Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Pandangan Islam Tentang Kerjasama

Pandangan Islam Tentang Kerjasama

Baik dalam masalah-masalah spiritual, urusan-urusan ekonomik atau kegiatan sosial, Nabi Muhammad SAW, menekankan kerjasama diantara umat Muslim sebagai landasan masyarakat Islam dan merupakan inti penampilannya.

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan). Memang, kerjasama adalah tema umum dalam organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT. Jadi Islam mengajarkan kepada para pemeluknya agar memperhatikan bahwa perbuatan baik (‘amal sâlih) bagi masyarakat merupakan ibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk berbuat sebaik-baiknya demi kebaikan orang lain. Ajaran ini bisa ditemukan di semua bagian Al-Qur’an dan ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri. 

Prinsip persaudaraan (ukhuwwah) sering sekali ditekankan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, sehingga karena itu banyak sahabat menganggap harta pribadi mereka sebagai hak milik bersama dengan saudara-saudara mereka dalam Islam. Kesadaran dan rasa belas kasihan kepada sanak keluarga dalam keluarga besar juga merupakan contoh orientasi sosial Islam yang lain, karena berbuat baik (ber’amal salih) kepada sanak keluarga semacam itu tidak hanya dihimbau tetapi juga diwajibkan dan diatur oleh hukum (Islam). Kerukunan hidup dengan tetangga sangat sering ditekankan baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah; di sini kita juga melihat penampilan kepedulian sosial lain yang ditanamkan oleh Islam. Dan akhirnya, kesadaran, kepedulian dan kesiapan untuk melayani dan berkorban di saat diperlukan demi kebaikan masyarakat keseluruhan amat sangat ditekankan. Ajaran-ajaran Islam pada umumnya dan terutama ayat-ayat Al-Qur’an berulang-ulang menekankan nilai kerjasama dan kerja kolektif. 

Kerjasama dengan tujuan beramal saleh adalah perintah Allah yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Baik dalam masalah-masalah spiritual, urusan-urusan ekonomik atau kegiatan sosial, Nabi SAW menekankan kerjasama diantara umat Muslim sebagai landasan masyarakat Islam dan merupakan inti penampilannya. Beliau mengatakan: Kamu melihat orang-orang mukmin, dalam kaitannya dengan rasa cinta timbal-balik diantara mereka, rasa syukur dan keinginan-keinginannya, merupakan satu tubuh, sehingga bila salah satu bagian dalam keadaan sakit, seluruh tubuh akan jatuh sakit merasakan payah dan demam.

Kadang-kadang kerjasama memerlukan pendistribusian kembali penghasilan dan kekayaan; Nabi menghimbau pendistribusian kembali semacam itu dengan memuji Al-Asy’ariyyîn, sambil bersabda: BiIa Al-Asy’ariyyîn mengalami kekurangan pangan di kala pergi berperang atau bila mereka berada di kota dan persediaan pangan mereka menipis, mereka mengumpulkan semua milik mereka di satu tempat dan membaginya dalam jumlah yang sama diantara mereka sendiri. Mereka adalah (kelompok) milik saya sendiri dan saya pun milik mereka.

Dalam rangka memperkuat orientasi sosial umat Muslim, Islam memperkenalkan konsep kewajiban-kewajiban kolektif yang membawa tanggung jawab individual. Dalam Fiqh Islam konsep ini disebut Fardu Kifâyah. Konsep tersebut menekankan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan menuntut upaya individual untuk memenuhinya, karena hal itu menuntut setiap individu untuk bertanggung jawab selama kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi. Fardu Kifâyah mempunyai pengertian bahwa dalam kaitannya dengan bidang-bidang usaha atau ilmu pengetahuan yang penting bagi kesejahteraan umat Muslim, sudah cukup bila bidang-bidang tersebut dilaksanakan oleh beberapa orang anggota umat itu; tetapi hingga tugas itu benar-benar dilaksanakan oleh orang-orang tertentu itu semua orang dalam komunitas yang bersangkutan secara individual bertanggung jawab kepada dan bisa dituntut oleh Allah SWT. 

Sebagai konsekuensinya, M.N. Siddîqî mengingkari koordinasi kegiatan-kegiatan ekonomik yang dilakukan secara tidak sadar oleh suatu “konsistensi keputusan-keputusan individual yang diambil secara otomatik” dan oleh “tangan tersembunyi untuk melakukan kegiatan membabi buta secara terpadu untuk memproduksi hasil-hasil yang ideal.” Dia menyatakan: Islam tidak menampilkan filsafat semacam itu. Ia menuntut upaya-upaya sadar untuk meraih tujuan-tujuan yang diinginkan, di mana perlu dengan meramalkan kondisi persoalan-persoalan yang secara otomatik muncul. Ia menuntut pendistribusian kembali kekayaan dan menuntut pembentukan lembaga-lembaga tetap untuk melakukan pendistribusian kembali itu. Ia tidak pernah menganggap setiap bentuk perdagangan, kontrak-kontrak dagang, pemanfaatan tanah dan usaha-usaha produktif sebagai hal-hal yang sah hanya karena secara otomatik terujud dan “wajar”. Bahkan ia menuntut pengawasan secara cermat terhadap setiap kegiatan, dengan mengesampingkan semua bentuk yang bertentangan dengan kepentingan sosial dan membawa akibat-akibat yang tidak diinginkan.



M Syafi’i
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger