Sahabat Rasul yang satu ini termasuk salah seorang tokoh Anshor. Perihal Kaum Anshor, Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah menyatakan: "Jika saja Kaum Anshor itu menempuh perjalanan menaiki bukit dan menuruni lembah, niscaya aku akan menempuh jalan yang ditempuh Kaum Anshor tersebut Andaikata saja tidak hijrah, niscaya aku termasuk dari kaum anshor". 'Ubadah termasuk salah seorang yang pertama dari Kaum Anshor dari 12 orang yang pertama berbai'at kepada Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam yang masuk Islam pada "Bai'atul'Aqabah Pertama". Dan beliau pula pada musim haji tahun berikutnya yang memimpin 70 orang Kaum Anshor untuk melakukan Bai'at 'Aqobah Kedua".
Beliau termasuk sahabat seperti halnya para sahabat Rasul lainnya yang tidak pernah absen berjihad bersama Rasul Shallahu 'Alaihi Wa Sallam. Seluruh hidupnya benar-benar dinisbatkan hanya untuk Allah Subhana Wa Ta'ala. Dia dikenal seorang yang sangat luar biasa taat beribadah kepada Allah, yang paling menonjol dari karakter beliau adalah kecintaannya kepada Allah melebihi kecintaan beliau kepada dunia dengan segala isinya, sebagai wujud dan ciri orang yang beriman, "Alladziina aamanuu asyaddu hubbal lillaah" (Orang yang beriman cintanya kepada Allah sangat kuat) (QS. Al Baqarah,2:165). Ayat ini mengisyaratkan bahwa Islam sangat tidak melarang ummatnya untuk mencintai dunia dengan segala isinya, sepanjang cinta kepada dunia tidak mengalahkan cinta kepada Allah.
Sayangnya, tidak sedikit di antara saudara-saudara kita yang tega menggadaikan iman, keyakinan, dan keselamatan dirinya di Yaumil Akhir hanya karena "Hubud dunya" (Cinta kepada dunia), Sebenarnya Allah Subhana Wa Ta'ala telah cukup memberi contoh kepada kita tentang Adam dan Hawa, manusia yang tidak mungkin kita ragukan keimanannya karena beliau berdialog langsung dengan Allah Subhana Wa Ta'ala. Tapi, kenapa akhirnya keduanya terpeleset melanggar aturan Allah? Tidak lain, karena iblis berhasil mengetahui titik lemah manusia yakni kecenderungannya mencintai dunia. Karenanya, dibisikkanlah kepada Adam dan Hawa untuk memakan buah "Khuldi" bila ingin kekal berkuasa dan berlimpah ruah kekayaan (QS. Thaahaa,20:120-121). Kala itu lemahlah keimanan keduanya karena mengikuti bisikan iblis tersebut.
Sengaja Allah Subhana Wa Ta'ala mengabadikan peristiwa tersebut di dalam Al Qur'an untuk menjadi pelajaran bagi kita anak cucu Adam, bahwa akan banyak manusia menggadaikan keimanan dan akidahnya hanya karena mengharapkan kebahagiaan dunia. Sehingga jangan kaget kita jika melihat ada orang yang taat beribadah kepada Allah dalam hal shalat, zakat, shaum dan haji, tapi jika sudah mulai berurusan dengan harta, dia sudah tidak taat lagi dengan syariat Allah malah mencari lagi aturan lain untuk bisa memperoleh harta sebanyak-banyaknya. Dia sudah tidak peduli dengan ancaman bara api neraka jahannam yang memenuhi perutnya akibat memakan harta secara zalim (QS. An Nisaa, 4:10). Padahal, pembagian harta sudah sangat jelas secara rinci telah diatur oleh Allah (QS. An Nisaa, 4:11-12).
Sejak Rasul hijrah ke Madinah, semula orang-orang Yahudi yang mengikat perjanjian menunjukkan sikap yang seakan-akan simpati kepada perjuangan Rasul dan umat Islam, tetapi seiring dengan perjalanan waktu semakin tampaklah belang mereka bahkan salah satu kabilah Yahudi yaitu Bani Qainuqa' mulai menyebarkan fitnah dan melakukan banyak kekacauan di kalangan ummat muslim. Menyikapi kondisi yang terjadi sangat mengkhawatirkan kehidupan ummat Muslim, maka 'Ubadah pun akhirnya membatalkan perjanjian tersebut dengan menyatakan : "Sesungguhnya saya hanya akan mengikuti Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman dan saya tidak akan pernah taat terhadap aturan apa pun yang bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya". Sikap 'Ubadah inilah menurut kebanyakan ahli tafsir menjadi "Asbabun nuzul" (sebab turunnya) ayat 56 QS. Al Maa-idah: "Wa mayyatawallaallaaha wa rasuulahuu wal ladziina aamanuu fa inna hizballaahi humul ghalibuun" (Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman menjadi pemimpin, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah mereka orang-orang yang menang). Ayat ini mengisyaratkan, jika kita mengharapkan sebuah kemenangan dalam menghadapi perjuangan dalam hidup ini maka kita harus tunduk, patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikian sikap 'Ubadah bin Shamit, sejak beliau melihat orang-orang Yahudi sudah melakukan suatu tindakan yang menurutnya sudah mengancam kehidupan ummat Islam maka beliau merasa memiliki hak untuk membatalkan perjanjian tersebut. Beliau berprinsip, tidak akan pernah mengorbankan Allah untuk kepentingan manusia, siapa pun manusia tersebut. Sikap tegas terhadap orang-orang kafir telah Allah peringatkan dalam firman-Nya: "Muhammad adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang ada besertanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan sayang menyayangi di antara sesamanya" (QS. Al Fat-h, 48:29). Dalam firman-Nya pula: "Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka" (At Taubah, 9:73).
