah SAW, "Ya Allah, di sini pihak Quraisy dengan segala kecongkakannya sedang berupaya untuk mendustakan Nabi-Mu. Ya Allah, aku nantikan pertolongan-Mu yang telah engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, sekiranya pasukan kecil ini hancur binasa hari ini, Engkau tak akan disembah lagi". Sebuah lirik doa yang disampaikan dengan keseluruhan kekuatan jiwa.
Doa ini dikabulkan Allah SWT. Maka, jadilah Perang Badar yang dimenangkan pasukan muslim, sekalipun dari segi jumlah pasukan sangat tidak berimbang. Peristiwa Badar telah menjadi salah satu pilar utama sebagai realisasi doktrin jihad guna menopang perkembangan Islam selanjutnya untuk tampil sebagai agama dunia dalam tempo yang relatif singkat. Sekalipun pasukan muslim kalah dalam perang berikutriya, perang Uhud (625 M), umat Islam jauh lebih pereaya diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk sekalipun.
Dalam situasi peradaban atau kebiadaban dalam konstelasi serba global seperti sekarang ini, memang serba ruwet dan setiap persoalan tidak mudah dipahami, kecuali apabila kita mampu membaca akar masalahnya yang paling dalam. Harus diakui bahwa umat Islam yang masih berada di sejarah kemunduran peradaban tampaknya sedang menggapai dengan tertatih-tatih untuk merumuskan jati dirinya yang terkoyak karena proses sejarah yang dilakukan selama berabad-abad. Sebagian kita memakai kaca mata buram sehingga tak mampu lagi melihat realitas yang serba getir dengan sabar dan pikiran jernih. Mereka seperti telah kehilangan harapan dan masa depan, sehingga apa yang dilakukan tidak terkontrol, dan kehilangan kendali.
Untuk situasi Indonesia sekarang doktrin jihad yang perlu dikembangkan dan ditegakkan adalah dalam rangka menciptakan sebuah tatanan sosio-politik yang egalitarian (kesetaraan), adil dan bermoral untuk semua golongan tanpa diskrimiasi. Tatanan semacam inilah yang harus menjadi muara dan tujuan perjuangan kita bersama untuk sebuah Indonesia baru yang adil, makmur, ramah, toleran, dan sehat.
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an menyuruh umat Islam untuk membangun sebuah tatanan politik di dunia untuk tujuan di atas, membangun masyarakat yang mutamaddin. Akan tetapi, mengenai apa nama tatanan itu dan bagaimana sistemnya, Al-Quran tidak menjelaskan dengan terperinci. Dengan cacatan bahwa prinsip musyawarah sebagai simbol egalitarianisme harus tetap dipertahankan. Tergantung pada hasil pemikiran dan kesepakatan bersama untuk merumuskan nama dan sistem kekuasaan itu.
Semoga kita mampu memaknai jihad dengan makna yang seluas-luasnya dengan tetap merpegang teguh pada ajaran-ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya... Wallahu'alam
KH A Nuril Huda
Akar kata jihad adalah جَهَدَ yang beratti keletihan, kegentingan, kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja keras dan yang mirip dengan itu. Ayat jihad dalam arti perang (qital) atau melawan musuh, hanyalah sebagai salah satu maknanya, dan baru turun pada tahun kedua Hijriyah yang kemudian digumulkan dengan realitas yang konkrit pada Perang Badar (624 M). Di sini jihad dan qital (perang) menjadi sinonim.
Kita tengok selintas situasi Islam di awal kemunculannya pada abad ke-7 M dan mengapa perintah jihad dalam pengertian qital itu diberikan? Pada saat komunintas umat muslim yang masih kecil dan baru saja hiirah ke Madinah (622 M), dalam keadaan masih lemah dan letih karena diusir, sementara pihak musuh (Quraisy Makkah) semakin agresif dan beringas, itulah perintah jihad pertama kali diturunkan. Tujuannya agar komunitas barn tabah dan tegar, dan tak berantakan dalam lingkungan yang serba keras, kasar dan penuh kebencian, serta dendam kesumat.
Kedatangan Al-Qur’an dengan prinsip keadilannya bagi elit Makkah sebagai kota komersial berarti akan membahayakan hak-hak monopoli mereka pada sumber-sumber ekonomi perdagangan. Oleh sabab itu, Nabi Muhammad SAW jangan sampai mempunyai kedudukan yang kokoh di Madinah, sehingga pada akhimya akan mengancam posisi mereka. Jihad dalam arti perang pada saat itu adalah mempertahankan diri dengan segala kesungguhan daya dan upaya. Jika tidak demikian maka komunitas Islam akan lenyap ditelan oleh kekuatan sejarah yang tidak bersahabat. Perintah itu terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 193, yaitu:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلّهِ فَإِنِ انتَهَواْ فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Bagi umat Islam, pada waktu itu perintah jihad ini sungguh sangat berat. Karena, mereka baru saja membentuk komunitas di Madinah, sebuah komunitas yang belum stabil. Kemudian dalam surat Al-Hajj dijelaskan tentang izin berperang, yaitu:
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيراً وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hajj: 40).
