Mengarungi bahtera rumah tangga terkadang seperti sedang berlibur menikmati pesona alam, indah samudera biru disertai angin semilir sepoi-sepoi, yang membuat kita larut dalam keindahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sejuknya suasana pegunungan membuat kita akan terus merindukannya.
Namun alur cerita akan berbeda jika suatu saat keindahan alam tadi tertutup awan pekat, cuaca buruk, sehingga yang datang menerpa adalah badai Tsunami, guncangan gempa, angin tornado, badai katrina, dan lain sebagainya.
Tentunya, kehidupan berumah tangga tidaklah terlalu jauh dari illustrasi di atas. Kehidupan rumah tangga adalah sinema dengan narasi tanpa skenario yang jelas bagi para artisnya. Perjalanannya tentu akan diwarnai dengan problematika hidup yang penuh kelokan-kelokan tajam. Pertengkaran, salah faham, atau bahkan keretakan yang menyebabkan hilangnya harmoni, adalah pernak-pernik yang menjadi ‘bumbu wajib’ dalam membina mahligai rumah tangga. Dan mestinya, perjalanan ini ditempuh dengan harapan akan berujung pada ending yang memuaskan, penuh kebahagiaan, menjadi keluarga sakinah, penuh kasih sayang dunia akhirat.
Sakinah adalah rasa ketentraman diri yang bersifat abstrak, namun bisa menggerakkan secara konkret, dan mengantarkan setiap pasangan menuju tahta rumah tangga yang abadi, disirami rahmat Allah Subhanahu wata‘âlâ. Bukan kesenangan duniawi semata, yang hanya bisa diukur dengan nilai-nilai pragmatisme. Untuk itulah dibutuhkan tangan terampil seorang suami dan sifat salihah seorang istri dalam sebuah bangunan rumah tangga. Sebab hanya dari keluarga yang saleh akan lahir generasi yang baik, sesuai dengan harapan nabi besar Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Atas dasar itulah kemudian syariat mengatur begitu detail urusan membina keluarga, mulai dari proses mencari pasangan, melakukan akad nikah dengan benar, membina keluarga, sampai pada tata cara mendidik buah hati.
Dalam mengemban amanat keluarga, syariat memilih suami sebagai aktor yang berperan menjadi kepala rumah tangga. Maka sebagai kepala, dia harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang baik, selalu menampilkan kejujuran, kedisiplinan, tegas, berwawasan luas, arif, dan bijaksana. Sebab dalam perjalanan keluarga pasti akan banyak cobaan yang mempertaruhkan kesiapan mental seorang suami, apalagi mitra kerja yang mendampinginya dalam keluarga adalah seorang wanita. Ada beberapa karakter wanita yang secara profesional harus diimbangi oleh seorang suami dalam upaya membangun keluarga yang diliputi suasana tentram.
Wanita adalah mahluk yang lemah, maka janganlah bersikap keras, agar tidak terjadi penindasan dan kekerasan dalam keluarga. Wanita juga memiliki tipu daya yang dahsyat, maka perlu ketangkasan dan kesigapan suami untuk mengarahkan pada jalan yang benar. Wanita memiliki emosi tinggi, karenanya butuh kesabaran dan ketenangan seorang suami dalam melayaninya, agar tidak terjadi tabrakan emosional, manja, sensitive, egois. Karena itu dibutuhkan belaian lembut, ketegasan, kebijaksanaan dan kasih sayang yang memadai untuk mewarnai dan menundukkannya. Alhasil, perempuan adalah sosok manusia yang dalam Hadis Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dijelaskan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, “bila terlalu keras meluruskannya, maka akan patah, tapi bila terlalu lemah, maka ia akan terus bengkok”.
Aktor kedua dalam rumah tangga adalah istri, yang berfungsi sebagai penyeimbang dalam keluarga. Kehadiran istri salihah menjadi sangat penting, sebab ia akan selalu berbuat yang terbaik untuk suami, meringankan beban dan tanggung jawabnya.
Sebagai ibu rumah tangga tugasnya bukan hanya sekadar mendampingi suami, tapi juga menjadi penasihat bagi suami, menjadi penyejuk hati saat suami dalam amarah. Terlebih seperti situasi saat ini, di mana para suami dihadapkan pada godaan besar. Banyak perempuan yang secara sadar atau tidak telah menjadi penggoda kaum pria, baik langsung ataupun tak langsung. Maka menjadi salah satu tanggung jawab mulia bagi para istri untuk membantu para suami mencurahkan cinta mereka pada sesuatu yang halal.
