Dalam menentukan awal Ramadahan atau Syawal maupun Dzulhijjah, sangat penting untuk dilakukannya pengamatan yang lebih mendalam dari bulan-bulan yang lain. Mengapa? Hal ini tentu berkaitan dengan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama ialah kapan saat umat diwajibkan berpuasa yang artinya diharamkan tidak berpuasa tanpa alasan yang disyariatkan bagi orang-orang yang beriman yaitu selama di Bulan Ramadhan.
Yang Kedua ialah berkenaan dengan waktu-waktu diharamkannya puasa yaitu pada tanggal 1 Syawal, 10 Dzulhijjah, dan Hari Tasyrik (11-13 Dzulhijjah).
Yang Ketiga ialah berkenaan dengan pelaksanaan wukuf di padang Arafah sebagai rukun ibadah haji yang teramat penting dan Hari berqurban.
Dalam menetukan kapan awal puasa Ramadhan, kapan 1 Syawal itu datang, dan kapan Wukuf di Padang Arafah itu dilaksanakan, tentu kita harus mengikuti Rasulullah SAW sebagai suri tauladan kita. Bukan mengikuti ormas-ormas tertentu, apalagi mengikuti partai-partai tertentu, maupun mengikuti beberapa orang tertentu.
Rasulullah SAW dalam berbagai riwayat tidak pernah memperhitungkan kapan datangnya Ramadhan maupun saat nya berbuka (Idul Fitri) jauh-jauh hari sebelum waktu itu datang sampai beliau melihatnya.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra., beliau berkata:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : ((إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْـدُرُوْا لَهُ)).
Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila kalian melihatnya, maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya, maka berbukalah. Jika penglihatan kalian terhalang (oleh awan), maka sempurnakanlah 30 hari.”
Ada beberapa yang berpendapat bahwa kata “melihatnya” bermakna melihat “melihat bulan” dalam artian “melihat tanggal” telah ditetapkannya, bukan bulan dalam artian sebenarnya. Namun, kita harus juga melihat hadist-hadist shahih yang lain karena sabda nabi begitu banyaknya sebagai keterangan kepada para sahabat dan umatnya. Maka dengan demikian akan ditemukan makna yang pasti dari hadist tersebut.
Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas ra beliau berkata :
جَاءَ أَعْراَبِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الهِلاَلَ. قَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : يَا بِلاَلُ, أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُوْمُوْا غَداً.
Artinya: Seorang Arab Badui datang kepada Nabi, kemudian berkata: “Sesungguhnya saya telah melihat hilal.” Nabi bertanya: “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah? Apakah anda bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia agar berpuasa besok”.
Dari Rib ’ I bin Hirasy dari salah seorang Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , dia berkata :
( اخْتِلَفَ النَّاسُ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ, فَقَدِمَ أَعْرَابِيَانِ فَشَهِدَا عِنْدَ النَّبِيِّ 3 بِاللهِ لأَهَلاَّ الهِلاَل أَمْسِ عَشِيَّةً, فَأَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ 3 النَّاسَ أَنْ يُّفْطِرُؤْا) رواه أحمد وأبو داود و زاد (وَأَنْ يَغْدُ وْا إِلَى مُصَلاَّهُمْ) رقم 2339.
“ Manusia berbeda pendapat tentang hari terakhir bulan Ramadhan. Kemudian dua orang Arab Badui maju dan bersaksi dengan bersumpah atas nama Allah dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa keduanya telah melihat hilal kemarin petang. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan manusia untuk berbuka ” . (HR Ahmad dan Abu Daud)
Dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khaththab, bahwa dia berkhuthbah di hari yang diragukan :
(أَلاَ إِنِّي جَالَسْتُ أَصْحَابَ رَسُوْلِ الله 3 وَسَاءَلْتُهُمْ, وَإِنَّهُمْ حَدَّثُوْنِي أَنَّ رَسُوْلَ الله 3 قَالَ : صُوْ مُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوْا لَهَا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوْا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مُسْلِمَانِ فَصُوْمُوْا وَأَفْطِرُوْا).
“ Ketahuilah bahwa saya telah bermajlis dengan para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bertanya kepada mereka. Sesungguhnya mereka menyampaikan kepada saya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kamu karena melihat hilal (bulan) dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang (oleh mendung) maka genapkanlah (istikmal) 30 hari.” (HR Ahmad dalam Musnad Al Kufiyin dan An-Nasa ’ I dalam Ash-Shiyam Bab قَبُوْلُ شَهَادَةِ الرَّجُلِ الوَاحِدِ عَلَى هِلاَلِ شَهْرِ رَمَضَانَ)
Dari Amir Makkah Al Harits bin Hathib, dia berkata :
(عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُوْلُ 3 أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَ بِشَهَادَتِهِمَا)
“ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengamanatkan kepada kami untuk berkurban karena melihat hilal. Jika kami tidak melihatnya sementara ada dua orang yang adil bersaksi melihatnya, maka kami berkurban karena persaksian keduanya ” . (HR Abu Daud dalam Ash-Shiyam no 2338 dan Ad-Daraquthni, dan dia berkata : “ Isnadnya bersambung ”).
