“Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa yang merebutnya dariku, maka Aku akan menghancurkannya” (Hadits Qudsi).
Sombong memang sudah menjadi naluri manusia. Sifat sombong ini timbul karena manusia mempunyai nafsu Robbaniyah. Yaitu nafsu yang selalu ingin menang sendiri, angkuh, pemaksa, sombong, dll. Namun demikian bukan berarti hal tersebut dijadikan sebagai justifikasi dan legalisasi diri untuk melakukan tindakan bodoh itu. Hal tersebut tidaklah lebih dari sekedar sebagai ujian baginya, mampukah dia mengendalikan atau bahkan terjebak di dalam kubangannya. Karena kesombongan adalah sifat ke-Tuhan-an, seseorang yang nekat memakainya maka secara tidak langsung dia telah menantang Tuhan. Dan Tuhan akan menghacurkannya. Sebaliknya seorang hamba yang sudah ditakdirkan oleh Allah sebagai orang yang baik maka ia akan dapat mengontrol nafsunya tersebut ketika bergolak.
Tidak sedikit ayat dan hadits yang menjelaskan tentang jeleknya perilaku sombong. Bahkan Rosululloh dengan tegas mengancam orang yang di dalam hatinya terdapat perasaan sombong meskipun hanya secuil biji sawi bahwa dia akan masuk neraka. Bukan hanya nabi Muhammad saja yang mewanti-wanti umatnya untuk tidak sombong. Nabi Nuh As. ketika ajal akan datang menjemput, beliau memanggil kedua putranya dan berwasiat agar sepeninggalnya nanti mereka tidak berlaku sombong.
Senada dengan nabi Nuh adalah nabi Isa As. Bahkan bagi beliau neraka kelak itu hanya akan banyak dihuni oleh orang-orang sombong. Dan pada hari kiamat kelak mereka akan dirupakan sebagaimana debu-debu kecil yang diinjak-injak manusia sambil diseret-seret menuju penjara di dalam neraka. Untuk mereka Allah secara khusus telah mempersiapkan sebuah jurang di dalam neraka Jahannam dengan sebutan Habhab.
Bukan hanya orang awwam saja yang bisa terkena penyakit ini. Namun orang-orang yang sudah mencapai derajat tinggi dalam ibadah, kezuhudan, dan kealiman masih sangat sulit terhindar darinya. Apalagi orang-orang yang tidak mengerti apa-apa. Menurut Imam Muhammad bin Husain bin Ali orang yang berlaku sombong itu berarti telah kehilangan akalnya sebesar kesombongan yang telah ia lakukan. Jadi wajar jika mereka tidak akan pernah bisa berfikir waras dan tak akan memperdulikan dampak dari perbuatan yang ia lakukan. Iblis juga tidak akan pernah berfikir bahwa akibat dari kesombongannya tidak mau tunduk perintah Allah untuk sujud kepada nabi Adam adalah dideportasi dan diusir dari surga selama-lamanya. Dia tidak mengerti bahwa argumentasinya sebagai makhluq yang lebih baik dari nabi Adam karena dirinya terbuat dari api sedang adam dari tanah liat itu tidaklah bisa dijadikan sebagai alibi untuk menentang wahyu dan perintah Allah.
Hakekat takabbur adalah kecenderungan pribadi jiwa yang selalu merasa lebih baik dari pada orang lain. Maka seorang yang merasa dirinya hebat namun dia juga merasa bahwa masih ada orang lain yang sepadan atau lebih hebat dari dirinya maka ia tidak bisa dianggap sebagai orang sombong. Atau menganggap orang lain sebagai orang yang hina namun dia juga merasa bahwa dirinya masih lebih hina dari mereka maka dia juga tidak bisa disebut mutakabbir.