Ayat-ayat di atas jelas sekali menunjukkan makna perang dalam arti defensif atau mempertahankan diri, sekalipun pada ayat-ayat lain dapat pula berbentuk ofensif atau menyerang, tergantung jika situasi mengharuskan demikian. Yakni sepanjang hal itu dilakukan untuk menghapuskan kerusakan di muka bumi (fasad fi al-ardh), menjaga rumah ibadat, bukan merusak atau membakamya, serta kemudian membangun peradaban dengan cara baik dan adil (ishlah).
Dalam lingkungan sejarah Arab abad ke-7 M, metode kekerasan dan ancaman memang merupakan norma sehari-hari dalam menyelesikan sengketa antara suku dan puak. Bahkan dua emporium besar, Byzatium dan Sasaniah, pada abad itu juga terlibat perang dasyat yang penuh kekerasan. Maka, bagi komunitas Islam yang berusia sangat muda, tidak ada jalan lagi untuk bertahan dan mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah kecuali dengan jihad. Tanpa jihad, tujuan untuk menegakkan yang ma 'ruf dan mencegah yang munkar tidak dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu, Nabi dan para pengikutnya harus mengatur strategi yang setiap saat dapat mengancam untuk menghancurkan Madinah. Ancaman itu akhimya menjadi kenyataan dalam bentuk Perang Badar pada 624M, seperti disinggung di atas.
Di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, Komunitas muslim yang kecil harus berjihad habis-habisan, mengerahkan segala daya dan upaya, sebab bagi mereka perang itu akan sangat menentukan hari depan mereka to be or not to be, seperti tercermin dalam doa Rasulullah SAW, "Ya Allah, di sini pihak Quraisy dengan segala kecongkakannya sedang berupaya untuk mendustakan Nabi-Mu. Ya Allah, aku nantikan pertolongan-Mu yang telah engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, sekiranya pasukan kecil ini hancur binasa hari ini, Engkau tak akan disembah lagi". Sebuah lirik doa yang disampaikan dengan keseluruhan kekuatan jiwa.
Doa ini dikabulkan Allah SWT. Maka, jadilah Perang Badar yang dimenangkan pasukan muslim, sekalipun dari segi jumlah pasukan sangat tidak berimbang. Peristiwa Badar telah menjadi salah satu pilar utama sebagai realisasi doktrin jihad guna menopang perkembangan Islam selanjutnya untuk tampil sebagai agama dunia dalam tempo yang relatif singkat. Sekalipun pasukan muslim kalah dalam perang berikutriya, perang Uhud (625 M), umat Islam jauh lebih pereaya diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk sekalipun.
Dalam situasi peradaban atau kebiadaban dalam konstelasi serba global seperti sekarang ini, memang serba ruwet dan setiap persoalan tidak mudah dipahami, kecuali apabila kita mampu membaca akar masalahnya yang paling dalam. Harus diakui bahwa umat Islam yang masih berada di sejarah kemunduran peradaban tampaknya sedang menggapai dengan tertatih-tatih untuk merumuskan jati dirinya yang terkoyak karena proses sejarah yang dilakukan selama berabad-abad. Sebagian kita memakai kaca mata buram sehingga tak mampu lagi melihat realitas yang serba getir dengan sabar dan pikiran jernih. Mereka seperti telah kehilangan harapan dan masa depan, sehingga apa yang dilakukan tidak terkontrol, dan kehilangan kendali.
Untuk situasi Indonesia sekarang doktrin jihad yang perlu dikembangkan dan ditegakkan adalah dalam rangka menciptakan sebuah tatanan sosio-politik yang egalitarian (kesetaraan), adil dan bermoral untuk semua golongan tanpa diskrimiasi. Tatanan semacam inilah yang harus menjadi muara dan tujuan perjuangan kita bersama untuk sebuah Indonesia baru yang adil, makmur, ramah, toleran, dan sehat.
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an menyuruh umat Islam untuk membangun sebuah tatanan politik di dunia untuk tujuan di atas, membangun masyarakat yang mutamaddin. Akan tetapi, mengenai apa nama tatanan itu dan bagaimana sistemnya, Al-Quran tidak menjelaskan dengan terperinci. Dengan cacatan bahwa prinsip musyawarah sebagai simbol egalitarianisme harus tetap dipertahankan. Tergantung pada hasil pemikiran dan kesepakatan bersama untuk merumuskan nama dan sistem kekuasaan itu.
Semoga kita mampu memaknai jihad dengan makna yang seluas-luasnya dengan tetap merpegang teguh pada ajaran-ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya... Wallahu'alam
KH A Nuril Huda
Posting Komentar