Betapa mulia tugas seorang istri. Layaklah kiranya jika kemudian istri salihah mendapatkan gelar perhiasan paling mulia. Penobatan gelar pehiasan terindah di dunia ini tentunya melalui seleksi dengan kriteria-kriteria yang ketat. Istri salihah paling tidak memiliki kriteria sebagai berikut:
Pertama, bertakwa kepada Allah Subhanahu wata‘âlâ.
Sebagai kekasih, seorang mesti memelihara kecantikannya. Dan kecantikan hakiki seseorang perempuan terletak pada ketaatannya kepada Allah Subhanahu wata‘âlâ. Ini adalah puncak kecantikan batin, dan kecantikan batin ini akan memperindah dan menyempurnakan kecantikan lahir.
Kedua, memiliki kekayaan berupa qanâ’ah, yakni kekayaan hati, bukan kekayaan materi.
Aura kekayaan hati bersumbu pada sifat qanâ’ah (sifat menerima pemberian Tuhan). Sebab di sinilah makna hakiki dari kekayaan diri. Al-qanâ’atu kanzun lâ yafnâ. Qana’ah adalah kekayaan yang tak pernah sirna, kata sebuah pepatah.
Ketiga, istri salihah berhiaskan ‘iffah.
Istri salihah adalah wanita yang pandai membawa diri, menjaga diri dan kehormatannya. Karena perempuan yang ghîrah keagamaannya kuat akan selalu menjaga kehormatan keluarga, dan tak akan membuka aib keluarga di hadapan orang lain. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan keadaan istri terbaik sebagai berikut, “Istri yang paling baik adalah, bila suami memandang kepadanya, ia akan memberikan kebahagiaan; bila menyuruhnya, ia mentaatinya; bila suami bepergian, ia menjaga diri dan hartanya.”
Dalam membentuk keluarga sakinah dibutuhkan keseimbangan, baik dalam menata sikap atau dalam hal kebutuhan fisik atau psikis. Pasangan ideal akan meletakkan parameter lahir dan batin secara seimbang dalam berinteraksi, sehingga semakin panjang usia pernikahan, semakin terasa kebutuhan untuk saling melengkapi, saling mengisi, untuk tetap menjaga suasana keluarga surgawi
Penulis berasal dari Pesantren Sidogiri
Namun alur cerita akan berbeda jika suatu saat keindahan alam tadi tertutup awan pekat, cuaca buruk, sehingga yang datang menerpa adalah badai Tsunami, guncangan gempa, angin tornado, badai katrina, dan lain sebagainya.
Tentunya, kehidupan berumah tangga tidaklah terlalu jauh dari illustrasi di atas. Kehidupan rumah tangga adalah sinema dengan narasi tanpa skenario yang jelas bagi para artisnya. Perjalanannya tentu akan diwarnai dengan problematika hidup yang penuh kelokan-kelokan tajam. Pertengkaran, salah faham, atau bahkan keretakan yang menyebabkan hilangnya harmoni, adalah pernak-pernik yang menjadi ‘bumbu wajib’ dalam membina mahligai rumah tangga. Dan mestinya, perjalanan ini ditempuh dengan harapan akan berujung pada ending yang memuaskan, penuh kebahagiaan, menjadi keluarga sakinah, penuh kasih sayang dunia akhirat.
Sakinah adalah rasa ketentraman diri yang bersifat abstrak, namun bisa menggerakkan secara konkret, dan mengantarkan setiap pasangan menuju tahta rumah tangga yang abadi, disirami rahmat Allah Subhanahu wata‘âlâ. Bukan kesenangan duniawi semata, yang hanya bisa diukur dengan nilai-nilai pragmatisme. Untuk itulah dibutuhkan tangan terampil seorang suami dan sifat salihah seorang istri dalam sebuah bangunan rumah tangga. Sebab hanya dari keluarga yang saleh akan lahir generasi yang baik, sesuai dengan harapan nabi besar Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Atas dasar itulah kemudian syariat mengatur begitu detail urusan membina keluarga, mulai dari proses mencari pasangan, melakukan akad nikah dengan benar, membina keluarga, sampai pada tata cara mendidik buah hati.