Akan tetapi, meskipun itu semua tidak dianggap sebagai takabbur, bukan berarti hal tersebut diperkenankan. Karena bagaimanapun juga punya perasaan bahwa dirinya punya kelebihan atas yang lain adalah merupakan cikal bakal dari pertumbuhan sifat takabbur. Rosululloh sendiri sangat khawatir mengalami hal yang demikian. Sehingga beliau berdoa: “Allahumma inni a’udzu bika min nafkhotil kibriya’”. (Yaa Allah aku berlindung kepada-Mu dari tiupan kesombongan). Karena ketika seseorang memiliki pandangan yang demikian maka ia akan merasa besar, terbang melayang, dan merasa punya kelebihan dan keagungan.
Orang yang sudah terjangkiti sifat sombong maka ia akan menganggap bahwa orang lain lebih hina dari dirinya. Sehingga ia tidak akan mau melayani kebutuhan mereka. Tetapi sebaliknya merekalah yang harus melayani dirinya. Ketika ada pertemuan maka dirinya akan selalu menempati tempat kehormatan, ketika saling bertemu tidak mau memulai berucap salam, ketika diberi tahu maka dia akan menolak, ketika memberitahu dia akan berkata keras dan kasar, ketika nasehatnya tidak diterima maka dia akan marah, ketika mengajar mereka tidak mau bersikap lemah lembut kepada santrinya, bahkan mereka akan diperbudak olehnya. Tragisnya lagi di mata dia semua manusia itu ibarat keledai dungu yang tidak mengerti apa-apa.
Berikut ini adalah macam-macam sombong:
1. Sombong kepada Allah. Pemicunya adalah murni kebodohan dan ketololan akan siapa diri sendiri. Sebagaimana yang dilakukan oleh raja Namrudz dan raja Fir’aun yang mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Bahkan menantang akan berperang dengan Allah. Ketika mereka disuruh untuk menyembah Allah Ar Rohman, mereka malah bertanya sambil mengejek: “Apa Allah Ar Rohman itu? Haruskah kami menyembah kepada apa yang kamu perintahkan?”.
2. Sombong kepada Utusan Allah. Pemicunya biasanya bermula dari tipuan akal pikiran. Sehingga meskipun dirinya merasa sebagai orang pandai namun hakekatnya dia masihlah bodoh. Atau sebenarnya memang dirinya adalah bodoh akan tetapi tidak mau tahu akan kebodohannya. Sehingga mereka tidak akan pernah mau patuh dan tunduk terhadap perintah Rosul. Sebagaimana yang pernah terjadi pada orang Bani Isro’il ketika mereka diperintah supaya beriman dua utusan yang dikirimkan oleh Allah. Mereka bilang: “Akankah kami beriman kepada dua orang manusia yang seperti kami juga?”. Dan mereka beranggapan kalau para utusan itu manusia biasa seperti halnya mereka dan pengikut-pengikut mereka adalah orang-orang yang tolol. Orang yang sombong tidak akan pernah mau menerima kebenaran dan tidak mau disalahkan. Seperti halnya orang-orang Quraisy yang tidak pernah mau mengakui kebenaran nabi Muhammad. Karena mereka merasa lebih baik dari pada nabi Muhammad. Sehingga merasa gengsi jika harus tunduk kepada beliau.
3. Sombong kepada makhluq. Yaitu merasa lebih baik dari mereka. Sehingga dirinya tidak akan mau kalau dipersamakan dengan orang lain. Karena semuanya kecil baginya. Kesombongan ketiga ini meskipun derajatnya paling bawah namun akibatnya masihlah tetap besar. Demikian ini karena manusia pada fitrohnya adalah makhluq yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Dan keagungan serta kebesaran hanyalah milik Allah. Maka jika dia berani keluar dari fitrohnya sehingga bertindak sombong maka berarti dia telah merebut miliknya Allah. Dan tidak ada orang yang paling layak mendapat murka Allah kecuali orang yang merampas milik-Nya tersebut.
Orang yang berlaku sombong akan selalu bersebrangan dengan Allah. Karena ketika dirinya mendengarkan sebuah kebenaran dari orang lain maka dirinya tidak mau menerima dan menentangnya. Hal lumrah yang sering terjadi pada masa sekarang adalah ketika mereka menerima sebuah kebenaran maka mereka akan selalu merekayasa dan berusaha mencari cela untuk mengelabui dan menolak kebenaran itu. Mereka sudah ditipu oleh akal mereka dan menyalahkan kebenaran semestinya.
