Sanad atau Isnad terbagi menjadi dua :
1. Sanad Periwayatan
Keberadaan sanad periwayatan ini berfungsi memfiltter pemalsuan Hadits yang dinisbatkan pada Rasul SAW, sebagaimana telah diperingatkan beliau dalam sebuah haditsnya :
من يقل علي مالم اقل فليتبواء مقعده من النار
“ Siapa saja yang mengatakan suatu perkataan dan menisbatkannya padaku sesuatu yang tidak pernah aku katakana, maka hendaklah ia duduk di neraka “ ( HR. Bukhari)
Para ulama sangat berhati-hati dalam meriwayatkan dan menisbatkan suatu hadits pada Rasulullah SAW. Mereka akan meneliti terlebih dahulu para rawi se atasnya, apakah sanad mereka tersambungkan kepada Rasul SAW atau tidak. Sehingga kemudian muncul istilah Hadits dha’if, hasan dan hadits shahih, serta semisalnya yang terdapat dalam disiplin ilmu Musthalahah al-Hadits.
Dalam periwayatan hadits ini diketahui bahwa para perawi meriwayatkannya dari Rasulullah SAW. Lalu perawi di bawahnya mengambil hadits tersebut darinya, dan begitu seterusnya sampai hadits itu sampai pada imam Bukhari semisal. Kemudian beliau mengumulkan hadits-hadits yang diterima dari rawi se atasnya dalam sebuah kitab yang pada akhirnya kitab imam Bukhari tersebut sampai pada kita.
2. Sanad keilmuan
Para ulama di antaranya imam Malik bin Anas, Ibnu Sirin dan selain keduanya :
إن هذا العلم دين ، فانظروا عمن تأخذوا دينكم
“ Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamau / ilmumu “.
Ibnu Arabi berkata :
فما زال السلف يزكون بعضهم بعضا و يتوارثون التزكيات خلفا عن سلف ، و كان علماؤنا لا يأخذون العلم إلا ممن زكي وأخذ الإجازة منأشياخه
“ Para ulama salaf selalu memuji satu sama lainnya, dan terus terwariskan dari generasi ke generasi, dan demikian para ulama kita, tidak mengambil ilmu terkecuali dari orang yang bersih dan mengambil ijazah dari para gurunya “.
Syaikh Abdul Qodir al-Jazairi berkata “ Seseorang tidak dibenarkan menisbatkan keterangan yang ada di dalam sebuah kitab pada pengarangnya tanpa mempunyai sanad “.
Para ulama menjadikan keberadaan sanad sebagai syarat seseorang bisa mengamalkan keterangan atau pendapat yang terdapat dalam berbagai kitab dan menggunakannya sebagai hujjah. Karena sanad keilmuan atau periwayatan kitab tidak ubahnya seperti periwayatan hadits.
Munculnya banyak paham-paham menyimpang dan sesat, kebanyakan ditimbulkan karena tidak memperhatikannya masalah sanad ini. Sehingga kadang kita ketahui, ada seseorang yang belajar dari sebuah buku terjemahan saja atau mungkin dari sebuah situs di internet yang tidak jelas, kemudian orang tersebut memamahaminya dengan pemikirannya yang tidak sesuai dengan maksud sebenarnya atau kadang slah paham dengan maknanya. Maka jadilah pemahamnnya tersbut telah menyesatkan dirinya dan bahkan orang lain.
Maka sebagaimana telah menjadi keharusan dalam periwayatan hadits sebagai bukti keautentikannya dan telh menjadi sunnah sahabat, tabi’in serta salaf shalih, ia menjadi keharusan pula bagi orang yang meriwayatkan keterangan para ulama dari kitab-kitab mereka.
Untuk mendapatkan sanad keilmuan atau periwayatan kitab, sebagaimana dalam periwayatan hadits terdapat metode antara lain :
Pertama : Sima’, yaitu mendengarkan bacaan guru atas kitab yang diriwayatkan.
Kedua : Qiraah, yaitu membaca kitab tersebut dan didengarkan langsung oleh seseorang guru.
Kedua metode ini disebut dengan metode Talaqqi.
Ketiga : Ijazah, yaitu idzin seseorang guru untuk meriwayatkan kitab tersebut.
Generasi muslim periode awal merupakan generasi yang sangat memperhatikan masalah periwayatan. Perhatian mereka dalam masalah ini begitu besar baik periwayatan al-Quran dan metode bacaannya, periwayatan hadits, fiqih, nahwu maupun berbagai disiplin ilmu lainnya. Hal ini tampak jelas dalam kitab karangan mereka.
Ust. Ibnu Abdillah Alkatiby
Posting Komentar