Disinilah letak kejelasan yang disabdakan Rasulullah SAW, yaitu bulan yang dimaksud ialah hilal atau bulan dalam bentuk fisik, karena tidak mungkin orang terhalang “melihat tanggal” karena mendung atau awan.
Berdasarkan hadits tersebut ahlussunnah wal jamaah yang berketetapan mencontoh sunah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam hal penentuan awal bulan Hijriyah wajib menggunakan rukyatul hilal bil fi’li, yaitu dengan melihat bulan secara langsung. Hukum melakukan rukyatul hilal adalah fardlu kifayah dalam pengertian harus ada umat Islam yang melakukannya dan jika tidak ada sama sekali maka umat Islam seluruhnya berdosa.
Bila tertutup awan atau menurut Hisab, hilal masih di bawah ufuk, maka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari jika memang benar-benar tidak bisa dilihat sesuai sabda Rasulullah SAW. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah. Sementara itu, hisab juga tetap digunakan, namun hanya sebagai alat bantu dan bukan penentu awal bulan Hijriyah.
Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1)-Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada 2° dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°. Atau (2)-Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku. Ketentuan ini berdasarkan Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
Sebagian muslim di Indonesia lewat organisasi-organisasi tertentu yang mengambil jalan pintas merujuk kepada negara Arab Saudi atau terlihatnya hilal di negara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Cara ini dinamakan Rukyat Global. Penganut kriteria ini berdasarkan pada hadist yang menyatakan:
jika satu penduduk negeri melihat bulan, hendaklah mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin belum melihatnya.
Namun, beberapa ulama juga ada yang menyatakan bahwa Manusia pada zaman tersebut (zaman nabi dan para sahabat) berkomunikasi dengan alat komunikasi yang kuno. Sarana komunikasi seperti ini menjadikan penduduk setiap negeri terputus hubungan dengan negeri lainnya. Maka masing-masing negeri dengan rukyatnya untuk berpuasa dan berbuka.
Diantara buktinya adalah kisah Kuraib ketika tampak bulan kepadanya di Damaskus. Kemudian ketika sampai di Madinah pada akhir bulan, dia mengabarkan bahwa manusia melihat hilal pada malam jum’at. Maka Ibnu Abbas menjawab :
أَمَّا نَحْنُ فَقَدْ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ, فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتَّى نَرَاهُ أَوْ نُكْمِلَ العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ.
Artinya: “Sedangkan kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan terus berpuasa sampai kami melihatnya atau menyempurnakan bilangan 30 hari.”
Dengan hadits ini jelaslah bahwa rukyat tidak berlaku kepada mereka seluruhnya.
Beberapa Ulama berpendapat bahwa setiap negeri berbeda rukyatnya berdasarkan perbedaan tempat keluarnya hilal. Oleh sebab itu, apabila hilal terlihat penduduk timur bumi, kelazimannya akan berlaku bagi penduduk barat bumi.. Contohnya ialah ika hilal terlihat di Pakistan, maka negara-negara setelahnya yang waktu tenggelam mataharinya belakangan, diwajibkan berpegang dengan rukyat tersebut. Sebab jika matahari telah mendahului bulan di Pakistan, maka pasti lebih jauh matahari mendahului bulan pada negara-negara setelahnya.
Demikian pula jika hilal terlihat di Saudi Arabia misalnya, maka negara-negara setelahnya wajib berpuasa dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya.
Praktisnya sebagai contoh, jika hilal terlihat di Saudi Arabia, maka wajib bagi Sudan, Mesir dan setelahnya dari negara-negara di Afrika dan Eropa yang waktu tenggelamnya matahari belakangan setelah Saudi Arabia untuk berpuasa. Dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya seperti Pakistan, Afghanistan, Irak, dan semisalnya.
Namun, pada intinya rukyatul hilal yang hasilnya diumumkan dalam sidang Isybath seperti yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia merupakan suatu yang amat penting sebagai landasan umat dalam menentukan awal puasa maupun hari raya Idul Fitri. Perbedaan yang terjadi di masyarakat, terutama di Indonesia, janganlah dijadikan persoalan yang dibesar-besarkan yang malah akan menimbulkan perpecahan. Justru seharusnya kita jadikan perbedaan sebagai rahmah, karena manusia tidaklah sempurna seperti tuhannya. Wallahu ‘alam
Disarikan dari berbagai sumber termasuk kitab-kitab Hadist dan sumber-sumber lainnya
Posting Komentar