Pada suatu zaman ada seorang murid yang taat kepada gurunya, setelah ia belajar lama ia pun kembali ke kampung asalnya, tahun demi tahun ia lalui yang akhirnya beliau menjadi seorang yang alim yang terkenal di kampung itu dan di juluki “Syekh Maulana Kendi”. Kenapa beliau di juluki Maulana Kendi?, karena beliau tidak lepas dengan kendi tersebut untuk mengambil air wudhu dan untuk beliau minum airnya. Beliau sangat taat ibadahnya sehingga beliau tidak memiliki harta apapaun, kecuali gubuk kecil yang beliau tempati bersama seorang muridnya yang beliau sayangi. Ketaatan dan ketaqwaannya menjadikan contoh untuk muridnya yang selalu mendampinginya sehingga muridnya pun menjunjung tinggi ahlak dan kebesaran ilmunya.
Pada suatu saat Syekh Kendi menceritakan tentang gurunya yang berada di negeri seberang dan akhirnya menyuruh muridnya untuk menemuinya, keesokan harinya sang murid berangkat ke negeri seberang dan sampailah di depan gerbang guru besar Syekh Kendi, maka murid Syekh Kendi bertanya, “Apakah ini rumah guru besar Syekh Kendi?”, Rumah yang bagaikan istana yang luas, penjaga yang begitu banyak membuat keraguan murid Syekh Kendi, seraya dihati berkata, “Guruku Syekh Kendi miskin tak punya apa-apa sedangkan guru besarnya seperti ini”. Bertambah keanehannya dikala melihat di dalam istananya bangku-bangku emas dan mahkota emas dan begitu gemerlapan emas yang ada di dalam rumahnya.
Dan akhirnya berjumpalah murid Syekh Kendi dengan guru besarnya yang bernama Syekh Sulaiman (Guru dari Syekh Kendi), tiba-tiba beliau berkata, “Apakah engkau murid Syekh Kendi murid kesayanganku?”. Sang murid menjawab, "benar wahai guru besar". "Beri kabar kepada muridku agar dia lebih zuhud lagi di dunia dan salamkan ini kepadanya", kata Syekh Sulaiman.
Kebingunganpun bertambah di hati Sang murid, guruku yang miskin di suruh tambah miskin lagi menurut kata hatinya, dan pertanyaan ini membuat bingung dan akhirnya keesokan harinya dia pulang menuju rumah Syekh Kendi gurunya dan membawa pertanyaan yang membingungkan. Setibanya dia di rumah Syekh Kendi dengan gembira Syekh Kendi menyambut kedatangannya seraya bertanya, “Apa kabar yang kau bawa dari guruku tercinta?” muridnya menceritakan, “Wahai guruku, aku diberi kabar agar engkau lebih zuhud lagi hidup didunia”. tiba-tiba Syekh Kendi menangis, menangis, dan menangis lalu mengambil kendinya dan memecahkannya seraya berkata, “Benar guruku, benar guruku”.
Ketahuilah wahai muridku kemewahan dan keindahan Syekh Sulaiman guruku tak sedikitpun masuk kedalam hatinya, sedangkan aku selalu mencari-cari kendiku dan aku takut kehilangannya, ini yang menyebabkan aku kurang zuhud kepada Allah SWT, karena masih ada dihatiku dunia.
Guru yang baik adalah seorang petani. Menjadi perhatian untuk para guru adalah agar murid tidak dianggap sebagai gelas yang kosong, yang kemudian kita isi dengan air. Gelas yang terus menerus diisi dengan air pada akhirnya akan tumpah, dan menjadi kosong lagi.
Maka, anggaplah murid sebagai pohon. Pohon itu akan tumbuh terus menerus. Setelah tiba masa panen, ia akan berbuah. Buahnya akan bermanfaat bagi siapa yang menginginkannya. Buah itu akan jatuh ke tanah, menciptakan bibit-bibit pohon baru. Demikian seterusnya.
Kita, guru, adalah petani pohon itu. Tugas kita menyemaikan pohon itu hingga berbuah, dan tumbuh menjadi pohon yang mandiri. Tanaman, pohon, yang tidak pernah digubris oleh petaninya akan mati. Kalaulah ia tumbuh, pertumbuhannya akan terganggu, akan dijadikan sasaran empuk hama-hama kehidupan. Ia tidak akan berbuah, hanya akan menjadi ilalang-ilalang kering yang menjadi sampah berikutnya.