Pada suatu hari di hadapan para sahabat, Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam menjelaskan tanggung jawab seorang pemimpin dan nasib orang-orang yang melalaikan kewajiban di antara mereka atau memperkaya diri dengan harta. Setelah mendengar perjelasan Rasul tersebut, 'Ubadah bin Shamit pun bersumpah : "Demi Allah, saya tidak akan pernah mau menjadi seorang pemimpin kendati hanya memimpin dua orang sekalipun". Sikap ini menunjukkan beliau menyadari sepenuhnya betapa beratnya amanah yang terpikul pada pundak seorang pemimpin. Kendati orang lain melihat dirinya mampu memikul amanah tersebut, terbukti ketika Amirul Mukmin Umar bin Khatthab sebagai Khalifah memerintahkan 'ubadah untuk menerima jabatan maka ditolaknya, dan beliau memilih untuk mengajar dan berdakwah.
Pergilah 'Ubadah bersama sahabat Rasul lainnya yakni, Mu'adz bin Jabal dan Abu Darda ke Syria untuk berdakwah. Alhamdulillah, tiga serangkai sahabat Rasul yang mulia ini akhirnya berhasil menyebarkan risalah Islam, sehingga membuat penduduk Syria telah benar-benar memahami cahaya yang datang dari Allah Subhana Wa Ta'ala. Lalu 'Ubadah pun pergi ke Palestina yang pada waktu itu diamanahkan oleh Umar bin Khatthab kepada Muawiyyah sebagai pemimpinnya. Saat itu pula 'Ubadah melihat perbedaan yang sangat mencolok antara dua sosok pemimpin, ibarat air dan api, antara Umar dan Muawiyyah yang sudah nampak kelihatan dari gaya hidupnya yang sangat ambisi jabatan dan mencintai dunia. Melihat situasi dan kondisi yang demikian, beliau tidak bisa menyembunyikan perasaan dan tidak bisa juga berdiam diri melihat kebijakan yang dijalankan Muawiyyah yang sudah beliau anggap menyimpang dari prinsip Islam. Sebaliknya, di lain pihak Muawiyyah pun tidak bisa menerima sikap 'Ubadah tersebut. Sehingga keduanya pun bersitegang berujung dengan pernyataan 'Ubadah: "Kami berbai'at kepada Rasul Shallahu 'Alaihi Wa Salla dengan berjanji bahwa kami tidak akan pernah takut dengan ancaman siapa pun dalam berbuat taat kepada Allah Subhana Wa Ta'ala ". Sikap 'Ubadah ini dimaksudkan untuk mengingatkan Muawiyyah, "Bahwa jangan pernah kalian mengira bahwa dirinya akan takut dengan ancaman selama dirinya yakin apa yang diperbuatnya benar menurut Allah Subhana Wa Ta'ala". Sikap 'Ubadah selaras dengan firman Allah Subhana Wa Ta'ala : "Hanya sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu"(QS. Faathir, 35:28).
Dan ketika perbedaan di antara keduanya semakin meruncing, maka 'Ubadah berkata kepada Muawiyyah: "Demi Allah, saya tidak akan pernah tinggal bersamamu di bumi yang kamu kuasai setapak pun". Maka beliau pun meninggalkan Palestina dan kembali ke Madinah yang waktu itu menjadi ibu kota pemerintah Khalifah Umar bin Khatthab. Mendengar apa yang terjadi antara 'Ubadah dengan Muawiyyah, dan setelah Umar mendengar kisah yang terjadi langsung dari 'Ubadah, maka Umar pun mengatakan: "Kembali kepada posisimu di Palestina, wahai 'Ubadah! Sungguh amat jelek dan rusak sebuah bumi yang dikuasai jika tidak ada orang seperti kamu". Umar perlu merasa khawatir jika orang seperti Muawiyyah tidak didampingi oleh seorang yang sangat luar biasa keimanannya. Lalu Umar pun mengirim surat kepada Muawiyyah di mana di antaranya beliau mengatakan: "Tidak ada sedikit pun kekuasaan untuk menguasai 'Ubadah". Artinya, dia tidak boleh sama sekali menekan 'Ubadah dalam kebijakan-kebijakannya karena Umar yakin 'Ubadah tidak akan pernah mengeluarkan kebijakan kecuali berdasar pada aturan Allah dan Rasul-Nya.
Demikian kisah seorang tokoh bernama 'Ubadah, seorang yang teguh hidup di jalan Allah, yang tidak pernah memandang dunia sebagai tujuan hidup, dia seorang yang benar-benar hanya mengharapkan kebahagian yang hakiki dan abadi di akhirat nanti dalam ridha-nya. Akhirnya tokoh yang mulia ini wafat pada tahun 34 Hijriyah di Ramla Palestina dengan meninggalkan pelajaran yang sangat berharga untuk kita sebagai ummat Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam . Betapa kecilnya arti dunia di mata para sahabat, mereka tidak pernah terperangkap untuk menjadikan dunia sebagai tujuan, mereka tetap istiqomah untuk menjadikan ridha Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup.
K.H. Athian Ali M. Da'i, MA
Posting Komentar