Masbuq adalah makmum yang tidak sempat menemukan waktu/masa guna menyempurnakan bacaan fatihah, baik terjadi pada rakaat pertama maupun rakaat setelahnya. Standar waktu/ masa di sini mengikuti bacaan umum (kebanyakan manusia), bukan bacaan imam maupun bacaan makmum sendiri. Sehingga secara konklusif, makmum yang mengikuti imam mulai dari pertama kali berdiri, namun tidak sanggup menyelesaikan bacaan fatihah sampai imam melaksanakan rukuk, bukan dinamakan sebagai masbuq. Begitu pula bukan dinamakan masbuq, jika makmum yang menemukan cukup waktu guna menyempurnakan bacaan fatihah, meskipun tidak mengikuti imam dari awal. Secara terbalik makmum yang tidak tergolong masbuq dalam istilah fiqh dinamakan sebagai muwafiq.
Dapat kita pahami bahwa istilah masbuq hanyalah terlaku dalam ritualitas jamaah. Sehingga aturan serta norma ibadah yang diberlakukan bagi masbuq tidak akan pernah lepas dari prinsip imamah dalam shalat. Beberapa aturan yang tercantum dalam makmum masbuq dapat kita pelajari lewat beberapa sub bahasan berikut ini.
Masbuq dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua klasifikasi :
Pertama, masbuq yang tidak menjumpai waktu berdiri dari imam. Seperti halnya makmum yang menjumpai imamnya dalam keadaan rukuk atau ketika makmum selesai melakukan takbiratul ihram, imam langsung melakukan rukuk. Dalam kategori masbuq semacam ini, hanya satu hal yang harus dilakukan, yakni mengikuti imam dalam rukuknya serta tidak diperbolehkan membaca fatihah.
Kedua, masbuq yang menjumpai waktu berdiri dari imam. Dalam hal ini terdapat beberapa permasalahan yaitu Ketika masbuq mulai melaksanakan salat, dalam arti mengikuti imam, maka baginya terlaku hukum sunah untuk langsung melaksanakan fardlu (fatihah). Sehingga ketika masbuq melakukan hal lain selain fardlu, semisal bacaan iftitah, ta'awudz, mendengarkan bacaan imam, atau bahkan diam, maka ketika bacaan fatihahnya tidak bisa sempurna di saat imam melakukan rukuk, ia wajib meneruskan bacaan fatihah sebagai ganti waktu yang telah ia salah gunakan. Dan disyaratkan durasi (lama waktu) fatihah yang ia baca haruslah sama dengan lamanya waktu yang disalah gunakan untuk hal-hal di atas. Bahkan menurut satu versi (lebih akurat), bukan hanya lamanya waktu yang harus sama, akan tetapi jumlah hurufnyapun harus diperkirakan sama. Sehingga ketika masbuq tidak mengganti waktu tersebut, kemudian secara sadar dan sengaja melakukan rukuk, maka shalatnya dianggap batal menurut pendapat yang paling kuat (al-Ashah). Berbeda jika hal tersebut dilatarbelakangi ketidak tahuan (jahl) atau mungkin kealpaan (Nisyan), maka dia hanya menerima resiko kewajiban mengganti satu rakaat setelah salam dari imam.
Sebenarnya secara transparan klasifikasi kedua dalam fenomena masbuq (masbuq yang menjumpai waktu berdiri dari imam) dapat diberikan penjelasan secara lengkap dengan membedakannya dalam tiga kejadian umum :
a. Ketika Masbuq Langsung Melaksanakan Fatihah
Dalam hal ini, ketika Imam melakukan rukuk sebelum selesainya masbuq dalam membaca fatihah, maka ada tiga pendapat mengenai prosedur apa yang harus dilakukannya.
Pertama, masbuq tidak boleh melanjutkan fatihah dan harus mengikuti imam dalam gerakan rukuknya. Sehingga konsekwensinya, ketika ia memilih untuk meneruskan fatihah, hingga sampai imam bangun dari rukuk, maka shalatnya dianggap batal.