Dalam mengemban amanat keluarga, syariat memilih suami sebagai aktor yang berperan menjadi kepala rumah tangga. Maka sebagai kepala, dia harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang baik, selalu menampilkan kejujuran, kedisiplinan, tegas, berwawasan luas, arif, dan bijaksana. Sebab dalam perjalanan keluarga pasti akan banyak cobaan yang mempertaruhkan kesiapan mental seorang suami, apalagi mitra kerja yang mendampinginya dalam keluarga adalah seorang wanita. Ada beberapa karakter wanita yang secara profesional harus diimbangi oleh seorang suami dalam upaya membangun keluarga yang diliputi suasana tentram.
Wanita adalah mahluk yang lemah, maka janganlah bersikap keras, agar tidak terjadi penindasan dan kekerasan dalam keluarga. Wanita juga memiliki tipu daya yang dahsyat, maka perlu ketangkasan dan kesigapan suami untuk mengarahkan pada jalan yang benar. Wanita memiliki emosi tinggi, karenanya butuh kesabaran dan ketenangan seorang suami dalam melayaninya, agar tidak terjadi tabrakan emosional, manja, sensitive, egois. Karena itu dibutuhkan belaian lembut, ketegasan, kebijaksanaan dan kasih sayang yang memadai untuk mewarnai dan menundukkannya. Alhasil, perempuan adalah sosok manusia yang dalam Hadis Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dijelaskan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, “bila terlalu keras meluruskannya, maka akan patah, tapi bila terlalu lemah, maka ia akan terus bengkok”.
Aktor kedua dalam rumah tangga adalah istri, yang berfungsi sebagai penyeimbang dalam keluarga. Kehadiran istri salihah menjadi sangat penting, sebab ia akan selalu berbuat yang terbaik untuk suami, meringankan beban dan tanggung jawabnya.
Sebagai ibu rumah tangga tugasnya bukan hanya sekadar mendampingi suami, tapi juga menjadi penasihat bagi suami, menjadi penyejuk hati saat suami dalam amarah. Terlebih seperti situasi saat ini, di mana para suami dihadapkan pada godaan besar. Banyak perempuan yang secara sadar atau tidak telah menjadi penggoda kaum pria, baik langsung ataupun tak langsung. Maka menjadi salah satu tanggung jawab mulia bagi para istri untuk membantu para suami mencurahkan cinta mereka pada sesuatu yang halal.
Betapa mulia tugas seorang istri. Layaklah kiranya jika kemudian istri salihah mendapatkan gelar perhiasan paling mulia. Penobatan gelar pehiasan terindah di dunia ini tentunya melalui seleksi dengan kriteria-kriteria yang ketat. Istri salihah paling tidak memiliki kriteria sebagai berikut:
Pertama, bertakwa kepada Allah Subhanahu wata‘âlâ.
Sebagai kekasih, seorang mesti memelihara kecantikannya. Dan kecantikan hakiki seseorang perempuan terletak pada ketaatannya kepada Allah Subhanahu wata‘âlâ. Ini adalah puncak kecantikan batin, dan kecantikan batin ini akan memperindah dan menyempurnakan kecantikan lahir.
Kedua, memiliki kekayaan berupa qanâ’ah, yakni kekayaan hati, bukan kekayaan materi.
Aura kekayaan hati bersumbu pada sifat qanâ’ah (sifat menerima pemberian Tuhan). Sebab di sinilah makna hakiki dari kekayaan diri. Al-qanâ’atu kanzun lâ yafnâ. Qana’ah adalah kekayaan yang tak pernah sirna, kata sebuah pepatah.
Ketiga, istri salihah berhiaskan ‘iffah.
Istri salihah adalah wanita yang pandai membawa diri, menjaga diri dan kehormatannya. Karena perempuan yang ghîrah keagamaannya kuat akan selalu menjaga kehormatan keluarga, dan tak akan membuka aib keluarga di hadapan orang lain. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan keadaan istri terbaik sebagai berikut, “Istri yang paling baik adalah, bila suami memandang kepadanya, ia akan memberikan kebahagiaan; bila menyuruhnya, ia mentaatinya; bila suami bepergian, ia menjaga diri dan hartanya.”
Dalam membentuk keluarga sakinah dibutuhkan keseimbangan, baik dalam menata sikap atau dalam hal kebutuhan fisik atau psikis. Pasangan ideal akan meletakkan parameter lahir dan batin secara seimbang dalam berinteraksi, sehingga semakin panjang usia pernikahan, semakin terasa kebutuhan untuk saling melengkapi, saling mengisi, untuk tetap menjaga suasana keluarga surgawi
Penulis berasal dari Pesantren Sidogiri
Posting Komentar