Demikian ini sudah menjadi layaknya gaya pikiran orang-orang kafir. Mereka bilang sebagaimana dalam surat Fusshilat 26 yang artinya: Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)”.
Maka seseorang yang berusaha mengkaburkan hukum agama dengan merekayasanya maka mereka berarti telah bersifat sebagaimana orang kafir. Demikian juga seseorang yang merasa keberatan ketika dinasehati oleh orang lain. Mereka layaknya berlaku seperti seorang kafir. Naudzubillahi min dzalik
Maka meskipun kesombongan tingkat ketiga ini paling rendah akan tetapi jika dibiarkan ia akan menjadi hal yang menakutkan karena akan masuk pada wilayahnya Allah.
Kesombongan itu hanya akan terjadi bila seseorang memiliki perasaan lebih baik dari orang lain. Dan perasaan ini tidak akan pernah muncul kalau dirinya tidak berkeyakinan punya sifat kesempurnaan. Sifat kesempurnaan itu bermuara pada dua hal, yaitu: identik keagamaan dan keduniawian. Keagamaan seperti perasaan punya ilmu dan ibadah yang lebih dari yang lain. Sedangkan duniawi semisal merasa memiliki garis keturunan, ketampanan, kekuatan, dan pengikut yang lebih baik dari yang dimiliki oleh orang lain. Sehingga dapat ditarik sebuah benang merah bahwa pemicu utama kesombongan itu ada tujuh perkara, yaitu: ilmu, amal ibadah, nasab, fisik jasmani, kekuatan, dan anak buah.
Bagi seorang alim, keilmuan yang dimiliki itu bisa menjadi boomerang baginya. Karena pengaruhnya membuat orang sombong itu sangat cepat sekali. Karena hal inilah nabi Muhammad sempat berpesan bahwa bahaya besar yang bisa ditimbulkan oleh ilmu adalah perasaan sombong.
Memang seorang yang berilmu jika tidak waspada maka dalam hatinya akan tertanam sebuah perasaan lebih mulya dari orang lain. Perasaannya akan bilang dia bisa menjadi manusia sempurna dan kapabel dengan ilmu yang telah dimilikinya. Dari sini pula dia akan menganggap orang lain di bawahnya sebagai orang-orang dungu yang tidak tahu apa-apa layaknya kerbau dan binatang tak berakal lainnya.
Orang yang demikian ini selalu berharap untuk disalami, disowani, dan dilayani orang lain. Sebaliknya mereka
merasa ogah dan enggan berujar salam, nyambangi, dan melayani orang lain. Bahkan tidak berhenti sampai di situ saja. Dalam urusan ukhrowi ilmu juga bisa menjadi biang keladi melakukan kesombongan. Yaitu merasa bahwa dengan ilmu tersebut dia adalah orang termulya di sisi Allah. Dirinya lebih menghawatirkan nasib orang lain kelak di akhirat dari pada menghawatirkan dirinya sendiri. Sebaliknya dia beranggapan kalau dirinyalah yang paling berhak mendapatkan sorganya Allah dari pada mereka.
Orang yang bertindak demikian sangatkah tidak pantas jika disebut sebagai seorang alim. Dia lebih layak disebut sebagai orang tolol, bodoh, dungu, dan sebagainya. Karena seharusnya dengan keilmuan yang dia miliki dia bisa berkaca tentang siapa dirinya, siapa Tuhannya, bagaimana kelak dia ketika meninggal, bagaimana urusan nanti antara Allah dengan seorang alim, dan besarnya bahaya yang disebabkan ilmu. Demikianlah sebenarnya hakekat ilmu sesungguhnya. Ilmu yang bisa menjadikan seseorang bertambah takut, khusyu’, dan tawadlu’ kepada Allah dan makhluq.
Dikutip dari Ngaji Ikhya’ di Pesantren Langitan.
Posting Komentar