Kedua, masbuq boleh melanjutkan fatihah, hanya saja hukumnya makruh serta menghilangkan perhitungan satu rakaat. Bahkan apabila imam telah melewati dua rukun fi'li, shalatnya dianggap batal, selama ia tidak melakukan niat mufaraqah (keluar shalat). Pendapat ini dinilai yang paling kuat (al-mu'tamad).
Ketiga, wajib meneruskan fatihah dan setelah selesai, dia diperbolehkan melanjutkan shalat dengan urutan rukun secara tertib. Sehingga hal itu tidak mengurangi penghitungan rakaat. Namun hal ini disertai catatan, imam belum melampauinya dengan tiga rukun panjang (thawilah, yakni selain i'tidal dan duduk di antara dua sujud).
b. Ketika Masbuq Tersibukkan Membaca Kesunatan Lain
Mengenai masbuq yang melakukan demikian, maka ia diwajibkan untuk meneruskan bacaan fatihahnya sebagai ganti lamanya waktu ketika ia membaca selain fatihah. Kemudian ketika bacaannya selesai, imam masih dalam keadaan rukuk, jelas rakaat yang dilakukannya terhitung. Namun sebaliknya, jika bacaannya baru bisa diselesaikan setelah imam mengangkat kepalanya dari rukuk, atau bahkan imam sudah terlampau jauh meninggalkannya dengan rukun-rukun lain, bagaimana sikap masbuk berikutnya, apakah dia diperbolehkan rukuk?. Menyikapi hal ini, ulama mengemukakan beberapa pendapat.
Pertama, diperbolehkan rukuk kemudian ia melaksanakan gerakan selanjutnya dengan secara tertib. Dalam hal ini disyaratkan, imam tidak mendahuluinya dengan tiga rukun panjang sebelum ia menyelesaikan fatihahnya. Namun ketika ia belum sempat menyelesaikan bacaan fatihah, imam telah sampai pada rukun panjang ke-empat, maka ia tidak diperbolehkan melanjutkan fatihah dan wajib mengikuti gerakan imam, meskipun gerakan itu bukan urutan gerakannya sendiri. Dan tentunya rakaat yang dilakukannya tidak dianggap dalam hitungan.
Kedua, menurut versi yang paling kuat, masbuq tidak diperkenankan rukuk. Akan tetapi ketika ia telah selesai dengan bacaannya, diwajibkan untuk langsung mengikuti gerakan yang sedang dilakukan imamnya. Sehingga rakaat yang dilakukannya tidak bisa dimasukkan dalam penghitungan.
Perbedaan di atas terjadi dari ulama yang memberikan ketentuan, wajib meneruskan bacaan fatihah dengan waktu yang sebanding dengan bacaan sunah yang sudah dilakukannya. Dan perlu kita ketahui bersama, beberapa ulama lebih lunak menyikapi hal ini. Dimana karena memandang kesunatan adalah merupakan perintah, maka ketika bacaan fatihahnya tidak sampai sempurna disebabkan kesunatan yang telah ia laksanakan, tidak wajib lagi baginya meneruskan fatihah. Bahkan seperti masbuq katagori pertama, ia diperbolehkan langsung mengikuti rukuk dari imam tanpa menyempurnakan fatihah. Karena fatihah masbuq semacam ini termasuk telah ditanggung oleh imam.
c. Ketika Masbuq Berdiam Diri Atau Melakukan Hal Lain Yang Bukan Anjuran
Untuk kategori ini, masbuq wajib mengganti waktu diamnya dengan bacaan fatihah dengan panjang waktu yang sama. Jika ia sempat menemukan rukuk dari imam maka rakaatnya terhitung, dan jika tidak maka rakaatnya tidak dihitung.