Perhatian guru terhadap murid, dalam hal sekecil apapun, adalah besar pengaruhnya. Berangkat dari keinginan tulus seorang guru yang ingin menjadikan muridnya manusia sempurna, yang bisa menggunakan seluruh potensi kemanusiaannya. Itulah guru yang baik, seorang petani yang menanam pohon-pohon kehidupan.
Ustadz Ali Sarkowi, Pondok Pesantren Gontor
Pada suatu saat Syekh Kendi menceritakan tentang gurunya yang berada di negeri seberang dan akhirnya menyuruh muridnya untuk menemuinya, keesokan harinya sang murid berangkat ke negeri seberang dan sampailah di depan gerbang guru besar Syekh Kendi, maka murid Syekh Kendi bertanya, “Apakah ini rumah guru besar Syekh Kendi?”, Rumah yang bagaikan istana yang luas, penjaga yang begitu banyak membuat keraguan murid Syekh Kendi, seraya dihati berkata, “Guruku Syekh Kendi miskin tak punya apa-apa sedangkan guru besarnya seperti ini”. Bertambah keanehannya dikala melihat di dalam istananya bangku-bangku emas dan mahkota emas dan begitu gemerlapan emas yang ada di dalam rumahnya.
Dan akhirnya berjumpalah murid Syekh Kendi dengan guru besarnya yang bernama Syekh Sulaiman (Guru dari Syekh Kendi), tiba-tiba beliau berkata, “Apakah engkau murid Syekh Kendi murid kesayanganku?”. Sang murid menjawab, "benar wahai guru besar". "Beri kabar kepada muridku agar dia lebih zuhud lagi di dunia dan salamkan ini kepadanya", kata Syekh Sulaiman.
Kebingunganpun bertambah di hati Sang murid, guruku yang miskin di suruh tambah miskin lagi menurut kata hatinya, dan pertanyaan ini membuat bingung dan akhirnya keesokan harinya dia pulang menuju rumah Syekh Kendi gurunya dan membawa pertanyaan yang membingungkan. Setibanya dia di rumah Syekh Kendi dengan gembira Syekh Kendi menyambut kedatangannya seraya bertanya, “Apa kabar yang kau bawa dari guruku tercinta?” muridnya menceritakan, “Wahai guruku, aku diberi kabar agar engkau lebih zuhud lagi hidup didunia”. tiba-tiba Syekh Kendi menangis, menangis, dan menangis lalu mengambil kendinya dan memecahkannya seraya berkata, “Benar guruku, benar guruku”.
Ketahuilah wahai muridku kemewahan dan keindahan Syekh Sulaiman guruku tak sedikitpun masuk kedalam hatinya, sedangkan aku selalu mencari-cari kendiku dan aku takut kehilangannya, ini yang menyebabkan aku kurang zuhud kepada Allah SWT, karena masih ada dihatiku dunia.
Guru yang baik adalah seorang petani. Menjadi perhatian untuk para guru adalah agar murid tidak dianggap sebagai gelas yang kosong, yang kemudian kita isi dengan air. Gelas yang terus menerus diisi dengan air pada akhirnya akan tumpah, dan menjadi kosong lagi.
Maka, anggaplah murid sebagai pohon. Pohon itu akan tumbuh terus menerus. Setelah tiba masa panen, ia akan berbuah. Buahnya akan bermanfaat bagi siapa yang menginginkannya. Buah itu akan jatuh ke tanah, menciptakan bibit-bibit pohon baru. Demikian seterusnya.
Kita, guru, adalah petani pohon itu. Tugas kita menyemaikan pohon itu hingga berbuah, dan tumbuh menjadi pohon yang mandiri. Tanaman, pohon, yang tidak pernah digubris oleh petaninya akan mati. Kalaulah ia tumbuh, pertumbuhannya akan terganggu, akan dijadikan sasaran empuk hama-hama kehidupan. Ia tidak akan berbuah, hanya akan menjadi ilalang-ilalang kering yang menjadi sampah berikutnya.
Perhatian guru terhadap murid, dalam hal sekecil apapun, adalah besar pengaruhnya. Berangkat dari keinginan tulus seorang guru yang ingin menjadikan muridnya manusia sempurna, yang bisa menggunakan seluruh potensi kemanusiaannya. Itulah guru yang baik, seorang petani yang menanam pohon-pohon kehidupan.
Ustadz Ali Sarkowi, Pondok Pesantren Gontor
Posting Komentar