Sementara itu, Tanbih adalah usaha mengingatkan baik pada imam atau pada orang lain ketika shalat. Mengenai hukumnya terdapat berbagai macam perincian, tergantung munabbah bih (perkara yang diingatkan). Adakalanya wajib, seperti mengingatkan imam atas hal-hal yang akan mengakibatkan batalnya shalat, atau mungkin sunah, tentu atas sesuatu yang sunah, seperti mengingatkan imam ketika hendak meninggalkan tasyahud awal.
Aturan ini berkembang atas semua hal ataupun kejadian yang sering terjadi di sekitar kita. Sehingga perlu diterapkan aturan-aturan tertentu. Untuk media/alat mengingatkan imam pada asalnya terbatas ada dua yaitu dengan tasbih (subhanallah) atau bertepuk (tashfiq). Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
من نابه شيء فى صلاته فليسبح وانما التصفيق للنساء . متفق عليه
1. Tasbih
Konsep ini diperuntukkan untuk laki-laki ketika mengingatkan Imamnya yang lupa, yaitu dengan mengucapkan subhanallah. Namun yang perlu diperhatikan dalam konsep tanbih dengan tasbih adalah keharusan untuk tidak mengucapkannya semata-mata karena tujuan mengingatkan, akan tetapi harus dibarengi niat zdikir atau niat zdikir saja tanpa tujuan mengingatkan. Hal ini berbeda dengan tashfiq karena dalam pengucapan tasbih ada kepantasan diperuntukan untuk zdikir, sedangkan tashfiq adalah satu perbuatan yang tidak ada unsur kepantasan untuk zdikir sama sekali.
2. Tashfiq (bertepuk)
Ini untuk kaum perempuan dengan cara menepukkan batinnya telapak tangan kanan kepada dlohirnya telapak tangan yang kiri. Hal ini menurut pendapat yang dominan dikalangan fuqoha' tetap berlaku walaupun semua jamaah yang ada perempuan, walaupun menurut Imam al Zarkasi boleh untuk menggantinya dengan tasbih. Untuk metode tanbih dengan tashfiq tidak membatalkan shalat walaupun tujuannya langsung untuk mengingatkan Imam.
Referensi: Mahfudz At-Tarmasy "Turmusy" juz. III hal. 108; Al-Jurdani "Fath al-'Alam bi Syarh Mursid al-Anam" juz. II hal. 581; Sulaiman Bujairami Ala al Khotib Jilid. II, hlm. 78; al Bajuri Syarh Fath al Qorib jilid I, hlm. 260.
Dapat kita pahami bahwa istilah masbuq hanyalah terlaku dalam ritualitas jamaah. Sehingga aturan serta norma ibadah yang diberlakukan bagi masbuq tidak akan pernah lepas dari prinsip imamah dalam shalat. Beberapa aturan yang tercantum dalam makmum masbuq dapat kita pelajari lewat beberapa sub bahasan berikut ini.
Masbuq dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua klasifikasi :
Pertama, masbuq yang tidak menjumpai waktu berdiri dari imam. Seperti halnya makmum yang menjumpai imamnya dalam keadaan rukuk atau ketika makmum selesai melakukan takbiratul ihram, imam langsung melakukan rukuk. Dalam kategori masbuq semacam ini, hanya satu hal yang harus dilakukan, yakni mengikuti imam dalam rukuknya serta tidak diperbolehkan membaca fatihah.
Kedua, masbuq yang menjumpai waktu berdiri dari imam. Dalam hal ini terdapat beberapa permasalahan yaitu Ketika masbuq mulai melaksanakan salat, dalam arti mengikuti imam, maka baginya terlaku hukum sunah untuk langsung melaksanakan fardlu (fatihah). Sehingga ketika masbuq melakukan hal lain selain fardlu, semisal bacaan iftitah, ta'awudz, mendengarkan bacaan imam, atau bahkan diam, maka ketika bacaan fatihahnya tidak bisa sempurna di saat imam melakukan rukuk, ia wajib meneruskan bacaan fatihah sebagai ganti waktu yang telah ia salah gunakan. Dan disyaratkan durasi (lama waktu) fatihah yang ia baca haruslah sama dengan lamanya waktu yang disalah gunakan untuk hal-hal di atas. Bahkan menurut satu versi (lebih akurat), bukan hanya lamanya waktu yang harus sama, akan tetapi jumlah hurufnyapun harus diperkirakan sama. Sehingga ketika masbuq tidak mengganti waktu tersebut, kemudian secara sadar dan sengaja melakukan rukuk, maka shalatnya dianggap batal menurut pendapat yang paling kuat (al-Ashah). Berbeda jika hal tersebut dilatarbelakangi ketidak tahuan (jahl) atau mungkin kealpaan (Nisyan), maka dia hanya menerima resiko kewajiban mengganti satu rakaat setelah salam dari imam.
Sebenarnya secara transparan klasifikasi kedua dalam fenomena masbuq (masbuq yang menjumpai waktu berdiri dari imam) dapat diberikan penjelasan secara lengkap dengan membedakannya dalam tiga kejadian umum :
a. Ketika Masbuq Langsung Melaksanakan Fatihah
Dalam hal ini, ketika Imam melakukan rukuk sebelum selesainya masbuq dalam membaca fatihah, maka ada tiga pendapat mengenai prosedur apa yang harus dilakukannya.
Pertama, masbuq tidak boleh melanjutkan fatihah dan harus mengikuti imam dalam gerakan rukuknya. Sehingga konsekwensinya, ketika ia memilih untuk meneruskan fatihah, hingga sampai imam bangun dari rukuk, maka shalatnya dianggap batal.
Kedua, masbuq boleh melanjutkan fatihah, hanya saja hukumnya makruh serta menghilangkan perhitungan satu rakaat. Bahkan apabila imam telah melewati dua rukun fi'li, shalatnya dianggap batal, selama ia tidak melakukan niat mufaraqah (keluar shalat). Pendapat ini dinilai yang paling kuat (al-mu'tamad).
Ketiga, wajib meneruskan fatihah dan setelah selesai, dia diperbolehkan melanjutkan shalat dengan urutan rukun secara tertib. Sehingga hal itu tidak mengurangi penghitungan rakaat. Namun hal ini disertai catatan, imam belum melampauinya dengan tiga rukun panjang (thawilah, yakni selain i'tidal dan duduk di antara dua sujud).
b. Ketika Masbuq Tersibukkan Membaca Kesunatan Lain
Mengenai masbuq yang melakukan demikian, maka ia diwajibkan untuk meneruskan bacaan fatihahnya sebagai ganti lamanya waktu ketika ia membaca selain fatihah. Kemudian ketika bacaannya selesai, imam masih dalam keadaan rukuk, jelas rakaat yang dilakukannya terhitung. Namun sebaliknya, jika bacaannya baru bisa diselesaikan setelah imam mengangkat kepalanya dari rukuk, atau bahkan imam sudah terlampau jauh meninggalkannya dengan rukun-rukun lain, bagaimana sikap masbuk berikutnya, apakah dia diperbolehkan rukuk?. Menyikapi hal ini, ulama mengemukakan beberapa pendapat.
Pertama, diperbolehkan rukuk kemudian ia melaksanakan gerakan selanjutnya dengan secara tertib. Dalam hal ini disyaratkan, imam tidak mendahuluinya dengan tiga rukun panjang sebelum ia menyelesaikan fatihahnya. Namun ketika ia belum sempat menyelesaikan bacaan fatihah, imam telah sampai pada rukun panjang ke-empat, maka ia tidak diperbolehkan melanjutkan fatihah dan wajib mengikuti gerakan imam, meskipun gerakan itu bukan urutan gerakannya sendiri. Dan tentunya rakaat yang dilakukannya tidak dianggap dalam hitungan.
Kedua, menurut versi yang paling kuat, masbuq tidak diperkenankan rukuk. Akan tetapi ketika ia telah selesai dengan bacaannya, diwajibkan untuk langsung mengikuti gerakan yang sedang dilakukan imamnya. Sehingga rakaat yang dilakukannya tidak bisa dimasukkan dalam penghitungan.
Perbedaan di atas terjadi dari ulama yang memberikan ketentuan, wajib meneruskan bacaan fatihah dengan waktu yang sebanding dengan bacaan sunah yang sudah dilakukannya. Dan perlu kita ketahui bersama, beberapa ulama lebih lunak menyikapi hal ini. Dimana karena memandang kesunatan adalah merupakan perintah, maka ketika bacaan fatihahnya tidak sampai sempurna disebabkan kesunatan yang telah ia laksanakan, tidak wajib lagi baginya meneruskan fatihah. Bahkan seperti masbuq katagori pertama, ia diperbolehkan langsung mengikuti rukuk dari imam tanpa menyempurnakan fatihah. Karena fatihah masbuq semacam ini termasuk telah ditanggung oleh imam.
c. Ketika Masbuq Berdiam Diri Atau Melakukan Hal Lain Yang Bukan Anjuran
Untuk kategori ini, masbuq wajib mengganti waktu diamnya dengan bacaan fatihah dengan panjang waktu yang sama. Jika ia sempat menemukan rukuk dari imam maka rakaatnya terhitung, dan jika tidak maka rakaatnya tidak dihitung.
Sementara itu, Tanbih adalah usaha mengingatkan baik pada imam atau pada orang lain ketika shalat. Mengenai hukumnya terdapat berbagai macam perincian, tergantung munabbah bih (perkara yang diingatkan). Adakalanya wajib, seperti mengingatkan imam atas hal-hal yang akan mengakibatkan batalnya shalat, atau mungkin sunah, tentu atas sesuatu yang sunah, seperti mengingatkan imam ketika hendak meninggalkan tasyahud awal.
Aturan ini berkembang atas semua hal ataupun kejadian yang sering terjadi di sekitar kita. Sehingga perlu diterapkan aturan-aturan tertentu. Untuk media/alat mengingatkan imam pada asalnya terbatas ada dua yaitu dengan tasbih (subhanallah) atau bertepuk (tashfiq). Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
من نابه شيء فى صلاته فليسبح وانما التصفيق للنساء . متفق عليه
1. Tasbih
Konsep ini diperuntukkan untuk laki-laki ketika mengingatkan Imamnya yang lupa, yaitu dengan mengucapkan subhanallah. Namun yang perlu diperhatikan dalam konsep tanbih dengan tasbih adalah keharusan untuk tidak mengucapkannya semata-mata karena tujuan mengingatkan, akan tetapi harus dibarengi niat zdikir atau niat zdikir saja tanpa tujuan mengingatkan. Hal ini berbeda dengan tashfiq karena dalam pengucapan tasbih ada kepantasan diperuntukan untuk zdikir, sedangkan tashfiq adalah satu perbuatan yang tidak ada unsur kepantasan untuk zdikir sama sekali.
2. Tashfiq (bertepuk)
Ini untuk kaum perempuan dengan cara menepukkan batinnya telapak tangan kanan kepada dlohirnya telapak tangan yang kiri. Hal ini menurut pendapat yang dominan dikalangan fuqoha' tetap berlaku walaupun semua jamaah yang ada perempuan, walaupun menurut Imam al Zarkasi boleh untuk menggantinya dengan tasbih. Untuk metode tanbih dengan tashfiq tidak membatalkan shalat walaupun tujuannya langsung untuk mengingatkan Imam.
Referensi: Mahfudz At-Tarmasy "Turmusy" juz. III hal. 108; Al-Jurdani "Fath al-'Alam bi Syarh Mursid al-Anam" juz. II hal. 581; Sulaiman Bujairami Ala al Khotib Jilid. II, hlm. 78; al Bajuri Syarh Fath al Qorib jilid I, hlm. 260.
Posting Komentar